BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fisiologi Persalinan Kala III
Penyebab terpisahnya plasenta
dari dinding uterus adalah kontraksi uterus (spontan atau dengan stimulus)
setelah kala dua selesai. Berat plasenta mempermudah terlepasnya selaput
ketuban, yang terkelupas dan dikeluarkan. Tempat perlekatan plasenta menentukan
kecepatan pemisahan dan metode ekspulsi plasenta. Selaput ketuban dikeluarkan
dengan penonjolan bagian ibu atau bagian janin.
Pada kala III, otot uterus
(miometrium)berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah
lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat
perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semkin kecil, sedangkan
ukuran plasenta tidak berubah maka pasenta akan terlipat, menebal dan kemudian
lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah
uterus atau ke dalam vagina.
Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
Penyebab
terpisahnya plasenta dari dinding uterus adalah kontraksi uterus (spontan atau
dengan stimulus) setelah kala dua selesai. Berat plasenta mempermudah
terlepasnya selaput ketuban, yang terkelupas dan dikeluarkan. Tempat perlekatan
plasenta menentukan kecepatan pemisahan dan metode ekspulsi plasenta. Selaput
ketuban dikeluarkan dengan penonjolan bagian ibu atau bagian janin.
Pada kala
III, otot uterus (miometrium)berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga
uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya
ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semkin
kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka pasenta akan terlipat,
menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan
turun ke bagian bawah uterus atau ke dalam vagina.
Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Kala III
merupakan tahap ketiga persalinan yang berlangsung sejak bayi lahir sampai
plasentalahir. Persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir
dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
Cara-cara Pelepasan
Plasenta :
1.
Metode Ekspulsi Schultze
Pelepasan ini
dapat dimulai dari tengah (sentral) atau dari pinggir plasenta. Ditandai oleh
makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina (tanda ini dikemukakan oleh
Ahfled) tanpa adanya perdarahan per vaginam. Lebih besar kemungkinannya terjadi
pada plasenta yang melekat di fundus.
2.
Metode Ekspulsi Matthew-Duncan
Ditandai oleh adanya perdarahan
dari vagina apabila plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi
400 ml. Bila lebih hal ini patologik.Lebih besar kemungkinan pada implantasi
lateral.
Apabila plasenta lahir, umumnya
otot-otot uterus segera berkontraksi, pembuluh-pembuluh darah akan terjepit,
dan perdarahan segera berhenti. Pada keadaan normal akan lahir spontan dalam
waktu lebih kurang 6 menit setelah anak lahir lengkap.
Beberapa Prasat untuk
mengetahui apakah plasenta lepas dari tempat implantasinya :
1. Prasat Kustner.
Tangan kanan meregangkan atau
menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri menekan daerah di atas simfisis. Bila
tali pusat ini masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari
dinding uterus. Bila tetap atau tidak masuk kembali ke dalam vagina, berarti
plasenta lepas dari dinding uterus. Prasat ini hendaknya dilakukan secara
hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta terlepas, perdarahan banyak akan
dapat terjadi.
3.
Prasat Strassmann
Tangan kanan meregangkan atau
menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila
terasa getaran pada tali pusat yang diregangkan ini berarti plasenta belum
lepas dari dinding uterus.
4.
Prasat Klein
Wanita
tersebut disuruh mengedan. Tali pusat tampak turun ke bawah. Bila pengedanannya
dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum
lepas dari dinding uterus.
B. PEMERIKSAAN SELAPUT KETUBAN
Amnion dan
korion terdiri dari selaput janin, yang tampak menyatu sebenarnya tidak .
menarik salah satunya dapat merusaknya, amnion dapat ditarik kearah tali pusat.
Amnion terasa halus, tembus cahaya dan liat, sedangkan karion lebih tebal,
keruh dan rapuh. Korion mulai terdapat di tepi plasenta dan melebar ke sekitar
desidua. Setelah kelahiran, selaput ketuban akan berlubang karena dilewati
bayi. Bila selaput ketuban tampak tidak rata, kemungkinana ada bagian yang
tertinggal di uterus. Hal ini dapat mempengaruhi kontraktillitas uterus dan
mencetuskan perdarahan pascapartum. Hal ini juga menjadi media tumbuhnya
mikroorganisme, yang menjadi pencetus infeksi. Bekuan pascapartum yang keluar
harus diperiksa untuk adanya selaput ketuban.
Pemeriksaan Tali Pusat
Tali pusat
terdiri dari dua arteri umbilikalis dan satu vena umbilikalis, dikelilingi oleh
jeli warthon dan ditutupi oleh amnion. Tali pusat dengan dengan jumlah pembuluh
darah kurang dari tiga mengindikasikan adanya abnormalitas congenital, bayi
harus di rujuk ke dokter anak dan sampel tali pusat diperlukan dianalisis.
Panjang tali pusat adalah 50 cm (berkisar 30 – 90 cm), diameter 1-2 cm dan
berbentuk spiral untuk melindungi pembuluh darah dari tekanan. Tali pusat yang
pendek adalah tali pusat yang panjangnya kurang dari 40 cm, dan hal ini
biasanya tidak signifikan, kecuali jika terlalu pendek, karena pada saat anin
turun kerongga panggul tali pusat akan tertarik dan terjadi juga tarikan pada
plasenta. Tali pusat yang terlalu panjang dapat melilit janin atau tersimpul,
sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah, risiko presentasi atau prolaps
tali pusat mengalami peningkatan jika tali pusat terlalu panjang, terutama bila
bagian terendah janin tidak sesuai dengan serviks. Lilitan palsu dapat terjadi
jika pembuluh darah lebih panjang dari tali pusat dan memebentuk lingkaran di
jeli wharton, hal ini tidak begitu bermakna. Tali pusat yang terlalu besar atau
terlalu kecil akan sulit untuk diklem setelah kelahiran.
Pengkleman
tali pusat Kebiasaan memotong tali pusat mulai diperkenal kan pada abat ke –
17, bersamaan dengan dilakukan nya praktik persalinan ditempat tidur.
Akibatnya, tempat tidur menjadi basah oleh darah dan kemudian pengkleman tali
pusat mulai banyak dilakukan untuk mengurangi hal tersebut. Pelepasan plasenta
tergantung pada kemampuan uterus untuk berkontraksi dan beretraksi, memeras
plasenta. Bila tali pusat di klem, terjadi tahanan balik di plasenta, memecah
aliran darah kebayi. Ukuran plasenta tidak banyak berkurang dan dijaga agar
tidak terjadi kompresi. Hal ini dapat menghambat kontraksi dan retraksi,
memperlambat proses pelepasan. Efek dari hal ini ada dua macam :
1. Penundaan
pelepasan plasenta,yang berarti penundaan penutupan pembuluh darah ibu yang
rupture, meningkatnya ukuran bekuan retroplasenta dan meningkatnya resiko
perdarahan.
2. Serviks
dapat mengalami retraksi sebelum plasenta dikeluarkan, menyebabkan tertahanya
plasenta, yang sering memerlukan tindakan manual untuk mengeluarkan plasenta
dan selaput janin dibawah anastesia epidural, spinal atau umum. Pengkleman tali
pusat dan isoimunisasi rhesus
Bila tali
pusat sudah dijepit, akan lebih banyak darah janin yang tertinggal di plasenta,
meningkatkan tekanan didalam plasenta. Pada saat uterus berkontraksi, tekanan
meningkat lagi dan permukaan pembuluh darah plasenta mengalami rupture. Sel
darah janin dilepaskan kedalam rongga uterus dan dapat masuk kesirkulasi ibu.
Bila bayi memiliki rhesus positif sedangkan ibu mempunyai rhesus negative, ibu
akan memproduksi antibody yang berlawanan dengan sel darah dengan rhesus
positif. Isoimunisasi rhesus dapat mempengaruhi kehamilan berikutnya karena
antibody cukup kecil untuk dapat menembus plasenta dan melakukan hemolisis
terhadap sel janin jika janin memiliki rhesus positif. Semua ibu dengan rhesus
negative yang memiliki bayi dengan rhesus positif harus mendapatkan anti
immunoglobulin D pada saat persalinan untuk mengurangi risiko terjadinya
isoimunisasi. Pengkleman tali pusat dan dampaknya pada bayi Pada persalinan
kala III, selama tali pusat masih berdenyut, 75-125 ml darah masih dapat
dialirkan dari plasenta ke bayi. Darah tambahan ini diperlukan untuk sirkulasi
paru yang baru terbentuk. Pengkleman tali pusat yang terlalu cepat akan
mengurangi jumlah darah yang dialirkan ke bayi, sehingga menimbulkan
hipovolaemia. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya sindrom distres pernapasan
dan memburuknya kondisi bayi yang lahir dengan Hb rendah. Kinmond et al. (1993)
menemukan bahwa memperlambat penjepitan tali pusat memungkinkan terjadinya
aliran darah ke bayi, dan memperbaiki kondisi bayi praterm. Bila obat oksitosin
diberikan dan tali pusat tidak dijepit, akan terjadi resiko aliran darah yang
berlebihan dari plasenta ke bayi yang masih dapat menerima setengah dari jumlah
volume darah totalyang ada ditubuhnya. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya
ikterik dan bila sudah memburuk, dapat terjadi beban sirkulasi yang berlebihan.
Oleh karena itu untuk mencegahnya, tali pusat harus diklem sesegerra mungkin
bila diberikan oksitosin. Bila bayi ditempatkan 40 cm lebih rendah dari
introitus, transpusi plasenta akan selesai secaraa fisiologis dalam waktu 30
detik, bila bayi berada diatas 40 cm, proses transfusi plasenta terjadi lebih
lambat. Bila diperlukan obat oksitosin, bayi dapat ditempatkan dibawah
introitus selama 30 detik (posisi tersebut ideal untuk posisi ibu tegak, all fours
atau berjongkok, dan sulit bila posisi ibu semirekumben atau miring kekiri).
Setelah itu, barulah obat oksitosik dapat diberikan dan tali pusat diklem.
Ujung tali pusat ibu dapat dibiarkan tanpa diklem untuk mengurangi gangguan
proses fisiologis.
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara
spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan
proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak
relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi
yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri
mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka
plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.
Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang
longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh
darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang
saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan
retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan
berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan
menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif
baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi
ke dalam 4 fase, yaitu:
- Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
- Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
- Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
- Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat
melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta
meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta
dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita
yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta
secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan
persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan
mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta
- Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
- Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
- Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
Indikasi Plasenta Manual
- Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc.
- Retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir.
- Setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir.
- Tali pusat putus.
Teknik Plasenta Manual
Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi
litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus
Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan
memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk
mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah
satu tangannya (tangan kiri) merenggang tali pusat, tangan yang lain (tangan
kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut. Dengan ujung jari
menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks
dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat
diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk
kerucut tadi.
Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus
uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke
bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan
fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah
ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.
Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan
yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta plasenta yang
telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat
dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap
menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian,
kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.
Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi
untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian
plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti
yang bbaru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memilihnya,
segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan
masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya
laserasi pada vagina atau serviks. Jika ada, segera jahit.
Tanda – tanda pelepasan
plasenta.
Adapun tanda – tanda
pelepasan plasenta yaitu :
a. Perubahan bentuk dan
tinggi fundus.
Setelah bayi lahir dan sebelum
miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus
biasanya di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta terdorong ke
bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah pear atau alpukat dan fundus
berada di atas pusat.
b. Tali pusat memanjang.
Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva.
c. Semburan darah mendadak
dan singkat.
Darah yang terkumpul di belakang
plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar di bantu oleh gaya gravitasi.
Apabila kumpulan darah (retroplasental pooling) dalam ruang di antara dinding
uterus dan permukaan dalam plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah
tersembur keluar dari tepi plasenta yang terlepas. Tanda ini kadang – kadang
terlihat dalam waktu satu menit setelah bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.
D.
MANAJEMEN
AKTIF KALA III
Dalam upaya
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu, Kementerian Kesehatan telah menekankan
pentingnya Manajemen Aktif Kala III pada setiap asuhan persalinan normal. Saat
ini, Manajemen Aktif Kala III telah menjadi prosedur tetap pada asuhan
persalinan normal dan menjadi salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki
setiap tenaga kesehatan penolong persalinan (dokter dan bidan).
Secara teknis, Manajemen Aktif Kala III meliputi tindakan
pemberian uterotonika (oksitosin) profilaksis, penjepitan segera tali pusat
pasca lahirnya bayi, dan peregangan tali pusat terkendali untuk melahirkan
plasenta. Manajemen Aktif Kala III dikenalkan pada asuhan persalinan normal
untuk mengurangi perdaharan, salah satu penyebab utama kematian ibu. Manajemen
Aktif Kala III memperbarui prosedur yang ada sebelumnya. Sebelum dikenalkannya
Manajemen Aktif Kala III, seorang ibu bersalin tidak diberikan uterotonika
pasca lahirnya bayi dan plasenta dilahirkan spontan tanpa peregangan tali pusat.
Sebuah studi analisis telah dilakukan oleh Begley CM dkk
melalui The Cochrane Collaboration, sebuah sumber referensi ilmu kedokteran
berbasis bukti (evidence-based medicine) terpercaya. Begley dkk
mereview lima buah penelitian yang melibatkan 6486 ibu bersalin. Seluruh
penelitian itu bertujuan membandingkan antara manajemen aktif versus manajemen
pasif pada kala III persalinan.
Dari hasil review penelitian tersebut, disimpulkan bahwa
Manajemen Aktif Kala III terbukti efektif mengurangi risiko perdaharan dan
menyelamatkan lebih dari 1 liter darah selama proses persalinan.
Pada
studi analisis lain, Cotter dkk, juga melalui The Cochrane Collaboration, juga
melakukan review terhadap 14 penelitian yang melibatkan 3000 ibu bersalin.
Keempat belas penelitian tersebut bertujuan meneliti manfaat pemberian
oksitosin profilaksis pada kala III persalinan. Cotter dkk menyimpulkan bahwa
pemberian oksitosin profilaksis pada kala III persalinan terbukti bermanfaat
untuk mencegah perdaharan pasca persalinan dan dapat menyelamatkan lebih dari
500 ml darah pada persalinan.
Dengan
demikian, Manajemen Aktif Kala III, termasuk pemberian injeksi oksitosin
profilaksis pasca lahirnya bayi, telah terbukti secara ilmiah dapat mencegah
perdarahan pasca persalinan. Seluruh tenaga kesehatan penolong persalinan
(dokter, bidan) diharapkan dapat melaksanakan Manajemen Aktif Kala III pada
setiap asuhan persalinan normal dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian
Ibu di Indonesia.
E.
PEMANTAUAN
KONTRAKSI
Seperti
diketahui bahwa otot rahim terdiri atas tiga lapis yang teranyam dengan
sempurna yaitu, lapisan otot longitudinal dibagian luar, lapisan otot sirkuler
dibagian dalam, dan lapisan otot menyilang diantara keduanya. Dengan susunan
demikian, pembuluh darah yang terdapat diantara otot rahim akan tertutup rapat
saat terjadinya kontraksi postpartum sehingga menghindari perdarahan.
Pada saat
inpartu perlu dilakukan observasi yang seksama karena tertutupnya pembuluh
darah mengurangi oksigen ke peredaran darah retroplasenter, sehingga dapat
menimbulkan asfiksia intrauterin. Dengan demikian pengawasan dan pemeriksaan
djj segera setelah kontraksi rahim, terutama pada kala 2, sangat penting
sehingga dengan cepat dapat diketahui terjadinya asfiksia janin. Kontraksi otot
rahim bersifat otonom artinya tidak dapat dikendalikan oleh parturien,
sedangkan serat saraf simpstis dan parasimpatis hanya bersifat koordinasi.
Beberapa sifat kontraksi rahim dijabarkan sebagai berikut:
Beberapa sifat kontraksi rahim dijabarkan sebagai berikut:
1. Amplitudo
v Kekuatan
his diukur dengan mm Hg
v Cepat
mencapai puncak dan diikuti relaksasi yang tidak lengkap sehingga
v Kekuatannya
tidak mencapai 0 mm Hg.
v Setelah
kontraksi otot rahim mengalami retraksi (teidak kembali kepanjang semula).
2.
Frekuensi
v Jumlah
terjadinya his selama 10 menit
3.
Durasi his
v Lamanya
his terjadi pada setiap saat
v Diukur
dengan detik
4.
Interval His
v Tenggang
waktu antara 2 his
5.
Kekuatan His
v Perkalian
antar amplitudo dengan frekuensi yang ditetapkan dengan satuan Montevideo.
Aktivitas kontraksi rahim (his) mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
Aktivitas kontraksi rahim (his) mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
1.
Saat Hamil
Perubahan
perimbangan estrogen dan progesteronb menimbulkan kontraksi otot rahim dengan
sifat tidak teratur menyeluruh, tidak nyeri dan berkekuatan 5 mm Hg yang
disebut dengan kontraksi Braxton hicks. Makin tua kehamilan, kontraksi Braxton
Hicks makin sering terjadi sejak umur kehamilan 30 minggu. Kekuatan kontraksi
tersebut akan menjadi kekuatan his dalam persalinan.
2.
Kekuatan His kala pertama
Sifat
kontraksi otot rahim pada kala pertama adalah:
v Kontraksi
bersifat simetris
v Fundal
dominan, artinya bagian fundus uteri sebagai pusat dan mempunyai kekuatan yang
paling besar.
v Involunter
artinya tidak dapat diatur oleh parturien
v Intervalnya
makin lama makin pendek
v Kekuatannya
makin besar dan pada kala pengusiran diikuti dengan refleks mengejan.
v Diikuti
retraksi artinya panjang otot rahim yang telah berkontraksi tidak akan kembali
kepanjang semula.
v Setiap
kontraksi dimulai dengan pace maker yang terletak sekitar insersi tuba, dengan
arah perjalaran ke daerah serviks uteri dengan kecepatan 2 cm/detik.
v Kontraksi
rahim menimbulkan rasa sakit pada pinggang, daerah perut daan dapat menjalar
kedaerah paha. Distribusi susunan otot rahim ke arah serviks yang semakin
berkurang menyebabkan serviks bersifat pasif, sehingga terjadi
keregangan/penipisan, seolah-olah janin terdorong kearah jalan lahir. Bagian
rahim yang berkontraksi dengan yang menipis dapat diraba atau terlihat, tetapi
tidak melebihi batas setengah pusat simfisis.
v Pada
kala pertama, amplitudo sebesar 40 mm Hg, menyebabkan pembukaan serviks,
interval 3 sampai 4 menit dan lamanya berkisar antara 40 sampai 60 detik. Akhir
kala pertama ditetapkan dengan kriteria yaitu, pembukaan lengkap, ketuban
pecah, dan dapat disertai refleks mengejan.
Kekuatan His kala kedua (pengusirana)
Kekuatan his
pada akhir kala pertama atau permulaan kala dua mempunyai amplitudo 60 mm Hg,
interval 3 sampai 4 menit dan durasi berkisar 60 sampai 90 detik.
Kekuatan his dan mengejan dorong janin ke arah bawah dan menimbulkan keregangan yang bersifat pasif. Kekuatan his menimbulkan putar paksi dalam, penurunan kepala atau bagian terendah, menekan serviks dimana terdapat fleksus Frankenhauser, sehingga terjadi reflek mengejan. Kedua kekuatan his dan reflek mengejan makin mendorong bagian terendah sehingga terjadilah pembukaan pintu, dengan crowning dan penipisan perinium. Selanjutnya kekuatan his dan refleks mengejan menyebabkan ekspulsi kepala, sehingga berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, muka dan kepala seluruhnya.
Kekuatan his dan mengejan dorong janin ke arah bawah dan menimbulkan keregangan yang bersifat pasif. Kekuatan his menimbulkan putar paksi dalam, penurunan kepala atau bagian terendah, menekan serviks dimana terdapat fleksus Frankenhauser, sehingga terjadi reflek mengejan. Kedua kekuatan his dan reflek mengejan makin mendorong bagian terendah sehingga terjadilah pembukaan pintu, dengan crowning dan penipisan perinium. Selanjutnya kekuatan his dan refleks mengejan menyebabkan ekspulsi kepala, sehingga berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, muka dan kepala seluruhnya.
Untuk meningkatkan kekuatan his
dan mengejan lebih berhasil guna, posisi parturien sebagai berikut:
v Badan
dilengkungkan sehingga dagu menempel pada dada.
v Tangan
merangkul paha sehingga pantat sedikit terangkat yang menyebabkan pekebaran
pintu bawah panggul melalui persedian sacro coccygeus.
v Dengan
jalan demikian kepala bayi akan ikut serta membuka diafragma pelvis dan vulva
perenium semakin tipis.
v Sikap
ini dikerjakan bersamaan dengan his dan mengejan, sehingga resultante kekuatan
menuju jalan lahir.
Kekuatan his (kontraksi) rahim pada kala ketiga
Setelah istirahat sekitar 8
sampai 10 menit rahim berkontraksi untuk melepaskan plasenta dari insersinya,
dilapisan Nitabusch. Pelepasan plasenta dapat dimulai dari pnggir atau dari
sentral dan terdorong kebagian bawah rahim. Untuk melahirkan plasenta
diperlukan dorongan ringan secara crede.
Kekuatan his pada kala IV
Setelah
plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo sekitar 60 sampai
80 mm Hg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh darah
tertutup rapat dan terjadi pembentukan trombus terjadi penghentian pengeluaran
darh postpartum. Kekuatan his dapat diperkuat dengan memberi obat uterotonika.
Kontraksi diikuti saat menyusui bayi bayi sering dirasakan oleh ibu postpartum,
karena pengeluaran oksitosin oleh kelenjar hipofisis posterior.
Pengeluaran oksitisin sangat penting yang berfungsi:
Pengeluaran oksitisin sangat penting yang berfungsi:
v Merangsang
otot plos yang terdapat disekitar alveolus kelenjar mamae, sehingga ASI dapat
dikeluarkan.
v Oksitosin
merangsang kontraksi rahim.
v Oksitosin
mempercepat involusi rahim.
v Kontraksi
otot rahim yang disebabkan oksitisin mengurangi perdarahan postpartum
Dalam batas yang wajar maka rasa
sakit postpartum tidak memerlukan pengobatan serta dapat dibatasi dengan
sendirinya.
F.
ROBEKAN
JALAN LAHIR DAN PERINIUM
Rebokan
perineal sering terjadi, khususnya pada wanita primipara. Robekan derajat satu
kadang kala bahkan tidak perlu untuk dijahit, robekan derajat dua biasanya
dapat dijahit dengan mudah dibawah pengaruh analgesia lokal dan biasanya sembuh
tanpa komplikasi. Robekan derajat tiga dapat mempunyai akibat yang lebih serius
dan dimana pun bila memungkinkan harus dijahit oleh ahli obstetri, dirumah
sakit dengan peralatan yang lengkap, dengan tujuan mencegah inkontinensia vekal
dan atau fistula fekal.
Episitomi
sering dilakukan, tetapi insidennya berbeda-beda. Episitomi midline lebih mudah
dijahit dan memiliki keuntungan meninggalkan sedikit jaringan perut, sementara
episitomi medioteral lebih efektif minghindari spinkter anal dan rektum. Alasan
yang baik untuk melakukan episitomi selama persalinan normal hingga kini dapat
berupa: tanda-tanda gawat janin; kemajuan persalinan yang tidak cukup, ancaman
robekan derajat tiga (termasuk robekan derajat tiga di persalinan sebelumnya).
Ketiga
indikasi tersebut benar, meskipun perkiraan robekan derajat tiga sangat sulit.
Angka kejadian robekan derajat tiga sekitar 0,4% sehingga diaknosis ”ancaman
robekan tiga” seharusnya hanya dibuat kadang-kadang, kalau tidak diagnosis
tersebut tiodak ada artinya. Selain yang sudah disebutkan, diberikan untuk
penggunaan episiotomi pada semua kasus. Hal ini termasuk argument bahwa
episiotomi menggantikan irisan pembedahan yang lurus dan rapi untuk laseradsi
yang tidak beraturan, lebih mudah diperbaiki, dan sembuh lebih baik sari
robekan (cunningham et al, 1989); penggunaan episiotomi pada semua kasus
mencegah trauma pariniel yang serius; episiotomi mencegah trauma pada kepala
janin; dan episiotomi mencegah trauma pada otot dasar panggul sehingga mencegah
stres urinarius yang inkontinen. Penggunaan episiotomi pada ksus dihubungkan dengan
tingkat trauma pada pariniel yang lebih tinggi dan lebih sedikit wanita yang
periniumnya masih utuh. Kelompok-kelompok dengan penggunaan episiotomi pada
semua kasus dan penggunaan yang direstriksi mengalami sejumlah nyeri perinial
yang sebanding, yang dikaji pada 10 hari dan 3 bulan pasca partum. Tidak ada
bukti tentang efek perlindungan episiotomi pada kondisi janin. Dalam studi –
tindak lanjut, hingga 3 tahun pasca partum tidak ada pengaurh penggunaan
episiotomi pada semua kasus terhadap inkontinen urine yang ditemukan. Dalam
studi observasi dari 56.471 persalinan yang bantu oleh oleh bidan, insiden
robekan derajat tiga sebesar 0,4% jika episiotopmi tidak dilakukan dan
presentasenya sama besar dengan episiotomi mediolatral; insiden dengan
episiotomi midline sebnesar 1,2% (pel dan heres, 1995). Pemberian perawatan
yang melakukan episotomi harus mampu untuk menjahit robekan dan episiotomi
secara tepat. Ia harus dilataih untuk hal tersebut. Episiotomi harus dilakukan
dan dijahti dibawah pengaruh anastese lokal, dengan tindakan pencegahan yang
tepat untuk mencegah infeksi HIV dan hepatitis. Sedangkan kerusakan perineal
adalah salah satu trauma yang paling sering diderita oleh wanita selama
melahirkan, bahkan selama proses persalinan dan pelahiran yang dianggap normal.
Ada beberapa teknik dan praktek yang diarah untuk mengurangi kerusakan atau
memodifikasikan keproporsi yang dapat diatur. Menjaga perinium selama
melahirkan kepala janin: jaari-jari satu tangan (biasanya yang kanan menyangga
perinium, sementrara tangan kiri melakukan tekanan pada kep[ala janin untuk
mengendalikan kecepatan crowning(ketika sekmen besar dari kepal janin terlihat
diorificium vaginae, perinum merenggang) dengan demikian mencoba untuk mencegah
atau mengurangi kerusakan pada jaringan perinial. Kemungkinan bahqwa dengan
manuver tersebut robeknya perinial dapat dicegah, tetapi ada kemungkinan juga
bahwa tekanan pada kepala janin menghalangi perluasan pergerakan kepala dan
mengalihkannya dari lengkung pubis ke perinium, sehingga meningkatkan
kemungkinan kerusakan perineal. Oleh karena belum ada evaluasiformal mengenai
strategi ini atau sebaliknya; tidak menyentuh perinium atau kepala selama fase
melahirkan, tidak mungkin untuk memutuskan strategi mana yang di pilih. Praktik
menjaga perineum dengan tangan ahli obstetri dapat diterapkan dengan lebih
mudah jika wanita pada posisi supine. Jika ia pada posisi tegak lurus penolong
persalinan tidak dapat menyokong perineum, atau dipaksa untuk mengikuti
strategi ”tanpa sentuhan”. Teknik lain yang bertujuan mengurangi trauma pada
perineum ialah memijat perineum selama akhir kala dua persalinan, jadi mencoba
meregangkan jaringan. Teknik tersebut tidak pernah dievaluasi secara tepat,
tetapi ada keraguan tentang keuntungan memijat jaringan terus – menerus yang
vaskularisasinya sudah banyak dan edema. Manuver lain, yang efektivitasnya
belum cukup terbukti, ialah metode yang bervariasi untuk melahirkan bahu dan
perut bayi setelah kelahiran kepala. Tidak jelas apakah manuver ini selalu
diperlukan dan apakah tepat. Data penelitian tentang masalah ini tidak
tersedia. Namun, National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford baru – baru ini
mengadakan uji coba terkontrol acak tentang ”Perawatan Perineum saat Melahirkan
– Menyerah atau Siap (Hands On Or Poised)”, atau disebut juga studi ”HOOP”,
yang memberikan data mengenai efek pendekatan yang berbeda untuk melahirkan
kepala dan bahu janin pada perineum (McCandlish, 1996).
Tanda Vital dan Hygien
Banyak
perubahan fisiologis normal yang terjadi selama kala astu dan dua persalinan,
yang berakhir ketika plasenta dikeluarkan dan tanda-tanda vital wanita kembali
ketingkat sebelum persalinan selama kala tiga:
1.Tekanan darah
Tekanan
sistolik dan distolik mulai kembali ketingkat sebelum persalian. Peningkatan
atau penurunan tekanan darah masing-masing merupakan indikasi gangguan
hipertensi pada kehamilan atau syok. Peningkatan tekanan sistolik dengan
tekanan diastolik dalam batas normal dapat mengindikasikan ansietas atau nyeri.
2.Nadi
Nadi secara bertahap kembali ketingkat sebelum melahirkan. Peningkatan denyut nadi dapat menunjukkan infeksi, syok, ansietas, atau dehidrasi.
Nadi secara bertahap kembali ketingkat sebelum melahirkan. Peningkatan denyut nadi dapat menunjukkan infeksi, syok, ansietas, atau dehidrasi.
3.Suhu
Suhu tubuh kembali meningkat perlahan. Peningkatan suhu menunjukkan proses infeksi atau dehidrasi.
Suhu tubuh kembali meningkat perlahan. Peningkatan suhu menunjukkan proses infeksi atau dehidrasi.
4.Pernapasan
Pernapasan kembali normal, pada peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunujukan syok atau ansietas. Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya diukur paling tidak satu kali selama kala tiga dan lebih sering jika pada kala tiga memanjang daripada rata-rata atau tekanan darah dan nadi berada pada batas atau dalam kisaran abnormal. Pemantauan ini tidak hanya dilakukan setelah evaluasi peningkatan sebelumnya, tetapi penting sebagai sarana penapisan syok pada kejadian perdarahan.
Pernapasan kembali normal, pada peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunujukan syok atau ansietas. Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya diukur paling tidak satu kali selama kala tiga dan lebih sering jika pada kala tiga memanjang daripada rata-rata atau tekanan darah dan nadi berada pada batas atau dalam kisaran abnormal. Pemantauan ini tidak hanya dilakukan setelah evaluasi peningkatan sebelumnya, tetapi penting sebagai sarana penapisan syok pada kejadian perdarahan.
G.
KEBUTUHAN
IBU PADA KALA III
Pemberian suntikan oksitosin
Oksitosin dapat diberikan secara
profilaktik pada waktu yang bervariasi selama kala 3. palinh sering oksitosin
diberikan intramuscular segera setelah persalinan bahu depan, atau setelah
kelahiran bayi. Onat yang biasa diberikan dan diteliti didalam percobaan,
adalah oksitosin dan derivat ergot seperti ergometrin, atau kombinasi keduanya,
sintometrin. Oksitosin dan derivate ergot keduanya menurunkan perkiraan
kehilangan darah pasca partum, tetapi efek ergot tampaknya menjadi sedikit
berkurang daripada efek oksitosin. Efek ergot terhadap retensi plasenta belum
begitu jelas, meskipun ada beberapa data yang menunjukkan bahwa oksitosin yang
rutin dapat meningkatkan resiko retensi plasenta. Komplikasi oksitosin adalah
terjadinya mual, muntah, sakit kepala dan hipertensi pasca partum. Komplikasi
tersebut sering terjadi pada derivate ergot. Selain itu, jarang tetapi
mordibitas ibu yang serius telah dihubungkan dengan oksitosin, khususnya dengan
ergometrina: henti jantung dan perdarahan intraserebral, infark miokard, eklamsi
pasca partum dan edema pulmonary. Oleh karena kejadian ini begitu jarang, uji
coba acak tidak dapat memberikan informasi yang berguna tentang angka kesakitan
ibu dihubungkan dengan oksitosin. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa
oksitosin adalah pilihan yang baik dari pada derivate ergot. Selain itu
dinegara tropis oksitosi lebih stabil daripada ergometrinel atau
metilergometrine. Plasenta harus diperiksa dengan cermat untuk menemukan
abnormalitas (infak, hemetoma, insersi tali pusat yang abnormal), tetapi semua
yang diatas untuk memastikan plasenta lengkap jika ada kecurigaan bahwa bagian
plasenta hilang, persiapan harus dilakukan untuk memeriksa rongga uterus. Jika
bagian memebran plasenta yang hilang, ekplorasi uterus tidak diperlukan. Ibu
harus diamati dengan cermat selama 1 jam pertama pasca partum. Pengamatan yang
paling penting termasuk jumlah kehilangan darah, dan tunggi fundus iterus: jika
uterus tidak cukup berkontraksi, darah dapat berkumpul doidalam rongga uterus.
Jika kehilangan darah tidak normal dan uterus berkontraksi sangat buruk,
pijatan lembut uterus dapat membantu. Esensial untuk memastikan bahwa kontraksi
uterus tidak terhambat oleh penuhnya kendung kemih. Kehilangan darah yang tidak
normal, ditetapkan lebih dari 500ml, harus ditangani dengan oksitosika:
ergometrine atau oksitosin secara muscular. Kondisi ibu juga penting yaitu
tekanan darah, nadi, dan suhu, serta kesejahteraan umum harus dikaji.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyebab
terpisahnya plasenta dari dinding uterus adalah kontraksi uterus (spontan atau
dengan stimulus) setelah kala dua selesai. Berat plasenta mempermudah
terlepasnya selaput ketuban, yang terkelupas dan dikeluarkan. Tempat perlekatan
plasenta menentukan kecepatan pemisahan dan metode ekspulsi plasenta. Selaput
ketuban dikeluarkan dengan penonjolan bagian ibu atau bagian janin.
Pada kala
III, otot uterus (miometrium)berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga
uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya
ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semkin
kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka pasenta akan terlipat,
menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan
turun ke bagian bawah uterus atau ke dalam vagina.
Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
Setelah janin lahir, uterus mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri, tempat implantassi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya.
DAFTAR PUSTAKA
2. Saifudin, Abdul Bari. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP,
3. Affandi, Biran, dkk, (2007), Asuhan Persalinan Normal, Asuhan Essensial Persalinan (Edisi Revisi), Jakarta : Jaringan Nasional Pelatihan Klinik,
4. Bobak, Lawdermilk, Jensen, (2005), Keperawatan Maternitas edisi 4,
http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar