Rabu, 30 November 2011

Cara Mencegah Kehamilan (Tips)



Bagi pasangan yang telah menikah dan telah mempunyai anak, mencegah kehamilan tentu saja merupakan informasi yang sangat penting untuk diketahui. Hidup di zaman sekarang dengan segala sesuatu yang serba mahal, pastinya tidak relevan lagi motto orang tua kita zaman dulu “Banyak anak banyak rezeki”. Mungkin kalau zaman sekarang “banyak anak beban hidup jadi lebih tinggi”.

Mencegah kehamilan tentu saja memberikan kesempatan kepada ibu pasca melahirkan untuk memulihkan diri dari kehamilan dan memberi ibu kesempatan untuk menyusui bayi dan merawat anak hingga lebih mandiri. Tujuan mencegah dan mengatur jadwal kehamilan nantinya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga. Tapi mencegah kehamilan tidak berlaku buat pasangan infertil yang sangat mendambakan kehamilan.

Yang paling membuat miris, dewasa ini remaja / muda-mudi juga membutuhkan informasi tentang bagaimana cara mencegah kehamilan. Bagaimana tidak, seks bebas sudah seperti jamur di hari hujan. Bebas tanpa bisa dicegah, hal ini disebabkan makin bebasnya remaja mengakses informasi tanpa sensor, terbukti dengan maraknya video porno dan foto porno anak smp/sma di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Jakarta, Batam Palembang, Medan, Aceh sampai dengan kota-kota di Bali. Perilaku seks bebas ini banyak menghasilkan kehamilan yang tidak diinginkan. Jadi informasi untuk mencegah kehamilan juga sangat penting untuk diketahui.

Dari beberapa alasan itulah kami memandang perlu untuk mengungkap bagaimana cara terbaik untuk mencegah kehamilan. Hal ini penting agar suami istri mendapatkan informasi yang mereka perlukan untuk mencegah dan menunda kehamilan dan remaja / muda – mudi pun sadar akan resiko seks bebas yang mereka lakukan sehingga pencegahan kehamilan menjadi alternatif terbaik dibandingkan menggugurkan kandungan yang pastinya hanya merugikan pihak perempuan.

Mencegah Kehamilan dengan Coitus Interuptus
Apa itu Coitus Interuptus, bagaimana bisa teknik tersebut efektif untuk mencegah kehamilan? Metode Coitus Interuptus juga dikenal dengan metode senggama terputus. Teknik ini dapat mencegah kehamilan dengan cara sebelum terjadi ejakulasi pada pria, seorang pria harus menarik penisnya dari vagina sehingga tidak setetespun sperma masuk kedalam rahim wanita. Namun demikian walaupun teknik ini dapat mencegah kehamilan, beberapa penelitian menyatakan keberhasilan teknik coitus interuptus untuk mencegah kehamilan sangat dipengaruhi oleh kemampuan seorang pria untuk merasakan tanda ejakulasi dan kecepatannya untuk menarik penis dan mendapatkan orgasme di luar vagina. Karena banyak sekali pria yang tidak tahu pasti kapan dia mengalami ejakulasi, prosentase pencegahan kehamilan dengan teknik ini menjadi sangat kecil. Untuk membuahi sel telur wanita, tidak dibutuhkan satu liter sperma. Tapi hanya satu sel sperma saja. Coba bayangkan, kalau setetes sperma itu saja berisi jutaan sel sperma. Bila ada setetes sperma / air main yang masuk kedalam vagina, maka kemungkinan untuk terjadi kehamilan dan tertularnya penyakit kelamin masih sangat tinggi.

Mencegah kehamilan dengan Teknik Kalender
Pencegahan kehamilan dengan teknik kalender sangat erat kaitannya dengan kemampuan seorang wanita untuk mengetahui masa suburnya. Seperti yang telah banyak dibahas sebelumnya, sperma dapat hidup maksimal 3 s/d 5 hari di rahim wanita untuk menunggu terjadinya ovulasi dan segera membuahi sel telur. Dengan teknik kalender, seorang wanita diharapkan dapat mencegah terjadinya kehamilan dengan cara tidak melakukan hubungan intim di waktu 3 s/d 5 hari sebelum masa subur tersebut dan 3 hari setelah masa subur (sel telur dapat hidup selama maks 2 hari). Sama seperti metode sebelumnya, mencegah kehamilan dengan teknik ini tidak mempunyai prosentase keberhasilan sampai 100% karena kesalahan penghitungan masa subur yang kurang tepat. Terlebih lagi bagi wanita yang siklus menstruasinya tidak teratur, sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti kapan ovulasi/masa subur terjadi, akhirnya tekhnik ini sangat tidak efektif untuk mencegah kehamilan.

Mencegah kehamilan dengan Alat Kontrasepsi
Penggunaan alat kontrasepsi merupakan satu hal yang paling masuk akal. Walaupun tingkat keberhasilannya untuk mencegah kehamilan mendekati 100% banyak dari masyarakat kita enggan untuk menggunakan alat kontrasepsi. Alat-alat pencegah kehamilan tersebut antara lain :

Mencegah kehamilan dengan Kondom
Kondom merupakan satu cara favorit untuk mencegah kehamilan. Harga yang murah dan penjualannya juga bebas. Kondom merupakan cara ampuh yang dikampanyekan pemerintah untuk mencegah kehamilan maupun menghindari HIV/AIDS. Namun demikian cara ini ternyata juga sering gagal dalam usaha mencegah kehamilan. Biasanya kehamilan terjadi karena karet plastik kondom bocor ataupun pada saat setelah ejakulasi dan laki-laki kurang hati-hati dalam menarik penisnya. Sehingga sperma akhirnya bisa lolos dan merembes masuk ke dalam vagina melalui pangkal penis laki-laki. Tetap harus diingat, walau pun Cuma setetes sperma, tapi isinya berjuta-juta sel sperma.

Mencegah kehamilan dengan Pil KB
Pil KB merupakan satu pilihan lain untuk mencegah kehamilan. Pil KB yang dirasa efektif untuk mencegah kehamilan biasanya PIL KB yang berisi kombinasi hormon pencegah kehamilan. PIL KB sendiri bekerja mencegah kehamilan dengan cara melindungi indung telur agar tidak melepaskan sel telur. Jika sel telur telah terlanjur lepas, PIL KB akan mencegah tertanamnya sel telur pada rahim.

Mencegah kehamilan dengan memakai susuk/Norplant/Implant
Hampir sama dengan PIL KB, susuk/norplant ini setelah tertanam dalam tubuh wanita akan mengeluarkan hormon pencegah kehamilan secara terus menerus. Beberapa sumber menyatakan keberhasilan pencegahan kehamilan dengan teknik ini mencapai hampir 99%.

Mencegah kehamilan dengan menggunakan Injeksi
Cara mencegah kehamilan dengan teknik ini adalah dengan cara menyuntikkan obat Depo Provera yang berisikan hormon kedalam tubuh wanita dalam waktu tertentu. Biasanya wanita yang ingin mencegah kehamilan diberi dua opsi untuk melakukan suntik secara bulanan atau setiap tiga bulan sekali. Sama dengan PIL KB dan susuk, tingkat keberhasilan metode ini untuk mencegah kehamilan hampir mencapai 99%.

Mencegah kehamilan menggunakan diagfragma dan kap serviks uterus
Teknik ini bekerja untuk mencegah kehamilan dengan cara memasukkan diafragma / kap karet kedalam bagina enam jam sebelum berhubungan intim. Diafragma ini bekerja dengan mencegah masuknya sperma ke dalam rahim/uterus. Diafragma biasanya juga dilengkapi dengan spermisida untuk membunuh sperma dan mencegah kehamilan. Karena pemasangan diafragma ini sulit, sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter spesialis agar pesangannya tepat.

Mencegah kehamilan dengan teknik Steril
Prosentase keberhasilan untuk mencegah kehamilan dengan cara ini tentunya mencapai 100% namun demikian biasanya untuk kembali mendapatkan kehamilan merupakan cara yang sulit untuk dilakukan. Metode steril dibagi menjadi dua yaitu Metode Operasi Wanita dan Metode Operasi Pria. Kedua metode ini dilakukan dengan cara operasi oleh dokter spesialis kandungan. Pada wanita dilakukan pemutusan atau pemasangan cincin pada saluran telur untuk mencegah sampainya sel telur yang dilepas di indung telur menuju rahim.

Askep Sirosis Hepatis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ahli melaporkan, bahwa minum secangkir kopi setiap hari dapat mengurangi risiko terjadinya sirosis hepatis akibat mengkonsumsi alkohol hingga 22%. Laporan ini disampaikan oleh Kaiser Permanente Medical Care Program, Oakland, California dimana mereka telah mempelajari data 125.580 pasien. Data-data tersebut didukung oleh hipotesis yang mengatakan bahwa kandungan dari kopi tersebut dapat melindungi hati atau melawan terjadinya sirosis, khususnya sirosis akibat alkohol. Meski demikian apa yang menyebabkan adanya perlindungan terhadap hati tidak diketahui, mereka mengatakan. Kopi mengandung berbagai kumpulan bahan biologikal aktif, para ahli tersebut menjelaskan. Seringkali pula pada kopi tersebut ditambahkan krim, susu dan gula atau substansi lain yang kemungkinan besar memiliki efek kesehatan yang tinggi.
Ahli lain mengatakan bahwa kandungan cafein yang terdapat pada kopi yang memiliki peranan sebagai bahan protektif terhadap hati, meski demikian efek protektif tersebut tidak ditemukan pada mereka yang rutin mengkonsumsi teh. Bila benar efek protektif terhadap hati dapat diperoleh dari kopi, risiko peningkatan terjadinya sirosis akibat alkohol dapat ditekan dengan cara yang mudah. Namun sampai saat ini masih dilakukan penelitian yang lebih besar lagi untuk mengetahui kandungan apa yang memiliki efek protektif terhadap hati tersebut.
Sekarang, kita bertanya, Apa sih Sirosis Hepatis itu?? Dengan melihat dari uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik menulis makalah yang berjudul, Sirosis Hepatis disertai dengan Asuhan Keperawatannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari Meconium Sirosi Hepatis ?
2. Bagaimana Etiologi dari Sirosi Hepatis?
3. Bagaimana patofisiologi dari Sirosi Hepatis?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Sirosi Hepatis?
5. Apa komplikasi dari Sirosi Hepatis?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari Sirosi Hepatis ?
7. Bagaimana terapi / penatalaksanaan dari Sirosi Hepatis?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan Sirosi Hepatis?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep penyakit yang berhubungan dengan Sirosis Hepatis seta Asuhan Keperawatan Sirosis Hepatis.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari Sirosi Hepatis?
b. Untuk mengetahui Etiologi dari Sirosi Hepatis?
c. Untuk mengetahui patofisiologi Sirosi Hepatis?
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis Sirosi Hepatis?
e. Untuk mengetahui komplikasi dari Meconium Aspiration Syndrom?
f. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari Sirosi Hepatis?
g. Untuk mengetahui terapi / penatalaksanaan dari Sirosi Hepatis?
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari Meconium Aspiration Syndrom?

BAB II
SIROSIS HEPATIS
A. Pengertian
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
B. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis hepatis :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
C. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.
D. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol
(noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
Edema Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium. Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutinsehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
E. Komplikasi
1. Hematemesis melena
2. Koma hepatikum
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.
2. Kenaikan kadar enzim transaminase – SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
3. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
4. Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan prognasis jelek.
5. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
6. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
7. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis jelek.
8. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah keganasan.
G. Terapi / Penatalaksanaan
1. Istrahat ditempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Diet rendah protein. Bila ada asites diberikan diet rendah garam II, dan bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi protein.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik.
4. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino essensial berantai cabang dan glukosa.
5. Roboansia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
SIROSIS HEPATIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
a. Nama lengkap
b. Suku
c. Agama
d. Tanggal lahir
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
3. Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
5. Riwayat Tumbuh Kembang
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit, seperti ada riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan imunisasi, pada form yang tersedia tidak terdapat isian yang berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.
7. Riwayat Psikologi
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hepatis dimungkinkan terjadi perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2000).
8. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran dan keadaan umum pasien
Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
b. Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
1) Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.
2) Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :
a) Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)
b) Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
3) Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa Keperawatan 1 :
Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus)
Tujuan
: Status nutrisi baik
Intervensi :
a. Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.
b. Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
c. Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
Rasional: Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
d. Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural.
Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
e. Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak.
Rasional: Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
f. Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
Rasional: Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
g. Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional: Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah
h. Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan.
Rasional: Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia. Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
i. Kolaborasi pemberian antiemetik
Rasional: untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral
2. Diagnosa Keperawatan 2 :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujua
n : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
a. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
b. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
c. Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
d. Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
3. Diagnosa Keperawatan 3 :
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan : Integritas kulit baik
Intervensi :
a. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
b. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
c. Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
d. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik
e. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
f. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut
Ada 3 tipe sirosis hepatis :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
Penatalkasanaan sirosis hepatis adalah :
1. Istrahat ditempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Diet rendah protein. Bila ada asites diberikan diet rendah garam II, dan bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi protein.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik.
4. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino essensial berantai cabang dan glukosa.
5. Roboansia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.
B. Saran
1. Bagi para pembaca (mahasiswa) diharapkan dapat memetik pemahaman dari uraian yang dipaparkan diatas yaitu Sirosis Hepatis, dan dapat mengaplikasikannya dalam lingkungan masyarkat khususnya dalam pemberian penyuluhan untuk pencegahan/ atau pengurangan faktor predisposisi sirosis hepatis tersebut.
2. Bagi mahasiswa, diharapkan agar terus menambah wawasan khususnya dalam bidang keperawatan.
3. Bagi dosen pembimbing, diharapkan dapat memberi masukan, baik dalam proses penyusunan maupun dalam pemenuhan referensi untuk membantu kelancaran dan kesempurnaan pembuatan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Danis, Difa. Kamus Istilah Kedokteran. Gitamedia Press
Doenges, E Marilynn.1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 2. Jakarta:

ASKEP POST VAKUM EKSTRAKSI INDIKASI KALA II TAK MAJU

ASKEP POST VAKUM EKSTRAKSI INDIKASI KALA II TAK MAJU
KONSEP DASAR

A. Pengertian

Post partum atau masa nifas adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa nifas 6-8 minggu (Mochtar, 1998 : 115). Sedangkan menurut Prawirohardjo (2001 : 187) post partumadalah masa dimana alat-alat genetalia interna maupuneksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil, yang dimulai setelah partusselesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu.

Askep Post Vakum EkstraksiPersalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18-24 jam tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, 2000 : 100). Sedangkan Farrer (2001 : 118) berpendapat bahwa persalinan normal adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan aterm (bukanprematur atau post matur) mempunyai janin (tunggal) dengan presentasi verteks(puncak kepala) terlaksana tanpa bantuan, tidak mencakup komplikasi (seperti perdarahan hebat) mencakup kelahiran plasenta yang normal.

Fase laten kala II kontraksi rahim yang lemah disekitar waktu pembukaan lengkap sering kali dijumpai fase laten kala II sering dipandang abnormal dan dapat ditangani sebagai inersia uteri. Pada fase aktif kala II ditandai dengan penurunan janin dan usaha untuk mengejan tanpa sadar, fase ini kadang-kadang disebut sebagai bagian panggul dari persalinan, periode mengejan, kontraksi usaha mengejan dan posisi tubuh wanita merupakan kekuatan yang tergabung untuk melahirkan bayi (Simkin, 2005 : 89).

Persalinan dengan vakum esktraksi adalah suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan dengan ekstraksi tenaga negatif (vakum) pada kepalanya (Prawirohardjo, 2000 : 10). Menurut Saifuddin (2000 : 495) vakum ekstraksi merupakan tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Sedangkan Mochtar (1998 : 120) berpendapat bahwa vakum ekstraksi merupakan suatu alat yang dipakai untuk memegang kepala janin yang masih berada dalam jalan lahir.

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita

Anatomi dan fisiologi sistem reproduksi wanita terdiri dari organ interna, yang terletak di dalam rongga pelvisdan genital eksterna yang terletak di perineum. (Menurut Bobak 2004;29 ).

1. Struktur eksterna
1. Mons pubis atau mons veneris
Adalah jaringan lemak subkutan berbentuk lunak dan padat. Mons pubis mengandung banyak kelenjar sebasea (minyak) dan ditumbuhi rambut berwarna hitam, kasar dan ikal pada masa pubertas, yakni sekitar satu sampai dua tahun sebelum awitan haid
2. Labia mayora
Adalah dua lipatan kulit panjang melengkung yang menutupi lemak dan jaringan ikat yang menyatu dengan mons pubis. Sensitivitas labia mayora terhadap sentuhan, nyeri dan suhu tinggi, hal ini diakibatkan adanya jaringan saraf yang menyebar luas yang juga berfungsi selama rangsangan seksual.
3. Labia minora
Adalah lipatan kulit panjang, sempit dan tidak berambut yang memanjang ke arah bawahklitoris dan menyatu dengan fourchette, terdapat banyak pembuluh darah sehingga tampak kemerahan.
4. Klitoris
Adalah organ pendek berbentuk silinder dan erektil, mengandung banyak pembuluh darah dan saraf sensoris sehingga sangat sensitif. Fungsi utama klitoris adalah menstimulasi dan meningkatkan ketegangan seksual.
5. Vestibulum
Merupakan rongga yang berada diantara bibir kecil (labia minora) dibatasi oleh klitoris danperinium, dalam vestibulum terdapat muara-muara dari introiuts vagina uretra, kelenjarbartolini dan kelenjar skine.
6. Fourchette
Adalah lipatan jaringan tranversal yang pipih dan tipis, terletak pada pertemuan ujung bawah labia mayora dan minora di garis tengah di bawah orifisium vagina.
7. Perineum
Adalah daerah muskular yang ditutupi kulit antara introitus vagina dan anus, panjangnya kurang lebih 4 cm.

2. Struktur interna
1. Ovarium
Merupakan kelenjar terletak di kanan kiri uterus, di bawah dan di belakang tuba fallopiterikat oleh ligamentum latum uterus (mesovarium dan ovari proprium). Saat ovulasi (pematangan folikel degraf dan mengeluarkan ovum), ukuran ovarium dapat menjadi 2 kali lipat untuk sementara. Sebelum menarche permukaan ovarium licin, setelah maturitas sexual timbul luka parut akibat ovulasi dan ruptur folikel yang berulang membuat permukaan nodular menjadi kasar.
Fungsi ovarium adalah
* Memproduksi ovum
* Memproduksi hormon (estrogen dan progesteron)
2. Tuba falopi atau tuba uterin
Sepasang tuba falopi melekat pada fundus uterus memanjang ke arah lateral, panjang ± 10 cm dengan diameter 0,6 cm. Setiap tuba terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan peritonium(luar), lapisan otot tipis (tengah), lapisan mukosa (dalam). Tuba falopi terdiri 4 segmen meliputi :
* Interstitialis: Bagian yang terdapat di dinding uterus
* Ismus: Merupakan bagian medial tuba yang sempit seluruhnya
* Ampularis: Bagian yang berbentuk saluran leher tempat konsepsi agak lebar
* Infundibulum: Bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunyai fimbria untuk menangkap ovum kemudian menyalurkan ke tuba

Fungsi tuba falopi adalah menghantarkan ovum dari ovarium ke uterus. Perjalanan ovumdalam tuba fallopi didorong oleh gerakan peristaltik lapisan otot yang dipengaruhi oleh estrogen dan prostaglandin. Aktifitas ini terjadi saat ovulasi.
3. Uterus
Adalah organ berotot, terletak di dalam pelvis antara rektum dan vesika urinaria, panjang ± 7,5 cm, lebar 5 cm, tebal 2,5 cm, berat 50 gram.
* Uterus terdiri dari :
o Fundus uteri: Merupakan benjolan bulat dibagian atas dan terletak di atas insersi tuba falopi.
o Korpus uteri: Bagian yang mengelilingi cavum uteri (rongga rahim) berfungsi sebagai tempat janin berkembang.
o Ismus/servik uteri : Ujung servik menuju puncak vagina disebutporsio, hubungan antara kavum uteri, dan kanalis servikalis disebutostium uteri internium
* Fungsi uterus :
Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan, pembuahan ovum secara normal terjadi di dalam tuba uterin, endometrium disiapkan untuk menerima ovum yang telah dibuahi, dan ovum tertanam dalam endometrium. Pada waktu hamil uterus bertambah besar dindingnya menjadi tipis tetapi kuat dan besar sampai ke luar pelvis masuk ke dalam rongga abdomen pada masa pertumbuhan janin. Pada saat melahirkan uterus berkontraksi mendorong bayi dan plasenta keluar.
4. Vagina
Tabung yang dilapisi membran dari jenis epitelium bergaris khusus dialiri banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Panjangnya dari vestibulum sampai uterus 7,5 cm. Merupakan penghubung antara introitus vagina dan uterus. Dinding depan vagina 9 cm, lebih pendek dari dinding belakang, pada puncak vagina menonjol leher rahim (servik uteri) yang disebut porsio. Bentuk vagina lapisan bagian dalam berlipat-lipat disebutrugae.
5. Servik (bagian paling bawah uterus)
Disusun oleh jaringan ikat fibrosa, serabut otot, jaringan elastis, karakteristik servik atau kemampuannya meregang pada saat melahirkan anak pervaginaan, dipengaruhi oleh jaringan ikat yang banyak dan kandungan serabut yang elastis. Lipatan di dalam lapisanendoservik dan 10 % kandungan serabut otot.


C. Etiologi

1. Teori-teori terjadinya persalinan menurut Manuaba (1998 : 158)
1. Teori keregangan
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas waktu tertentu. Setelah melewati batas tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat dimulai.
2. Teori penurunan progesteron
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur hamil 28 minggu, dimana terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu. Produksiprogesteron mengalami penurunan, sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin.Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan progesterontertentu.
3. Teori oksitosin internal
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis parst posterior Perubahan keseimbanganestrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadikontraksi braxton hicks. Menurunnya konsentrasi progesteron akibat besarnya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan dapat dimulai
4. Teori prostaglandin
Teori prostaglandin meningkat sejak umur 15 minggu, yang dikeluarkan oleh desidua.Pemberian prostaglandin saat hamil dapat menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dikeluarkan. Prostaglandin dianggap dapat merupakan terjadinya persalinan
5. Teori hipotalamus-pituatri dan glandula suprarenalis
Teori menunjukkan pada kehamilan dengan anersefalus, sering terjadi kelambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus. Pemberian kortikosteroid yang dapat menyebabkan maturitas janin, induksi mulainya persalinan. Glandula suprarenalismerupakan pemicu terjadinya persalinan.
2. Indikasi dilakukan vakum ekstraksi menurut (Prawirohardjo, 2000 : 82)
1. Untuk mempercepat kala II misalnya : penyakit jantung kompensta, penyakit paru-paru fibrotik.
2. Waktu kala II yang memanjang
3. Gawat janin (masih kontroversi)
4. Kelelahan ibu
5. Partus tak maju
3. Penyebab lambatnya kala II menurut (Simkin, 2005 : 13)
1. Posisi dan strategi lain untuk dugaan janin oksiput posterior atau oksiput transversal menetap.
2. Diduga disproporsi kepala panggul (CPD).
3. Diduga terjadi distasia emosional


D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis masa nifas menurut Depkes (2004 : 6)

1. Adaptasi fisik
1. Tanda-tanda vital
Pada 24 jam pertama suhu meningkat hingga 38°C sebagai akibat efek dehidrasi selama persalinan. Pada hari ke-2 sampai sepuluh suhu meningkat karena adanya infeksi kemungkinan mastitis infeksi infeksi traktus urinarius. Periode 6-8 hari sering terjadi bradikadi.
2. Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah ibu harus kembali stabil sesudah melahirkan. Berkeringat dan menggigil disebabkan oleh ketidakstabilan vasomotor, komponen darah yang meliputi haemoglobin, hematokrit, dan eritrosit ibu post partus sesuai sebelum melahirkan.
3. Sistem tractus urinarius
Selama proses persalinan kandung kemih merupakan sasaran untuk mengalami trauma yang dapat disebabkan karena tekanan dan edema. Perubahan ini dapat menimbulkan overdistensi dan pemenuhan kandung kemih yang terjadi selama 2 hari post partum.Hematuri pada periode early post partum menunjukkan adanya trauma pada kandung kemih selama persalinan, selanjutnya bisa terjadi infeksi pada saluran kemih. Aseton dapat terjadi karena dehidrasi setelah persalinan lama, aliran darah ke ginjal glomerular filtration dan ureter dalam waktu sebulan secara bertahap akan kembali seperti keadaan sebelum hamil.
4. Sistem endokrin
Mengikuti lahirnya placenta maka segera terjadi penurunan estrogen, progesteron dan prolaktin dengan cepat. Pada wanita tidak menyusui prolaktin akan terus menurun sampai normal pada minggu pertama. Perubahan payudara kolostrum sebelum produksi susu dapat muncul pada trimester III kehamilan dan dilanjutkan pada minggu pertama post partum.
5. Sistem gastrointestinal
Kembalinya fungsi normal usus besar biasanya pada minggu pertama post partum.
6. Sistem muskuloskeletal
Otot abdomen secara bertahap atau melebar selama kehamilan, menyebabkan pengurangan tonus otot yang akan terlihat jelas pada periode post partum.
7. Sistem reproduksi
* Involusi uteri
Pada akhir kala III ukuran uterus panjang 14 cm, lebar 12 cm, tebal 10 cm, berat kurang lebih 1000 gram sama dengan umur 16 minggu kehamilan.
* Kontraksi uterus
Dengan adanya kontraksi uterus akan menjepit pembuluh darah uterus sehingga perdarahan dapat terhenti.
* Lochea
Adalah sekret yang berasal dari kavum uteri yang dikeluarkan melalui vagina pada masa nifas. Macam-macam lochea antara lain : lochea rubra, lochea serosa, lochea alba, lochea purulenta, lochiostatis.
* Cervix
Servik dan segmen uterus dengan bawah akan tampak edema tipis dan terbuka pada beberapa hari setelah melahirkan.
* Vagina dan perineum
Secara bertahap akan kembali ke sebelum hamil dalam 6-8 minggu setelah post partum.
2. Adaptasi psikologi; menurut (Bobak, 2000 : 740)
1. Proses parenting (proses menjadi orang tua) adalah masa menjadi orang tua secara biologis mulai sat terjadinya penemuan antara ovum dan sperma.
2. Attachment dan bonding adalah proses terjadinya rasa cinta dan menerima anak dan anak menerima serta mencintai orang tua.
3. Peran tugas dan tanggung jawab orang tua sesudah kelahiran
Ada 3 periode tugas dan tanggung jawab menurut (Bobak, 2000 : 745)
* Periode awal
Periode ini orang tua akan mengorganisir hubungan orang tua dengan anaknya.
* Periode konsol idasi
Mencakup egoisasi terhadap peran (suami-istri, ayah, ibu, orang tua, anak, saudara-saudara).
* Periode pertumbuhan
Orang tua-anak akan berkembang dalam peranannya masing-masing sampai dengan dipisahkan oleh kematian.
4. Penyesuaian ibu (maternal adjustment)
Ada 3 fase perilaku ibu, menurut (Bobak, 2000 : 743)
* Fase dependent (taking in)
Pada hari 1-2 pertama ibu lebih memfokuskan pada dirinya sendiri.
* Fase dependent-independen (taking hold)
Ibu mulai menunjukkan perluasan, fokus intervensi yaitu memperlihatkan bayinya.
* Fase dependen
Dalam fase ini terjadi ketidaktergantungan dalam merawat diri dan bayi lebih meningkat.


E. Patofisiologi

Ada 4 faktor yang mempengaruhi proses persalinan kelahiran yaitu passenger (penumpang yaitu janin dan placenta), passagway (jalan lahir), powers (kekuatan) posisi ibu dan psikologi (Farrer, 1999 : 189). Penumpang, cara penumpang atau janin bergerak disepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi beberapa faktor yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap dan posisi janin. Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang yang padat, dasar panggul, vagina dan introitus (lubang luar vagina).

Meskipun jaringan lunak khususnya lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul ibu lebih berperan dalam proses persalinan janin. Maka dari itu ukuran dan bentuk panggul harus ditentukan sebelum persalinan. Kekuatan ibu melakukan kontraksi involunter dan volunter. Posisi ibu, posisi ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi persalinan, posisi tegak memberi sejumlah keuntungan yaitu rasa letih hilang, merasa nyaman dan memperbaiki sirkulasi.

Pada kala II memanjang upaya mengedan ibu menambahi resiko pada bayi karena mengurangi jumlah oksigen ke placenta dianjurkan mengedan secara spontan jika tidak ada kemajuan penurunan kepala maka dilakukan ektraksi vakum untuk menyelamatkan janin dan ibunya (Simkin, 2005 : 2150). Dengan tindakanvakum ekstraksi dapat menimbulkan komplikasi pada ibu seperti robekan pada servik uteri dan robekan pada dinding vagina. Robekan servik (trauma jalan lahir) dapat menyebabkan nyeri dan resiko terjadinya infeksi (Doenges, 2001 : 388) dan komplikasi pada janin dapat menyebabkan subgaleal hematoma yang dapat menimbulkan ikterus neonatorum jika fungsi hepar belum matur dan terjadi nekrosis kulit kepala yang menimbulkan alopenia (Prawirohardjo, 2002 : 840.)

Pengeluaran janin pada persalinan menyebabkan trauma pada uretra dan kandung kemih dan organ sekitarnya (Reeder, 1999 : 645). Kapasitas kandung kemih post partum meningkat sehingga pengeluaran urin pada awal post partum banyak sehingga dapat mengakibatkan perubahan pola eliminasi urin (Doenges, 2001 : 295). Nyeri dapat mengakibatkan aktivitas terbatas sehingga terjadi penurunan peristaltik usus yang menyebabkan konstipasi (Manuaba, 2003 : 64).

Setelah bayi dilahirkan uterus akan menyesuaikan dengan keadaan tanpa janin kemudian memulai proses kontraksi dan retraksi, plasenta akan mulai terangkat dari dinding uterus sehingga pembuluh darah besar yang ada dalam uterus di belakang plasenta akan berdarah dan darah yang keluar akan mengisi retroplasenta. Jika sudah terisi darah perdarahan berhenti dan darah membeku hal ini menyebabkan kontraksi uterus lebih lanjut sehingga terjadi pelepasan plasenta (Farrer, 1999 : 61).

Setelah plasenta lahir terjadi penurunan produksi hormon estrogen dan progesteron dan digantikan hormonhipofise anterior yaitu prolaktin yang akan mengaktifkan sel-sel kelenjar payudara untuk memproduksi ASI (Farrer, 1999 : 193). Kelenjar hipofise posterior menghasilkan oksitosin sebagai reaksi terhadap pengisapan puting. Oksitosin mempengaruhi sel-sel mioepitel yang mengelilingi alveoli mamae sehingga alveoli tersebut berkontraksi dan mengeluarkan air susu yang sudah diekskresikan oleh kelenjar mamae (Farrer, 1999 : 201). Isapan bayi menimbulkan rangsangan hipofise melalui nervus interkostalis 4-6, menuju dorsal root, spinal cord nucleus praventrikularis dan supra optikus sehingga oksitosin dapat dikeluarkan. Fungsioksitosin yaitu merangsang mioepitel sekitar alveoli dan duktus berkontraksi sehingga ASI dapat dikeluarkan, merangsang kontraksi uterus sehingga mempercepat involusi uteri (Manuaba, 2003 : 66).

F. Pathway

Pathway Download DISINI

G. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik post partum menurut Mochtar ( 1998 : 118) meliputi :

1. Pemeriksaan umum : tekanan darah, nadi, keluhan, suhu badan.
2. Payudara : ASI, putting susu, areola
3. Dinding perut, perineum, kandung kemih, rectum.
4. Sekret yang keluar misalnya lochea, flour albus.
5. Keadaan alat-alat kandungan


Pemeriksaan post partum dengan episiotomi berfokus pada REEDA kemerahan (redness), pembengkakan (edema) bintik biru (echimosis) pengeluaran cairan (discharge), penyatuan jaringan (aproximation).
Pemeriksaan post vakum ekstraksi menurut (Saefudin, 2002) meliputi ;

1. Pemeriksaan bimanual untuk menemukan bukaan servik, besar, arah dan konsistensi uterus dan kondisi fornises.
2. Pemeriksaan kedalaman dan lengkung uterus dengan penera kavum uteri.


H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan post partum spontan dengan vakum ekstraksi menurut Mochtar (1998 : 112) adalah

1. Pada robekan perinium lakukan penjahitan dengan baik lapis demi lapis, perhatikan jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka ke arah vagina yang biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak baiknya penyembuhan luka.
2. Segera mobilisasi dan realimentasi.
3. Konseling keluarga berencana.
4. Berikan antibiotika cukup.
5. Pada luka perinium lama lakukan perineoplastik dengan membuka luka dan menjahitnya kembali sebaik-baiknya.


I. Fokus Pengkajian

Fokus pengkajian post partum menurut Doenges (2001 : 387) antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat
Dapat tampak berenergi atau kelelahan atau keletihan, mengantuk.
2. Sirkulasi
Nadi biasanya lambat (50 sampai 70 dpm) karena hipersensitivitas vagal. Tekanan darah bervariasi, mungkin lebih rendah pada respons terhadap analgesia atau meningkat pada respons terhadap pemberian oksitosin atau hipertensi karena kehamilan.
Edema bila ada, mungkin dependen atau dapat meliputi ekstremitas atas dan wajah atau mungkin umum. Kehilangan darah selama persalinan dan kelahiran sampai 400-500 ml untuk kelahiran vaginal atau 600-800 ml untuk kelahiran sesarea.
3. Integritas ego
Reaksi emosional bervariasi dan dapat berubah-ubah, misalnya eksitasi atau perilaku menunjukkan kurang kedekatan, tidak berminat (kelelahan).
4. Eliminasi
Hemoroid sering ada dan menonjol. Kandung kemih mungkin teraba di atas simfisis pubis.Diuresis dapat terjadi bila tekanan bagian presentasi menghambat aliran urinarius.
5. Makanan atau cairan
Dapat mengeluh haus, lapar atau mual.
6. Neuro sensori
Sensasi dan gerakan ekstremitas bawah menurun pada adanya anestesia spinal atau analgesia kauda. Hiperfleksia mungkin ada.
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
Dapat melaporkan ketidaknyamanan dari berbagai sumber, misalnya setelah nyeri, trauma jaringan atau perbaikan episiotomi, kandung kemih penuh atau menggigil.
8. Keamanan
Pada awalnya suhu tubuh meningkat sedikit. Perbaikan episiotomi utuh, dengan tepi jaringan merapat.
9. Seksualitas
Fundus keras berkontraksi, pada garis tengah dan terletak setinggi umbilikus. Drainase vagina ataulokhea jumlahnya sedang, merah gelap, dengan hanya beberapa bekuan kecil. Perineum bebas dari kemerahan, edema, ekimosis atau rabas. Striae mungkin ada pada abdomen, paha dan payudara. Payudara lunak, dengan puting tegang.
10. Penyuluha atau pembelajaran
Catat obat-obatan yang diberikan, termasuk waktu dan jumlah.
11. Pemeriksaan diagnostik
Hemoglobin atau hematokrit, jumlah darah lengkap, urinalisis.


J. Diagnosa Keperawatan dan Fokus Intervensi

Fokus intervensi pada pasien post partum spontan berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan menurut (Tucker ,1998 : 869)adalah sebagai berikut :

1. Nyeri berhubungan dengan episiotomi, nyeri setelah melahirkan dan atau ketidaknyamanan payudara.
Intervensi:
1. Atasi nyeri berikan obat sesuai program
2. Berikan kantong es pada perineum
3. Anjurkan ibu untuk mengeratkan bokong bersamaan bila duduk pada luka episiotomi nyeri.
4. Antisipasi kebutuhan terhadap penghilang nyeri
5. Anjurkan ibu untuk menggunakan tehnik relaksasi
6. Periksa payudara setiap 4 sampai 8 jam
7. Izinkan ibu menggunakan bra penyongkong setiap waktu
8. Kompres payudara selama 15 menit – 3 menit setiap 1-3 jam
9. Massase payudara secara manual tekan payudara
2. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insisi atau laserasi Intervensi :
1. Observasi kondisi episiotomi dan dokumentasi setiap hari
2. Perhatikan terhadap peningkatan suhu tubuh atau perubahan lain pada parameter vital sign
3. Lakukan perawatan perineum
4. Perhatikan dan laporkan adanya drainase bau busuk
5. Berikan antibiotik sesuai program
3. Konstipasi berhubungan dengan episiotomi dan hemoragi sekunder terhadap proses kelahiran. Intervensi:
1. Jamin masukan cairan adekuat
2. Berikan pelunak feses atau laksatif sesuai program
3. Anjurkan pasien untuk ambulasi sesuai toleransi
4. Perhatikan diit reguler
4. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan pasca persalinan.
Intervensi :
1. Anjurkan cairan per oral.
2. Ukur masukan dan haluaran selama 24 jam
3. Pertahankan cairan parenteral dengan eksitosik program
4. Hindari massage yang tidak perlu
5. Ganti pembalut perineal setiap 30-60 menit sesuai kebutuhan
6. Bila fundus lunak masage sampai keras
5. Resiko retensi urin berhubungan dengan trauma dan edema lanjut sekunder terhadap kelahiran.
Intervensi :
1. Anjurkan cairan setiap hari sampai 3 liter kecuali dikontraindikasikan
2. Anjurkan berkemih dalam 6-8 jam setelah melahirkan
3. Berikan tehnik untuk membantu berkemih sesuai kebutuhan dengan berkemih rendam bokong
6. Resiko terhadap perubahan peran orang tua berhubungan dengan transisi pada masa menjadi orang tua.
Intervensi :
1. Penuhi ketergantungan ibu selama berada pada fase 2-3 hari pertama
2. Bantu dan ajarkan ibu untuk melakukan semua tugas perawatan bayi
3. Ajarkan ibu dan pengunjung tehnik mencuci tangan yang baik
4. Libatkan pasangan atau orang tua atau orang terdekat dalam perawatan bayi dan penyuluhan
5. Hindari tehnik negatif pada ibu
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan pasca persalinan.
Intervensi :
1. Demonstrasikan perawatan payudara
2. Tekankan pentingnya diit nutrisi
3. Anjurkan pasien untuk menghindarkan koitus selama 4-6 minggu atau sesuai intruksi dokter.
4. Jelaskan pentingnya kebersihan perineum
5. Jelaskan pentingnya latihan ringan pada awal


Doenges (2001 : 237) juga menambahkan diagnosa yang muncul pada post partum berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan sebagai berikut :

1. Berduka berhubungan dengan kematian janin atau bayi Intervensi :
1. Libatkan pasangan dalam perencanaan perawatan
2. Identifikasi ekspresi dan tahap berduka
3. Tentukan makna kehilangan terhadap kedua anggota pasangan
4. Perhatikan pola komunikasi antara anggota pasangan dan sistem pendukung
5. Kuatkan realita situasi dan anjurkan diskusi dengan klien
6. Anjurkan keluarga untuk mengekspresikan perasaan dan mendengar
7. Kaji beratnya depresi
8. Perhatikan tingkat aktivitas klien, pola tidur, nafsu makan, personal
2. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi berhubungan dengan kurang informasi.
Intervensi :
1. Berikan rencana penyuluhan dengan menggunakan format yang standarisasi.
2. Pertahankan status psikologis klien dan respon terhadap kelahiran bayi dan peran menjadi ibu
3. Anjurkan partisipasi dalam perawatan bila klien mampu
4. Demonstrasikan tehnik-tehnik perawatan bayi
5. Kaji ulang tingkat pengetahuan pasien
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, tindakan invasif. Intervensi :
1. Anjurkan dan gunakan tehnik mencuci tangan dengan cermat
2. Bersihkan luka dan ganti balutan bila basah
3. Perhatikan jumlah dan bau lochea
4. Kaji suhu, nadi, dan jumlah sel darah putih
5. Perhatikan perawatan perineal dan kateter
6. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon hormonal dan psikologis (sangat gembira, ansietas) nyeri. Intervensi :
1. Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan untuk istirahat.
2. Kaji faktor-faktor bila ada yang mempengaruhi istirahat.
3. Berikan lingkungan yang tenang.
4. Berikan informasi tentang efek-efek kelelahan dan ansietas pada suplai ASI.


DAFTAR PUSTAKA

1. Bobak, Loudermik, Jensen, 2004, Buku Ajar Keperawatan Maternitas (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta
2. Bobak, M..I., Jensen, D. M., 2000, Perawatan Maternitas dan Ginekologi (terjemahan), Edisi 1, YIA. PKP, Bandung.
3. Carpenito, L.J., 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik (terjemahan), EGC, Jakarta.
4. Depkes, RI., 2004, Asuhan Keperawatan Post Partum Mata Ajaran Keperawatan Maternitas, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Semarang.
5. Dongoes, M.E., 2001, Rencana Keperawatan Maternal Bayi : Pedoman untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Pasien (terjemahan), Edisi 2, EGC, Jakarta.
6. Farrer, H., 1999, Perawatan Maternitas (terjemahan), EGC, Jakarta.
7. Manuaba, I.B.G., 1998, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, EGC, Jakarta.
8. Potter and Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktek, Edisi 4, EGC, Jakarta
9. Prawirohardjo, 2001, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.
10. Prawirohardjo, 2000, Ilmu Kebidanan, Y.B.P.S.P, Jakarta.
11. Reeders, S.J., 1997, Maternity Nursing Family Newborn and Klomens Healt Care, Lippinclot, Company, Philadelphia.
12. Saefuddin, A.B., 2000, Buku Acuan Nasional (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal), JNPKK POGI, Jakarta.
13. Tucker, S.M., 1998, Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan Diagnosa dan Evaluasi(terjemahan), EGC, Jakarta.
14. Underwood, J. C., 1999, Patologi umum dan sistemik, Editor edisi Bahasa Indonesia, sarjadi, Edisi 2, EGC, Jakarta.