Sabtu, 26 November 2011

MAKALAH ALERGI

BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering kenapa pasien berobat ke dokter keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan berulang yang menjurus pada kelainan alergi. BBC beberapa waktu yang lalu melaporkan penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat pesat. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta orang (Judarwanto, 2005).
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang disebabkan zat-zat yang tidak berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak terhadap zat tertentu yang biasanya, pada orang normal tidak menimbulkan reaksi. Zat penyebab alergi ini disebut allergen. Allergen bisa berasal dari berbagai jenis dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Bisa saja melalui saluran pernapasan, berasal dari makanan, melalui suntikan atau bisa juga timbul akibat adanya kontak dengan kulit seperti; kosmetik, logam perhiasan atau jam tangan, dan lain-lain. Zat yang paling sering menyebabkan alergi: Serbuk tanaman; jenis rumput tertentu; jenis pohon yang berkulit halus dan tipis; serbuk spora; penisilin; seafood; telur; kacang panjang, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya; susu; jagung dan tepung jagung;sengatan insekta; bulu binatang; kecoa; debu dan kutu. Yang juga tidak kalah sering adalah zat aditif pada makanan, penyedap, pewarna dan pengawet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Alergi
Alergi ialah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul segera atau dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan zat yang tertentu (alergen) (Judarwanto, 2005).
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen (wikipedia, 2008).
2.2 Pembagian Alergi
Alergi dibagi menjadi 4 macam, macam I s/d IV berhubungan dengan antibodi humoral, sedangkan macam ke IVmencakup reaksi alergi lambat oleh antibodi seluler.
2.2.1 Macam/Type I (reaksi anafilaktis dini)
Setelah kontak pertama dengan antigen/alergen, di tubuh akan dibentuk antibodi jenis IgE (proses sensibilisasi). Pada kontak selanjutnya, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi. Dalam proses ini zat-zat mediator (histamin, serotonin, brdikinin, SRS= slow reacting substances of anaphylaxis) akan dilepaskan (released) ke sirkulasi tubuh. Jaringan yang terutama bereaksi terhadap zat-zat tersebut ialah otot-otot polos (smooth muscles) yang akan mengerut (berkontraksi). Juga terjadi peningkatan permeabilitas (ketembusan) dari kapiler endotelial, sehingga cairan plasma darah akan meresap keluar dari pembuluh ke jaringan. Hal ini mengakibatkan pengentalan darah dengan efek klinisnya hipovolemia berat. Gejala-gejala atau tanda-
tanda dari reaksi dini anafilaktis ialah: - shok anafilaktis - urtikaria, edema Quincke - kambuhnya/eksaserbasi asthma bronchiale - rinitis vasomotorica
2.2.2 Macam/type II (reaksi imu sitotoksis)
Reaksi ini terjadi antara antibodi dari kelas IgG dan IgM dengan bagian-bagian membran sel yang bersifat antigen, sehingga mengakibatkan terbentuknya senyawa komplementer. Contoh: reaksi setelah transfusi darah, morbus hemolitikus neonatorum, anemia hemolitis, leukopeni, trombopeni dan penyakit-penyakit autoimun.
2.2.3 Macam/Type III (reaksi berlebihan oleh kompleks imun = immune complex = precipitate):
Reaksi ini merupakan reaksi inflamasi atau peradangan lokal/setempat (Type Arthus) setelah penyuntikan intrakutan atau subkutan ke dua dari sebuah alergen. Proses ini berlangsung di dinding pembuluh darah. Dalam reaksi ini terbentuk komplemen-komplemen intravasal yang mengakibatkan terjadinya kematian atau nekrosis jaringan. Contoh: fenomena Arthus, serum sickness, lupus eritematodes, periarteriitis nodosa, artritis rematoida.
2.2.4 Macam/Type IV (Reaksi lambat type tuberkulin):
Reaksi ini baru mulai beberapa jam atau sampai beberapa hari setelah terjadinya kontak, dan merupakan reaksi dari t-limfosit yang telah tersensibilisasi. Prosesnya merupakan proses inflamatoris atau peradangan seluler dengan nekrosis jaringan dan pengubahan fibrinoid pembuluh-pembuluh yang bersangkutan. Contoh: reaksi tuberkulin (pada tes kulit tuberkulosa), contact eczema, contact dermatitis, penyakit autoimun (poliarthritis, colitis ulcerosa) dll.).
2.3 Faktor-faktor yang mendukung terjadinya atau terbentuknya alergi:
2.3.1 Kesediaan atau kecenderungan sebuah organisem untuk berreaksi secara berlebihan terhadap zat-zat asing akibat kemampuan organisme itu untuk memproduksi antibodi dengan berlebihan. Juga kelabilan struktur pembuluh ikut mendukung hal ini.
2.3.2 Sebuah organisme yang normal (dalam arti tidak mempunyai sifat-sifat tersebut dalam a bisa juga berreaksi berlebihan jika terjadi kontak dengan antigen dalam jumlah tinggi sekali (extreme exposure)
2.3.3 Belakangan ini dikemukakan sebuah teori, bahwa kecenderungan untuk menjaga kebersihan secara berlebih-lebihan bisa mendukung juga terbentuknya penyakit alergi, karena kemungkinan tubuh tidak terbiasa lagi kontak dengan antigen sebagai akibat disingkirkannya antigen-antigen tersebut (yang biasanya dikandung dalam “kotoran” sehari-hari) secara “mutlak”.
2.4 Macam-macam Alergen:
2.4.1 Alergen inhalatif atau alergen yang masuk melalui saluran pernafasan. Contohnya: serbuk sari tumbuh-tumbuhan (rumput, macam-macam pohon, dsb.), spora jamur (aspergillus, cladosporium, penicillium, alternaria dsb.), debu atau bubuk bahan-bahan kimia atau dari jenis padi-padian/gandum-ganduman (gandum, gandum hitam dsb.), uap formalin dll.
2.4.2 Alergen ingestif atau alergen yang masuk melalui saluran pencernaan: susu, putih telur, ikan laut atau ikan air tawar, udang, makanan asal tumbuhan (kacang-kacangan, arbei, madu dsb.), obat-obat telan.
2.4.3 Alergen kontak atau alergen yang menimbulkan reaksi waktu bersentuhan dengan kulit atau selaput lendir: zat-zat kimia, zat-zat sintetik (plastik, obat-obatan, bahan desinfeksi dll.), bahan-bahan yang berasal dari hewan (sutera, woll dll.) atau dari tumbuh-tumbuhan (jamur, getah atau damar dsb.).
2.4.4 Alergen yang memasuki tubuh melalui suntikan atau sengatan: obat-obatan, vaksin, racun atau bisa dari serangga seperti lebah atau semut merah).
2.4.5 Implant dari bahan sintetik atau logam (tertentu), bahan-bahan yang digunakan dokter gigi untuk mengisi lubang di gigi.
2.4.6 Autoalergen ialah zat dari organisme itu sendiri yang keluar dari sel-sel yang rusak atau pada proses nekrosa jaringan akibat infeksi atau reaksi toksik/keracunan.
2.4.7 Diagnostik/pemeriksaan: Pada kecurigaan adanya alergi setelah anamnesa dan pemeriksaan tubuh dilakukan dengan teliti, maka langkah pertama ialah melakukan tes-tes alergi:
2.4.8 Tes epikutan: pembubuhan alergen-alergen yang dicurigai bisa menjadi penyebabnya ke atas foil khusus, yang kemudian ditempelkan (biasanya) ke punggung penderita. Pada reaksi positif, maka akan timbul bercak merah pada alergen atau alergen-alergen tersebut.
2.4.9 Tes alergi epikutan
Tes intrakutan: setelah kulit di lengan bawah (lihat gambar) ditoreh dengan jarum dan ditandai, lalu pada luka-luka torehan dibubuhkan alergen-alergen yang dipilih (biasanya dipilih yang paling sering menjadi penyebab). Setelah beberapa waktu, jika ternyata positif, maka pada alergen tersebut akan timbul indurasi yang dikelilingi bercak merah. Tergantung garis tengah indurasi masing-masing, maka gradasi atau tingkat kepekaan terhadap alergen tersebut disebutkan dengan: negatif/tidak pasti/lemah/positif/positif kuat atau dengan - / (+) / + / ++ / +++ / ++++.
2.4.10 Tes alergi intrakutan
Untuk memperkuat atau memastikan diagnosanya, selanjutnya ditentukan kadar IgE total di serum dan IgE-IgE yang spesifik terhadap alergen-alergen yang menyebabkan reaksi positif. Pada penderita yang dicurigai menderita ekstrinsik atau alergik bronkial asma, seharusnya dilaksanakan tes eksposisi inhalatif dengan alergen tertentu (inhalatif provokatif tes spesifik), karena hasil tes intra- atau epikutan yang positif belum membuktikan seratus persen, bahwa sistem pernafasan sudah terkena. Kecuali jika dalam anamnesa sudah benar-benar ternyata, bahwa pada eksposisi dengan alergen tersebut penderita menderita sesak nafas. Dalam hal ini bahkan tes eksposisi inhalatif dengan alergen tersebut tidak dianjurkan, karena jelas berbahaya. Tes eksposisi inhalatif spesifik ini tentunya harus dilaksanakan dengan persiapan yang teliti, terutama persiapan untuk kedaan gawat-darurat yang bisa terjadi, yaitu reaksi yang parah dengan sesak nafas berat yang bisa sampai menyebabkan kematian. Karena itu sebelum tes ini harus dipastikan, bahwa obat-obatan seperti kortison, antihistaminikum, epinefrin, cairan infus serta alat-alat untuk resusitasi termasuk intubasi sudah tersedia lengkap.
Pelaksanaan tes eksposisi inhalatif: Setelah persiapan-persiapan di atas, pemeriksaan dimulai dengan pelaksanaan spirometri. Jika ternyata pada pasien sudah dapat dibuktikan adanya obstruksi bronkial, maka tes tidak boleh dilaksanakan. Kecuali kalau obstruksinya hanya ringan sekali. Dalam hal ini dan jika tidak ada obstruksi, maka tes bisa dimulai dengan menyemprotkan alergen ke lubang hidung atau pasien harus menghirup alergen tersebut dari nebulizer.
2.4.11 Tes provokasi inhalatif
Setelah beberapa waktu, spirometri diulangi lagi dan jika tenyata timbul obtsruksi, maka harus diberikan bronkolitikum/betamimetikum. Tes ini bisa dilakukan di praktik, tetapi sebaiknya pasien tidak diijinkan pulang selama 1 - 2 jam untuk menjaga-jaga timbulnya reaksi lambat, yang terkadang juga bisa berat.
2.5 Simptoma/Pemunculan klinik:
2.5.1 Shok anafilaktis:
Akibat pembesaran pembuluh-pembuluh kapiler yang diiringi peningkatan permeabili- tas dindingnya , sebagian besar cairan plasma merembes keluar ke jaringan. Hal ini mengakibatkan hipovolaemia yang berarti turunnya tekanan darah secara berlebihan.
1. Akut: terjadinya beberapa menit setelah kontak dengan alergen (injeksi anestesi lokal, antibiotika, sengatan lebah dsb.). Gejalanya: kolaps (circulatory collaps) dengan tekanan darah yang (hampir) tidak bisa diukur dan takikardi. Kehilangan kesadran/pingsan. Sering disertai pembeng- kakan mukosa saluran pernafasan dengan edema glotis, sesak nafas.
2. Proses lambat/berlarut: gatal-gatal, rasa panas pada telapak tangan dan kaki, di rongga mulut (sering dengan rasa metalik/logam), keluhan sirkulatoris (pusing, lemah, perasaan tidak enak badan dsb.), eksantem (bercak-bercak merah di seluruh tubuh, urtikaria dengan gatal yang hebat, pembengkakan mukosa dalam rangka edema Quincke. Bronkospasmus (pengerutan otot-otot bronki) yang mengakibatkan sesak nafas. Hipertensi!!! Hiperperistaltik (meningkatnya kerja saluran pencer- naan) dengan akibat muntah-muntah dan berak-berak (tidak harus diare!). Kejang-kejang otot tubuh karena gangguan pusat syaraf. Selain itu: lekopeni, trombo- peni, hambatan koagulasi darah.
Terapi:
1. Bila pasien kehilangan kesadaran, letakkan dalam posisi samping yang stabil:
Kemudian injeksikan1 mg epineprin (adrenalin atau suprarenin) yang telah dicampur dengan 9 ml NaCl o,9%. Berikanintravenos beberapa kali (setiap kali 1 ml sampai seluruhnya. Kemudian Prednisolon 250 s/d 1000 mg. Sebagai pelengkap antialergikum (clemastinhidrogenfumarat atau dimetindenmaleat 4 mg), infus dengan cairan koloidal (HAES), Dopamin, Noradrenalin . Jika terjadi aspiksia, maka intubasi atau trakeotomi darurat.
Gambar 2.1
“Jarum” untuk trakeotomi darurat
Gambar 2.2
Skema Trakeotomi Darurat
2. Serum sickness:
Gejala-gejalanya sepeerti pada shock anafilaktis, tetapi biasanya jauh lebih ringan. Biasanya tejadi 5-8 hari setelah eksposisi pertama dengan alergen. Penjelasannya sebagai berikut: waktu antibodi dibentuk, alergen/antigen yang pertama memasuki organisme tersebut belum seluruhnya tereliminasi, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit dari pada waktu permulaan. Sehingga reaksi yang terjadipun hanya meliputi sejumlah kecil alergen dengan antibodi saja. Inilah sebabnya, kenapa reaksi ini ringan saja. Simptoma:pada tempat injeksi akan muncul eritema yang kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan diiringi naiknya suhu tubuh. Selain itu akan timbul urtikaria, edema Quincke, muntah-muntah, diare dan nyeri sendi yang mirip gejala rematik.
Terapi: Prednisolon dan antihistaminikum.
3. Urtikaria dan Edema Quincke: Kedua simptoma ini bisa merupakan bagian dari shock anafilaktis/serum sichkness atau juga merupakan gejala tersendiri. Urtikaria merupakan bercak-bercak merah di kulit yang diikuti timbulnya gelembung-gelembung putih (wheals) yangbesarnya bervariasi dari kira-kira 0,5 cm sampai selebar telapak tangan. Batasannyaterhadap kulit di sekelilingnya jelas/tajam, diiringi rasa gatal dan nyeri. Gelembung-gelembung ini bisa menyatu dan membentuk gelembung besar berisi cairan (bula). Di selaput mulupun gejala ini bisa muncul. Terkadang suhu tubuh naik (tidak terlalu tinggi). Sesudah 2 hari biasanya semua akan menghilang. Afeksi ini terbentuknya hanya di lapisan permukaan kulit saja. Sebaliknya Edema Quincke mengenai juga lapisan-lapisan yang lebih dalam. Pembengkakan ini biasanya hanya terbatas di wajah, bibir dan lidah, dan hanya menimbulkan perasaan tegang di bagian yang terkena tanpa gejala lain. Kecuali, tentu saja, jika bagian tenggorokan juga terkena, sehingga bisa menyebabkan edema glotis
Terapi:Prednisolon dan antihistaminikum, kalsiumglukonat intravenous.
Gambar 2.3
4. Eksantem sebagai manifestasi alergi terhadap obat-obatan: Eksantema akibat alergi terhadap obat-obatan bisa mirip seperti eksantema yang terlihat pada beberapa penyakit infeksi: morbilli/german measles, rubella, scarlet fever/scarlatina. Bercak-bercak merah yang timbul bisa menyatu (konfluensi) dan jarang melebihi permukaan kulit, diiringi rasa gatal dan bisa mengenai rongga mulut, di mana eksantem itu bisa menyerupai eritema eksudativum. Obat-obat yang bisa menyebabkan alergi (contoh): penisilin dan derivatnya (amoksisillin, ampisillin dsb.), sulfametoxazol/trimetoprim dan lain-lain
Gambar 2.4
5. Beberapa reaksi alergis di bagian/rongga mulut:
a. Cheilitis alergis akut: Bengak dan merah di bibir diikuti rasa gatal dan te-gang, kadang denga ulserasi pem- borokan. Antigen yang menyebabkan reaksi ini sering obat oral/telan, makanan (putih telur, ikan dll).
Gambar 2.5
b. Cheilitis eczematosa: Muncul setelah kontak jangka agak panjang dengan obat, makanan, kosmetika, pasta gigi dsb. Beruap merah dan pembengakakan bibir dan bagian sekelilingnya dengan erosi permukaan, vesicula dan crusta. Di mucoas yang bersangkutan juga terlihat eritema edematos dengan atau tan-pa vesicula. Biasanya dengan pemborokan di sudut mulut/bibir (ragada), gatal dan rasa panas di bibir.
c. Stomatitis alergis akut: Pembengkakan mukosa dan memerahnya (rubor) disertai timbulnya vesicula dan erosi. Rasa panas, nyeri waktu mengunyah, produksi air liur berlebihan. Antigen: pasta gigi, permen karet, tembakau, ob-at, makanan, bahan-bahan yang dipergunakan di kedokteran gigi.
d. Stomatopati alergis sebagai reaksi terhdap prostesis/implantat: Meme-rahnya dan pembengkakan mukosa di bagian palatin (atap mulut) dan alveolar process, jarang di mukosa bagian pipi atau di lidah. Erosi permukaan, coating, rasa panas, gangguan rasa (disgeusia). Alergen: implant atau prostesis metal atau sintetik.
Terapi: eliminasi antigen, kortison.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Diketahui bahwa sekitar 80% kunjungan pernafasan pasien ke dokter merupakan gangguan berulang yang menjurus pada kelainan alergi.
2. Ditemukan bahwa zat yang paling sering menyebabkan alergi: Serbuk tanaman; jenis rumput tertentu; jenis pohon yang berkulit halus dan tipis; serbuk spora; penisilin; seafood; telur; kacang panjang, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya; susu; jagung dan tepung jagung;sengatan insekta; bulu binatang; kecoa; debu dan kutu

3.2 Saran
1. Diharapkan bagi petugas kesehatan untuk dapat terus meningkatkan pendidikan kesehatan berupa penyuluhan kepada masyarakat dengan tujuan meningkatkan pengetahuan khususnya mengenai alergi.
2. Bagi masyarakat khususnya penderita alergi dapat dengan rutin dan rajin mengikuti terapi pengobatan yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan dengan harapan dapat segera menanggulangi alergi yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Judarwanto, 2005. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. Dipresentasikan pada seminar AUTISM UPDATE DI HOTEL NOVOTEL Jakarta tanggal 9 September 2005.
---------------, 2005. Alergi Pada Anak, Jakarta. Penerbit Yudhasmara, 2004.
Wikipedia, 2008. Alergi. http://id.wikipedia.org/wiki/Alergi, (diperoleh pada tanggal 12 Desember 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar