BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit
saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian
yang paling sering dan penting pada anak, terutama pada bayi, karena
saluran pernafasannya masih sempit dan daya tahan tubuhnya masih rendah.
Disamping faktor organ pernafasan , keadaan pernafasan bayi dan anak
juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain, seperti suhu tubuh yang tinggi,
terdapatnya sakit perut, atau lambung yang penuh. Penilaian keadaan
pernafasan dapat dilaksanakan dengan mengamati gerakan dada dan atau
perut.Neonatus normal biasanya mempunyai pola pernafasan abdominal. Bila
anak sudah dapat berjalan pernafasannya menjadi thorakoabdominal. Pola
pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang
daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja
aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara
pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola
pernapasan yang paling sering adalah takipneu.
Ganguan
pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
organic, trauma, alergi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi
sejak bayi baru lahir. Gangguan pernapasan yang sering ditemukan pada
bayi baru lahir (BBL) termasuk respiratory distress syndrome (RDS) atau
idiopatic respiratory distress syndrome (IRDS) yang terdapat pada bayi
premature.
Sindrom
gawat nafas pada neonatus (SGNN) dalam bahasa inggris disebut
respiratory disstess syndrome, merupakan kumpulan gejala yang terdiri
dari dispneu atau hiperpneu. Sindrom ini dapat terjadi karena ada
kelainan di dalam atau diluar paru. Oleh karena itu, tindakannya
disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Beberapa kelainan dalam paru
yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membram hialin (PMH), pneumonia, aspirasi, dan sindrom Wilson-
Mikity (Ngastiyah, 1999).
RDS
terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena produksi
surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke 22, makin muda usia
kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS dan kelainan ini
merupakan penyebab utama kematian bayi prematur.
Banyak
teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan
kerusakan awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari Respiratori Distres Sindrome ?
2. Bagaimana Etiologi dari Respiratori Distres Sindrome ?
3. Bagaimana patofisiologi dari Respiratori Distres Sindrome ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Respiratori Distres Sindrome ?
5. Apa Insiden dari Respiratory Distress Syndrome ?
6. Apa komplikasi dari Respiratory Distress Syndrome ?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari Respiratory Distress Syndrome ?
8. Bagaimana terapi / penatalaksanaan dari Respiratory Distress Syndrome ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien anak dengan Respiratory Distress Syndrome ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk
mengetahui konsep penyakit yang berhubungan dengan Respiratory Distress
Syndrome serta Asuhan Keperawatan Respiratory Distress Syndrome
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari Respiratory Distress Syndrome
b. Untuk mengetahui Etiologi dari Respiratory Distress Syndrome
c. Untuk mengetahui patofisiologi Respiratory Distress Syndrome
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis Respiratory Distress Syndrome
e. Untuk mengetahui Insiden dari Respiratory Distress Syndrome
f. Untuk mengetahui komplikasi dari Respiratory Distress Syndrome
g. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik Respiratory Distress Syndrome
h. Untuk mengetahui terapi / penatalaksanaan dari Respiratory Distress Syndrome
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD),
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. (Malloy &
Freeman 2000).
RDS
adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature
dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada
udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan
x-ray thorak yang spesifik (Stark,1986).
RDS
adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline
Membrane Disesae (Suryadi, 2001).
RDS
adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala
dispneu, pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis,
merintih pada saat ekspirasi; terdapat retraksi pada suprasternal,
interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini terjadi perubahan paru
yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru yang rusak.
Kerusakan pada paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan
pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan
pada ruang antar alveoli sehingga dapat mencegah pergesekan dan
timbulnya kerusakan pada alveoli yang selanjutnya akan mencegah
terjadinya kolaps paru. (Yuliani, 2001)
B. Epidemiologi
Diperkirakan
ada 150.000 orang yang menderita RDS tiap tahunnya dan tingkat
mortilitasnya 50 %.Sepsis sistemik merupakan penyebab RDS terbesar
sekitar 50%, trauma 15 %, cardiopulmonary baypass 15 %, viral pneumoni
10 % dan injeksi obat 5 %.
C. Etiologi / factor predisposisi
Penyebab
kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat
aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru.RDS seringkali terjadi pada
bayi prematur, karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin
muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya RDS.
Kelainan merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Adapun
penyebab-penyebab lain yaitu:
1. Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru.
Bila
bayi mengalami sesak napas begitu lahir atau 1-2 hari kemudian,
biasanya disebabkan adanya kelainan jantung atau paru-paru. Hal ini bisa
terjadi pada bayi dengan riwayat kelahiran normal atau bermasalah,
semisal karena ketuban pecah dini atau lahir prematur. Pada bayi
prematur, sesak napas bisa terjadi karena adanya kekurangmatangan dari
organ paru-paru. Paru-paru harusnya berfungsi saat bayi pertama kali
menangis, sebab saat ia menangis, saat itu pulalah bayi mulai bernapas.
Tapi pada bayi lahir prematur, karena saat itu organnya tidak siap,
misalnya gelembung paru-paru tak bisa mekar atau membuka, sehingga udara
tidak masuk. Itu sebabnya ia tak bisa menangis. Ini yang namanya
penyakit respiratory distress syndrome (RDS). Tidak membukanya gelembung
paru-paru tersebut karena ada suatu zat, surfactan, yang tak cukup
sehingga gelembung paru-paru atau unit paru-paru yang terkecil yang
seperti balon tidak membuka. Ibaratnya, seperti balon kempis. Gejala
pada kelainan jantung bawaan adalah napas sesak. Ada juga yang misalnya
sedang menyusui atau beraktivitas lainnya, mukanya jadi biru dan ia jadi
pasif. Jadi, penyakitnya itu utamanya karena kelainan jantung dan
secondary-nya karena masalah pernapasan. Jadi, biasanya sesak napas yang
terjadi ini tidak bersifat mendadak. Walaupun demikian, tetap harus
segera dibawa ke dokter.
2. Kelainan pada jalan napas/trakea.
Kelainan
bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada bayi. Gejalanya,
napas sesak dan napas berbunyi "grok-grok". Kelainan ini terjadi karena
adanya hubungan antara jalan napas dengan jalan makanan/esophagus.
Kelainan ini dinamakan dengan trackeo esophageal fistula. Akibat
kelainan itu,ada cairan lambung yang bisa masuk ke paru-paru. Tentunya
ini berbahaya sekali. Sehingga pada usia berapa pun diketahuinya, harus
segera dilakukan tindakan operasi. Tak mungkin bisa menunggu lama karena
banyak cairan lambung bisa masuk ke paru-paru. Sebelum operasi pun
dilakukan tindakan yang bisa menolong jiwanya, misal dengan dimasukkan
selang ke jalan napas sehingga cairan dari lambung tak bisa masuk.
Biasanya sesak napasnya tampak begitu waktu berjalan 1-3 jam setelah
bayi lahir. Nah, bila ada sesak napas seperti ini, prosedur yang harus
dilakukan adalah dilakukan foto rontgen segera untuk menganalisanya.
3. Tersedak air ketuban.
Ada
juga penyakit-penyakit kelainan perinatologi yang didapat saat
kelahiran. Karena suatu hal, misalnya stres pada janin, ketuban jadi
keruh dan air ketuban ini masuk ke paru-paru bayi. Hal ini akan
mengakibatkan kala lahir ia langsung tersedak. Bayi tersedak air ketuban
akan ketahuan dari foto rontgen, yaitu ada bayangan "kotor". Biasanya
ini diketahui pada bayi baru lahir yang ada riwayat tersedak, batuk,
kemudian sesak napasnya makin lama makin berat. Itulah mengapa, pada
bayi baru lahir kita harus intensif sekali menyedot lendir dari mulut,
hidung atau tenggorokannya. Bahkan jika tersedak air ketubannya banyak
atau massive, harus disedot dari paru-paru atau paru-parunya dicuci
dengan alat bronchowash. Lain halnya kalau air ketubannya jernih dan tak
banyak, tak jadi masalah. Namun kalau air ketubannya hijau dan berbau,
harus disedot dan "dicuci" paru-parunya. Sebab, karena tersedak ini, ada
sebagian paru-parunya yang tak bisa diisi udara/atelektasis atau
tersumbat, sehingga menyebabkan udara tak bisa masuk. Akibatnya, jadi
sesak napas. Biasanya kalau di-rontgen,bayangannya akan terlihat putih.
Selain itu, karena tersumbat dan begitu hebat sesak napasnya,ada bagian
paru-paru yang pecah/kempes/pneumotoraks. Ini tentu amat berbahaya.
Apalagi kejadiannya bisa mendadak dan menimbulkan kematian. Karena itu
bila sesak napas seperti ini, harus lekas dibawa ke dokter untuk
mendapatkan alat bantu napas/ventilator.
4. Pembesaran kelenjar thymus.
Ada
lagi napas sesak karena beberapa penyakit yang cukup merisaukan yang
termasuk kelainan bawaan juga. Gejalanya tidak begitu kuat. Biasanya
bayi-bayi ini pun lahir normal, tak ada kelainan, menangisnya pun kuat.
Hanya saja napasnya seperti orang menggorok dan semakin lama makin
keras, sampai suatu saat batuk dan berlendir. Kejadian ini lebih sering
dianggap karena susu tertinggal di tenggorokan. Namun ibu yang sensitif
biasanya akan membawa kembali bayinya ke dokter. Biasanya kemudian
diperiksa dan diberi obat. Bila dalam waktu seminggu tak sembuh juga,
baru dilakukan rontgen. Penyebabnya biasanya karena ada kelainan pada
jalan napas, yaitu penyempitan trakea. Ini dikarenakan adanya pembesaran
kelenjar thymus. Sebetulnya setiap orang punya kelenjar thymus.
Kelenjar ini semasa dalam kandungan berfungsi untuk sistem kekebalan.
Letaknya di rongga mediastinum (diantara dua paru-paru). Setelah lahir
karena tidak berfungsi, maka kelenjar thymus akan menghilang dengan
sendirinya. Namun adakalanya masih tersisa: ada yang kecil, ada juga
yang besar; baik hanya satu atau bahkan keduanya. Nah, kelenjar thymus
yang membesar ini akan menekan trakea. Akibatnya, trakea menyempit dan
mengeluarkan lendir. Itu sebabnya napasnya berbunyi grok-grok dan keluar
lendir, sehingga jadi batuk. Pengobatannya biasanya dilakukan dengan
obat-obatan khusus untuk mengecilkan kelenjar thymus agar tidak menekan
trakea. Pemberian obat dalam waktu 2 minggu. Kalau tak menghilang,
diberikan lagi pengobatan selama seminggu. Sebab, jika tidak diobati,
akan menganggu pertumbuhan si bayi. Berat badan tak naik-naik,
pertumbuhannya kurang, dan harus banyak minum obat.
5. Kelainan pembuluh darah.
Ada
lagi kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau napasnya bunyi
(stridor), yang dinamakan dengan vascular ring. Yaitu,adanya pembuluh
darah jantung yang berbentuk seperti cincin (double aortic arch) yang
menekan jalan napas dan jalan makan. Jadi, begitu bayi lahir napasnya
berbunyi stridor. Terlebih kalau ia menangis, bunyinya semakin keras dan
jelas. Bahkan seringkali dibarengi dengan kelainan menelan, karena
jalan makanan juga terganggu. Pemberian makanan yang agak keras pun akan
menyebabkannya muntah, sehingga anak lebih sering menghindari makanan
padat dan maunya susu saja. Pengobatannya, bila setelah dirontgen tidak
ditemui kelenjar thymus yang membesar, akan diminta meminum barium untuk
melihat apakah ada bagian jalan makan yang menyempit. Setelah
diketahui, dilakukan tindakan operasi, yaitu memutuskan salah satu
aortanya yang kecil.
6. Tersedak makanan.
Tersedak
atau aspirasi ini pun bisa menyebabkan sesak napas. Bisa karena
tersedak susu atau makanan lain, semisal kacang. Umumnya karena gigi
mereka belum lengkap, sehingga kacang yang dikunyahnya tidak sampai
halus. Kadang juga disebabkan mereka menangis kala mulutnya sedang penuh
makanan. Atau ibu yang tidak berhati-hati kala menyusui, sehingga
tiba-tiba bayinya muntah. Mungkin saja sisa muntahnya ada yang masih
tertinggal di hidung atau tenggorokan. Bukankah setelah muntah, anak
akan menangis? Saat menarik napas itulah, sisa makanan masuk ke
paru-paru. Akibatnya, setelah tersedak anak batuk-batuk. Mungkin setelah
batuk ia akan tenang, tapi setelah 1-2 hari napasnya mulai bunyi.
Bahkan bisa juga kemudian terjadi peradangan dalam paru-paru. Anak bisa
panas karena terjadi infeksi. Yang sering adalah napas berbunyi seperti
asma dan banyak lendir. Biasanya setelah dilakukan rontgen akan
diketahui adanya penyumbatan/atelektasis. Pengobatan dapat dilakukan
dengan bronkoskopi, dengan mengambil cairan atau makanan yang
menyumbatnya. Selain makanan, akan lebih berbahaya bila aspirasi terjadi
karena minyak tanah atau bensin, meski hanya satu teguk. Ini bisa
terjadi karena kecerobohan orang tua yang menyimpan minyak tanah/bensin
di dalam botol bekas minuman dan menaruhnya sembarangan. Bahayanya bila
tersedak minyak ini, gas yang dihasilkan minyak ini akan masuk ke
lambung dan menguap, kemudian masuk ke paru-paru, sehingga bisa merusak
paru-paru. Akan sangat berbahaya pula kalau dimuntahkan, karena akan
langsung masuk ke paru-paru. Jadi, kalau ada anak yang minum minyak
tanah/bensin jangan berusaha dimuntahkan, tapi segera ke dokter. Oleh
dokter, paru-parunya akan "dicuci" dengan alat bronkoskop.
7. Infeksi.
Selain
itu sesak napas pada bayi bisa terjadi karena penyakit infeksi. Bila
anak mengalami ISPA (Infeksi saluran Pernapasan Akut) bagian atas,
semisal flu harus ditangani dengan baik. Kalau tidak sembuh juga,
misalnya dalam seminggu dan daya tahan anak sedang jelek, maka ISPA atas
ini akan merembet ke ISPA bagian bawah, sehingga anak mengalami
bronkitis, radang paru-paru, ataupun asmatik bronkitis. Gejalanya, anak
gelisah, rewel, tak mau makan-minum, napas akan cepat, dan makin lama
melemah. Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir
biru/sianosis, berarti pernapasannya terganggu. Penyebabnya ini akan
diketahui dengan pemeriksaan dokter dan lebih jelasnya lagi dengan foto
rontgen. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika. Biasanya
kalau bayi sudah terkena ISPA bawah harus dilakukan perawatan di rumah
sakit. Setelah diobati,umumnya sesak napas akan hilang dan anak sembuh
total tanpa meninggalkan sisa, kecuali bagi yang alergi.
D. Patofisiologi
Faktor
yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan
kurangsempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan
kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus
sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 %
dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat
dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid
dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik,
paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti
hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi
untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari
rongga udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli
type II.
Dilatasi
duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan
kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek;
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).
E. Manifestasi klinis
Manifestasi
dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan
sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu :
adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang
ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam
48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut
kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
1. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
2. Stadium 2
Bercak
retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3. Stadium 3
Kumpulan
alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara
lebih luas.
4. Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
F. Insidens
1. Terdapat
korelasi terbalik antara insidens RDS dan usia kehamilan : semakin muda
seorang bayi, semakin tinggi risiko RDS. Akan tetapi, tampaknya
kasus-kasus RDS lebih bergantung pada kematangan paru dari pada usia
gestasi.
Di diagnosis pada 25 % bayi dengan usia gestasi 34 minggu dan 80 % bayi yang usia gestasinya kurang dari 28 minggu.
2. Keparahan RDS menurun pada bayi yang ibunya mendapatkan kortikosteroid 24
– 48 jam sebelum pelahiran. Terapi steroid antenatal yang di
kombinasikan dengan pemberian surfaktan pascanatal tampaknya memiliki
efek aditif dalam meningkatkan fungsi paru.
3. RDS terjadi 2 X lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan.
4. Insidens meningkat pada bayi cukup bulan bila terdapat factor – factor tertentu.
a. Ibu diabetes yang melahirkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 38 minggu.
b. Hipoksia perinatal.
G. Komplikasi
1. Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
a. Ruptur alveoli
Bila
dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang
tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi.
b. Dapat
timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter,
dan alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA
dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
2. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
merupakan
penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan
masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
b. Retinopathy premature
Kegagalan
fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
H. Pemeriksaan diagnostic
1. Pemeriksaan AGD didapat adanya hipoksemia kemudian hiperkapni dengan asidosis respiratorik.
2. Pemeriksaan
radiologis, mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto dada, setelah
12-24 jam akan tampak infiltrate alveolar tanpa batas yang tegas
diseluruh paru
3. Biopsi paru , terdapat adanya pengumpulan granulosit secara abnormal dalam parenkim paru
I. Terapi / penatalaksanaan
1. Memberikan
lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam
incubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat.
2. Pemberian
oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena
berpengaruh kompleks pada bayi premature. pemberian oksigen yang terlalu
banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti fobrosis paru,dan kerusakan
retina. Untuk mencegah timbulnya komplikasi pemberian oksigen sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas
untuk pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada, maka oksigen
diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis
menghilang.
3. Pemberian
cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan
jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu dijumpai harus segera
dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena yang berguna untuk
mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas untuk
pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3 dapat diberi langsung melalui
tetesan dengan menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3
1,5% dalam perbandinagn 4:1
4. Pemberian
antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic untuk mencegah
infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000
U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa
gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
5. Kemajuan
terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen
(surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif tapi biayanya sangat
mahal.
J. Pathway
Trauma
|
Kelainan neurologis
|
Gangguan syaraf pernapasan dan otot pernapasan
|
Peningkatan permeabilitas ,membrane alveolar kapiler
|
Gangguan epithelium alveolar
|
Gangguan endothelium alveolar
|
Penumpukan cairan alveoli
|
Cairan masuk ke interstitial
|
Peningkatan tekanan jalan napas
|
Edema pulmo
|
Penurunan complain paru
|
Kehilangan fungsi silia saluran pernapasan
|
Cairan surfaktan menurun
|
Bersihan jalan napas tidak efektif
|
Gangguan pengembangan paru (atelaktasis)
Kolaps alveoli
|
Ventilasi dan perfusi tidak seimbang
|
Gangguan pertukaran gas
|
Hipoksemia ,hiperkopnia
|
O2 CO2
Dispnea cyanosis
|
Tindakan primer
A, B, C, D, dan E
|
Ventilasi mekanik
|
Resiko tinggi infeksi
|
Resiko tinggi cedera
|
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
( RESPIRATORY DISTRESS SYNDROMA )
A. Pengkajian
Data subyetif Data obyektif Masalah
1. Sesak nafas (takipnea) Cyanosis, nafas cepat, tampak pucat, hasil pemeriksaan AGD PaO2 menurun, PaCO2 meningkat, PH menurun, kerusakan pertukaran gas
2. Dyspnea
ada perubahan frekwensi nafas, terdengar ronchi hampir seluruh paru,
tampak infiltrat alveolar Bersihan jalan nafas tidak efektif
3. Gelisah, Resiko terhadap cedera
B. Diagnosa keperawatan
1. Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam
interstisial / area alveolar ditandai dengan sesak nafas (takipnea),
cyanosis, nafas cepat, tampak pucat, hasil AGD isi O2 menurun, PCO2
meningkat,PH menurun, PO2 menurun.
2. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisial) ditandai dengan dyspnea, ada perubahan
frekwensi nafas,terdengar ronchi hampir seluruh paru, tampak infiltrat
alveolar.
3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kurang kesadaran akan bahaya lingkungan.
C. Rencana tindakan
1. Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam
interstisial / area alveolar ditandai dengan sesak nafas (takipnea),
cyanosis, nafas cepat, tampak pucat, hasil AGD isi O2 menurun, PCO2
meningkat,PH menurun, PO2 menurun.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama 3X24 jam diharapkan masalah pertukaran gas tertangani
Kriteria hasil :
sesak
nafas (-), ada perbaikan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan
GDA dalam rentang normal Kaji status pernafasan dengan sering, catat
peningkatan frekwensi/upaya pernafasan atau perubahan pola nafas.
a. Catat ada/tidaknya bunyi nafas tambahan seperti mengi, krekels.
Rasional :
Bunyi
napas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit.
Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai
akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar – kapiler. Mengi
adalah bukti konstriksi bronkus dan/atau penyempitan jalan napas
sehubungan dengan mucus/edema.
b. Kaji adanya cyanosis
Rasional :
Penurunan
oksigenasi bermakna (desaturasi 5 g hemoglobin) terjadi sebelum
sianosis. Sianosis sentral dari ‘’ organ ‘’ hangat contoh lidah, bibir,
dan daun telinga, adalah paling indikatif dari hipoksemia sistemik.
Sianosis perifer kuku/ekstremitas sehubungan dengan vasokontriksi.
c. Observasi kecendrungan tidur, apatis, tidak perhatian,gelisah, bingung, somnolen.
Rasional :
Dapat menunjukan berlanjutnya hipoksemia dan / atau asidosis
d. Auskultasi frekwensi jantung dan irama.
Rasional :
Hipoksemia dapat menyebabkan mudah terangsang pada miokardium, menghasilkan berbagai distrimia
e. Berikan oksigen lembab dengan masker CPAP sesuai indikasi
Rasional :
Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran, dengan tekanan jalan napas positif continue.
f. Bantu dengan/ berikan tindakan IPPB
Rasional :
Meningkatkan
ekspansi penuh paru untuk memperbaiki oksigenasi dan untuk memberikan
obat nebulizer kedalam jalan napas. Intubasi dan dukungan ventilasi
diberikan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg dan tidak berespon terhadap
peningkatan oksigen murni (FIP2)
g. Awasi/ gambarkan seri AGD/ oksimetri nadi
Rasional :
Menunjukan
ventilasi/oksigenasi dan status asam/basa. Digunakan sebagai dasar
evaluasi keektifan terapi atau indicator kebutuhan perubahan terapi.
h. Berikan obat sesuai indikasi spt antibiotika, steroid, diuretik.
Rasional :
Pengobatan untuk SDPD sangat mendukung lebih besar atau di buat untuk memperbaiki penyebab SDPD dan mencegah berlanjutnya dan
potensial komplikasi fatal hipoksemia. Steroid menguntungkan dalam
menurunkan inflamasi dan meningkatkan produksi surfaktan. Fungsi utama
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal.
2. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisial) ditandai dengan dyspnea, ada perubahan
frekwensi nafas,terdengar ronchi hampir seluruh paru, tampak infiltrat
alveolar.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3X24 jam diharapkan bersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ tidak ada ronchi.
a. Catat perubahan upaya dan pola bernapas.
Rasional :
Pengguanaan otot intercostals/abdominal dan pelebaran nasal menunjukan peningkatan upaya bernapas.
b. Observasi penurunan ekspansi dinding dada dan adanya/ peningkatan fremitus.
Rasional :
Ekspansi
dada terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan,
edema, dan secret dalam seksi lobus. Konsolidasi paru dan pengisian
cairan dapat meningkatkan fremitus.
c. Catat karakteristik bunyi napas
Rasional :
Bunyi napas menunjukan aliran udara melalui pohon
trakeobronkial dan di pengaruhi oleh adanya cairan, mucus, atau
obstruksi aliran udara lain. Mengi dapat merupakan bukti kontriksi
bronkus atau penyempitan jalan napas sehubungan dengan edema . ronki
dapat jelas tanpa batuk dan menunjukan pengumpulan mucus pada jalan
napas.
d. Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan napas sesuai kebutuhan.
Rasional :
Memudahkan
memelihara jalan napas atas paten bila jalan napas pasien dipengaruhi
misalnya : gangguan tingkat kesadaran, sedasi, dan trauma maksilofasial
e. Kolaborasi : berikan oksigen lembab, cairan IV, berikan kelembaban ruangan yang tepat.
Rasional :
Kelembapan menghilangkan dan memobilisasi secret dan meningkatkan transport oksigen.
f. Berikan Bronkodilator/ ekspektoran sesuai indikasi
Rasional :
Obat
diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas
secret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan secret.
3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kurang kesadaran akan bahaya lingkungan
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3X24 jam diharapkan tidak terjadi cedera
Kriteria hasil :
Identifikasi situasi yang mendukung kecelakaan.
a. Kurangi/ hilangkan situasi yang berbahaya.
Rasional :
Menghindari cedera pada pasien
b. Pasang pembatas pada tempat tidur Agar segala sesuatu yang dapat menimbulkan masalah/ berbahaya bagi klien dapat dihindari.
Rasional :
Untuk menjaga/ menyangga klien agar tidak terjatuh.
D. Evaluasi
Hasil yang diharapkan:
1. Klien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan AGD dalam
rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
2. Klien
menunjukkan/ menyatakan hilangnya dispnea, mampu mempertahankan jalan
napas paten dengan bunyi napas bersih/ tidak ada ronchi.
3. Klien terhindar dari bahaya lingkungan/ cedera.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD),
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. (Malloy &
Freeman 2000).
RDS
adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature
dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada
udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan
x-ray thorak yang spesifik (Stark,1986).
RDS
adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline
Membrane Disesae (Suryadi, 2001).
RDS
adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala
dispneu, pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis,
merintih pada saat ekspirasi; terdapat retraksi pada suprasternal,
interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini terjadi perubahan paru
yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru yang rusak.
Kerusakan pada paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan
pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan
pada ruang antar alveoli sehingga dapat mencegah pergesekan dan
timbulnya kerusakan pada alveoli yang selanjutnya akan mencegah
terjadinya kolaps paru. (Yuliani, 2001)
B. SARAN
1. Bagi
para pembaca, diharapkan dapat memetik pemahaman dari uraian yang
dipaparkan diatas, dan dapat mengaplikasikannya dalam lingkungan
masyarkat sehingga dapat mencegah terjadinya RDS
2. Bagi mahasiswa, diharapkan agar terus menambah wawasan khususnya dalam bidang keperawatan.
3. Bagi
dosen pembimbing, diharapkan dapat memberi masukan, baik dalam proses
penyusunan maupun dalam pemenuhan referensi untuk membantu kelancaran
dan kesempurnaan pembuatan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily lyn, dan linda A. sowden 2009. Keperawatan pediatric, edisi 5. Jakarta :EGC
Doenges, Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3 . Jakarta : EGC
Mansjoer Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI : Jakarta.
icoel.2010. askep-anak/respiratory-distress-syndrome (online). http.wordpress.com. di akses 3 Desember 2010.
abhique.2010-respiratory-distress-syndrome.(online) http://www.slideshare.net. Di akses 3 Desember 2010.
http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/01/askep-neonatus-dengan-respiratory.html.di akses 3 Desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar