MALARIA
Malaria
adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang disebut Plasmodium,
yang dalam salah satu tahap perkembang biakannya akan memasuki dan
menghancurkan sel-sel darah merah. Plasmodium yang menyebarkan penyakit
malaria berasal dari spesies Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium knowlesi.
Vektor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Anopheles, terutamanya Anopheles sundaicus di Asia dan Anopheles gambiae di Afrika. Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara.
Vektor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Anopheles, terutamanya Anopheles sundaicus di Asia dan Anopheles gambiae di Afrika. Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara.
B.Jenis Plasmodium
Ada empat jenis Plasmodium yang dapat menyebabkan penyakit malaria, yaitu sebagai berikut :
- Plasmodium Vivax, menyebabkan malaria vivax yang disebut pula sebagai malaria tertiana.
- Plasmodium falciparum, menyebabkan malaria falciparum yang dapat pula disebut sebagai malaria tersiana.
- Plasmodium malariae, menyebabkan malaria malariaeatau malaria kuartana karena serangan demam berulang pada tiap hari keempat.
- Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale dengan gejala mirip malari vivax. Malaria ini merupakan jenis ringan dan dapat sembuh sendiri
- Plasmodium Vivax, menyebabkan malaria vivax yang disebut pula sebagai malaria tertiana.
- Plasmodium falciparum, menyebabkan malaria falciparum yang dapat pula disebut sebagai malaria tersiana.
- Plasmodium malariae, menyebabkan malaria malariaeatau malaria kuartana karena serangan demam berulang pada tiap hari keempat.
- Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale dengan gejala mirip malari vivax. Malaria ini merupakan jenis ringan dan dapat sembuh sendiri
Gb1 dari kiri ke kanan:P. Vivax,P.Falciparum,P.Malariae,P.Ovale
C.Proses Kehidupan Plasmodium
Sebagaimana
makhluk hidup lainnya, plasmodium juga melakukan proses kehidupan yang
meliputi: Pertama, metabolisme (pertukaran zat). Untuk proses hidupnya,
plasmodium mengambil oksigen dan zat makanan dari haemoglobin sel darah
merah. Dari proses metabolisme meninggalkan sisa berupa pigmen yang
terdapat dalam sitoplasma. Keberadaan pigmen ini bisa dijadikan salah
satu indikator dalam identifikasi.
Kedua, pertumbuhan. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ini adalah perubahan morfologi yang meliputi perubahan bentuk, ukuran, warna, dan sifat dari bagian-bagian sel. Perubahan ini mengakibatkan sifat morfologi dari suatu stadium parasit pada berbagai spesies, menjadi bervariasi.Setiap proses membutuhkan waktu, sehingga morfologi stadium parasit yang ada pada sediaan darah dipengaruhi waktu dilakukan pengambilan darah. Ini berkaitan dengan jam siklus perkembangan stadium parasit. Akibatnya tidak ada gambar morfologi parasit yang sama pada lapang pandang atau sediaan darah yang berbeda.
Ketiga, pergerakan. Plasmodium bergerak dengan cara menyebarkan sitoplasmanya yang berbentuk kaki-kaki palsu (pseudopodia). Pada Plasmodium vivax, penyebaran sitoplasma ini lebih jelas terlihat yang berupa kepingan-kepingan sitoplasma. Bentuk penyebaran ini dikenal sebagai bentuk sitoplasma amuboit (tanpa bentuk).
Keempat, berkembang biak. Berkembang biak artinya berubah dari satu atau sepasang sel menjadi beberapa sel baru. Ada dua macam perkembangbiakan sel pada plasmodium, yaitu:
d. Pembiakan seksual. Pembiakan ini terjadi di dalam tubuh nyamuk melalui proses sporogoni.
Bila mikrogametosit (sel jantan) dan makrogametosit (sel betina) terhisap vektor bersama darah penderita, maka proses perkawinan antara kedua sel kelamin itu akan terjadi. Dari proses ini akan terbentuk zigot yang kemudian akan berubah menjadi ookinet dan selanjutnya menjadi ookista. Terakhir ookista pecah dan membentuk sporozoit yang tinggal dalam kelenjar ludah vektor.
Perubahan dari mikrogametosit dan makrogametosit sampai menjadi sporozoit di dalam kelenjar ludah vektor disebut masa tunas ekstrinsik atau siklus sporogoni. Jumlah sporokista pada setiap ookista dan lamanya siklus sporogoni, pada masing-masing spesies plasmodium adalah berbeda, yaitu: Plasmodium vivax: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 30-40 butir dan siklus sporogoni selama 8-9 hari. Plasmodium falsiparum: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 10-12 butir dan siklus sporogoni selama 10 hari. Plasmodium malariae: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 6-8 butir dan siklus sporogoni selama 26-28 hari.
2. Pembiakan aseksual. Pembiakan ini terjadi di dalam tubuh manusia melalui proses sizogoni yang terjadi melalui proses pembelahan sel secara ganda. Inti troposoit dewasa membelah menjadi 2, 4, 8, dan seterusnya sampai batas tertentu tergantung pada spesies plasmodium. Bila pembelahan inti telah selesai, sitoplasma sel induk dibagi-bagi kepada setiap inti dan terjadilah sel baru yang disebut merozoit.
Kelima, reaksi terhadap rangsangan. Plasmodium memberikan reaksi terhadap rangsangan yang datang dari luar, ini sebagai upaya plasmodium untuk mempertahankan diri seandainya rangsangan itu berupa ancaman terhadap dirinya. Misalnya, plasmodium bisa membentuk sistem kekebalan (resistensi) terhadap obat anti malaria yang digunakan penderita.
Dengan adanya proses-proses pertumbuhan dan pembiakan aseksual di dalam sel darah merah manusia, maka dikenal ada tiga tingkatan (stadium) plasmodium yaitu:
a. Stadium tropozoit, plasmodium ada dalam proses pertumbuhan.
b. Stadium sizon, plasmodium ada dalam proses pembiakan.
c. Stadium gametosit, plasmodium ada dalam proses pembentukan sel kelamin.
Oleh karena dalam setiap stadium terjadi proses, maka dampaknya bagi morfologi parasit juga akan mengalami perubahan. Dengan demikian, dalam stadium-stadium itu sendiri terdapat tingkatan umur yaitu: tropozoit muda, tropozoit setengah dewasa, dan tropozoit dewasa. Sizon muda, sizon tua, dan sizon matang. Gametosit muda, gametosit tua, dan gametosit matang.
Untuk sizon berproses berawal dari sizon dewasa pecah menjadi merozoit-merozoit dan bertebaran dalam plasma darah. Merozoit kemudian menginvasi sel darah merah yang kemudian tumbuh menjadi troposoit muda berbentuk cincin atau ring form. Ring form tumbuh menjadi troposoit setengah dewasa, lalu menjadi troposoit dewasa. Selanjutnya berubah menjadi sizon muda dan sizon dewasa. Pada saat menjadi merozoit-merozoit, sizon dewasa mengalami sporulasi yaitu pecah menjadi merozoit-merozoit baru.
Di sini dapat dikatakan, proses dari sizon dewasa untuk kembali ke sizon lagi, disebut satu siklus. Lamanya siklus ini dan banyaknya merozoit dari satu sizon dewasa, tidak sama untuk tiap spesies plasmodium. Pada plasmodium falsiparum: jumlah merozoit di dalam satu sel sizon dewasa sebanyak 32 dan lama siklusnya 24 jam. Artinya reproduksi tinggi dan cepat sehingga kepadatan troposoit pada darah sangat tinggi.
Plasmodium vivax: jumlah merozoit di dalam satu sel sizon dewasa sebanyak 16 dan lama siklusnya 48 jam. Artinya reproduksi rendah dan lebih lambat, sehingga kepadatan troposoit pada darah sering rendah. Plasmodium malariae: jumlah merozoit di dalam satu sel sizon dewasa sebanyak delapan dan lama siklusnya 72 jam. Artinya reproduksi lebih rendah dan lebih lambat. Ini mungkin yang menjadi penyebab jarangnya spesies ini ditemukan.
Akhirnya, karena perbedaan proses perkembangan, maka masa tunas atau pre paten atau masa inkubasi plasmodium di dalam tubuh manusia (intrinsik) masing-masing spesies lamanya berbeda. Plasmodium falsiparum selama 9-14 hari, Plasmodium vivax selama 12-17 hari, dan Plasmodium malariae 18 hari.
D.Siklus Hidup Plasmodium pada Tubuh Manusia
Ketika nyamuk anopheles betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit manusia, akan keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merozoit.
Sebagian besar Merozoit masuk kemabli ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium sporogoni).
Didalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia.
Khusus Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan) sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit, akan tetapi tertanam di jaringan hati –disebut hipnosit-. Bentuk hipnosit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah, sibuk, stress atau perubahan iklim (musim hujan), hipnosoit dalam tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul kembali gejala penyakit. Misalnya 1 – 2 tahun sebelumnya pernah menderita Plasmodium vivax/ovale dan sembuh setelah diobati, bila kemudia mengalami kelelahan atau stress, gejala malaria akan muncul kembali sekalipun yang bersangkutan tidak digigit oleh nyamuk anopheles. Bila dilakukan pemeriksaan, akan didapati SD positif Plasmodium vivax/ plasmodium ovale.
Pada Plasmodium falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh lain dan menimbulkan kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat atau komplikasi. Plasmodium Falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua – bila jaringan tersebut berada di dalam otak- peristiwa ini disebut sekustrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20-50% hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak kecil dapat terjadi sekuel.
E. Jenis Malaria
Penyakit ini memiliki empat jenis dan disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria itu adalah:
- Malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan Plasmodium vivax dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi).
- Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian.
- Malaria kuartana yang disebabkan Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari.
- Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul sangat mendadak, mirip Stroke, koma disertai gejala malaria yang berat.
F. Gejala Malaria
Gejala serangan malaria pada penderita yaitu:
e. Gejala klasik, biasanya ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah non endemis malaria atau yang belum mempunyai kekebalan (immunitas); atau yang pertama kali menderita malaria. Gejala ini merupakan suatu parokisme, yang terdiri dari tiga stadium berurutan:
- menggigil (selama 15-60 menit), terjadi setelah pecahnya sizon dalam eritrosit dan keluar zat-zat antigenik yang menimbulkan mengigil-dingin.
- demam (selama 2-6 jam), timbul setelah penderita mengigil, demam dengan suhu badan sekitar 37,5-40 derajad celcius, pada penderita hiper parasitemia (lebih dari 5 persen) suhu meningkat sampai lebih dari 40 derajad celcius.
- berkeringat (selama 2-4 jam), timbul setelah demam, terjadi akibat gangguan metabolisme tubuh sehingga produksi keringat bertambah. Kadang-kadang dalam keadaan berat, keringat sampai membasahi tubuh seperti orang mandi. Biasanya setelah berkeringat, penderita merasa sehat kembali.
b. Gejala malaria dalam program pemberantasan malaria:
- Demam
Kedua, pertumbuhan. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ini adalah perubahan morfologi yang meliputi perubahan bentuk, ukuran, warna, dan sifat dari bagian-bagian sel. Perubahan ini mengakibatkan sifat morfologi dari suatu stadium parasit pada berbagai spesies, menjadi bervariasi.Setiap proses membutuhkan waktu, sehingga morfologi stadium parasit yang ada pada sediaan darah dipengaruhi waktu dilakukan pengambilan darah. Ini berkaitan dengan jam siklus perkembangan stadium parasit. Akibatnya tidak ada gambar morfologi parasit yang sama pada lapang pandang atau sediaan darah yang berbeda.
Ketiga, pergerakan. Plasmodium bergerak dengan cara menyebarkan sitoplasmanya yang berbentuk kaki-kaki palsu (pseudopodia). Pada Plasmodium vivax, penyebaran sitoplasma ini lebih jelas terlihat yang berupa kepingan-kepingan sitoplasma. Bentuk penyebaran ini dikenal sebagai bentuk sitoplasma amuboit (tanpa bentuk).
Keempat, berkembang biak. Berkembang biak artinya berubah dari satu atau sepasang sel menjadi beberapa sel baru. Ada dua macam perkembangbiakan sel pada plasmodium, yaitu:
d. Pembiakan seksual. Pembiakan ini terjadi di dalam tubuh nyamuk melalui proses sporogoni.
Bila mikrogametosit (sel jantan) dan makrogametosit (sel betina) terhisap vektor bersama darah penderita, maka proses perkawinan antara kedua sel kelamin itu akan terjadi. Dari proses ini akan terbentuk zigot yang kemudian akan berubah menjadi ookinet dan selanjutnya menjadi ookista. Terakhir ookista pecah dan membentuk sporozoit yang tinggal dalam kelenjar ludah vektor.
Perubahan dari mikrogametosit dan makrogametosit sampai menjadi sporozoit di dalam kelenjar ludah vektor disebut masa tunas ekstrinsik atau siklus sporogoni. Jumlah sporokista pada setiap ookista dan lamanya siklus sporogoni, pada masing-masing spesies plasmodium adalah berbeda, yaitu: Plasmodium vivax: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 30-40 butir dan siklus sporogoni selama 8-9 hari. Plasmodium falsiparum: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 10-12 butir dan siklus sporogoni selama 10 hari. Plasmodium malariae: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 6-8 butir dan siklus sporogoni selama 26-28 hari.
2. Pembiakan aseksual. Pembiakan ini terjadi di dalam tubuh manusia melalui proses sizogoni yang terjadi melalui proses pembelahan sel secara ganda. Inti troposoit dewasa membelah menjadi 2, 4, 8, dan seterusnya sampai batas tertentu tergantung pada spesies plasmodium. Bila pembelahan inti telah selesai, sitoplasma sel induk dibagi-bagi kepada setiap inti dan terjadilah sel baru yang disebut merozoit.
Kelima, reaksi terhadap rangsangan. Plasmodium memberikan reaksi terhadap rangsangan yang datang dari luar, ini sebagai upaya plasmodium untuk mempertahankan diri seandainya rangsangan itu berupa ancaman terhadap dirinya. Misalnya, plasmodium bisa membentuk sistem kekebalan (resistensi) terhadap obat anti malaria yang digunakan penderita.
Dengan adanya proses-proses pertumbuhan dan pembiakan aseksual di dalam sel darah merah manusia, maka dikenal ada tiga tingkatan (stadium) plasmodium yaitu:
a. Stadium tropozoit, plasmodium ada dalam proses pertumbuhan.
b. Stadium sizon, plasmodium ada dalam proses pembiakan.
c. Stadium gametosit, plasmodium ada dalam proses pembentukan sel kelamin.
Oleh karena dalam setiap stadium terjadi proses, maka dampaknya bagi morfologi parasit juga akan mengalami perubahan. Dengan demikian, dalam stadium-stadium itu sendiri terdapat tingkatan umur yaitu: tropozoit muda, tropozoit setengah dewasa, dan tropozoit dewasa. Sizon muda, sizon tua, dan sizon matang. Gametosit muda, gametosit tua, dan gametosit matang.
Untuk sizon berproses berawal dari sizon dewasa pecah menjadi merozoit-merozoit dan bertebaran dalam plasma darah. Merozoit kemudian menginvasi sel darah merah yang kemudian tumbuh menjadi troposoit muda berbentuk cincin atau ring form. Ring form tumbuh menjadi troposoit setengah dewasa, lalu menjadi troposoit dewasa. Selanjutnya berubah menjadi sizon muda dan sizon dewasa. Pada saat menjadi merozoit-merozoit, sizon dewasa mengalami sporulasi yaitu pecah menjadi merozoit-merozoit baru.
Di sini dapat dikatakan, proses dari sizon dewasa untuk kembali ke sizon lagi, disebut satu siklus. Lamanya siklus ini dan banyaknya merozoit dari satu sizon dewasa, tidak sama untuk tiap spesies plasmodium. Pada plasmodium falsiparum: jumlah merozoit di dalam satu sel sizon dewasa sebanyak 32 dan lama siklusnya 24 jam. Artinya reproduksi tinggi dan cepat sehingga kepadatan troposoit pada darah sangat tinggi.
Plasmodium vivax: jumlah merozoit di dalam satu sel sizon dewasa sebanyak 16 dan lama siklusnya 48 jam. Artinya reproduksi rendah dan lebih lambat, sehingga kepadatan troposoit pada darah sering rendah. Plasmodium malariae: jumlah merozoit di dalam satu sel sizon dewasa sebanyak delapan dan lama siklusnya 72 jam. Artinya reproduksi lebih rendah dan lebih lambat. Ini mungkin yang menjadi penyebab jarangnya spesies ini ditemukan.
Akhirnya, karena perbedaan proses perkembangan, maka masa tunas atau pre paten atau masa inkubasi plasmodium di dalam tubuh manusia (intrinsik) masing-masing spesies lamanya berbeda. Plasmodium falsiparum selama 9-14 hari, Plasmodium vivax selama 12-17 hari, dan Plasmodium malariae 18 hari.
D.Siklus Hidup Plasmodium pada Tubuh Manusia
Ketika nyamuk anopheles betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit manusia, akan keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merozoit.
Sebagian besar Merozoit masuk kemabli ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium sporogoni).
Didalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia.
Khusus Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan) sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit, akan tetapi tertanam di jaringan hati –disebut hipnosit-. Bentuk hipnosit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah, sibuk, stress atau perubahan iklim (musim hujan), hipnosoit dalam tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul kembali gejala penyakit. Misalnya 1 – 2 tahun sebelumnya pernah menderita Plasmodium vivax/ovale dan sembuh setelah diobati, bila kemudia mengalami kelelahan atau stress, gejala malaria akan muncul kembali sekalipun yang bersangkutan tidak digigit oleh nyamuk anopheles. Bila dilakukan pemeriksaan, akan didapati SD positif Plasmodium vivax/ plasmodium ovale.
Pada Plasmodium falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh lain dan menimbulkan kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat atau komplikasi. Plasmodium Falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua – bila jaringan tersebut berada di dalam otak- peristiwa ini disebut sekustrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20-50% hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak kecil dapat terjadi sekuel.
E. Jenis Malaria
Penyakit ini memiliki empat jenis dan disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria itu adalah:
- Malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan Plasmodium vivax dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi).
- Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian.
- Malaria kuartana yang disebabkan Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari.
- Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul sangat mendadak, mirip Stroke, koma disertai gejala malaria yang berat.
F. Gejala Malaria
Gejala serangan malaria pada penderita yaitu:
e. Gejala klasik, biasanya ditemukan pada penderita yang berasal dari daerah non endemis malaria atau yang belum mempunyai kekebalan (immunitas); atau yang pertama kali menderita malaria. Gejala ini merupakan suatu parokisme, yang terdiri dari tiga stadium berurutan:
- menggigil (selama 15-60 menit), terjadi setelah pecahnya sizon dalam eritrosit dan keluar zat-zat antigenik yang menimbulkan mengigil-dingin.
- demam (selama 2-6 jam), timbul setelah penderita mengigil, demam dengan suhu badan sekitar 37,5-40 derajad celcius, pada penderita hiper parasitemia (lebih dari 5 persen) suhu meningkat sampai lebih dari 40 derajad celcius.
- berkeringat (selama 2-4 jam), timbul setelah demam, terjadi akibat gangguan metabolisme tubuh sehingga produksi keringat bertambah. Kadang-kadang dalam keadaan berat, keringat sampai membasahi tubuh seperti orang mandi. Biasanya setelah berkeringat, penderita merasa sehat kembali.
b. Gejala malaria dalam program pemberantasan malaria:
- Demam
- Menggigil
- Berkeringat
- Dapat disertai dengan gejala lain: Sakit kepala, mual dan muntah.
- Gejala khas daerah setempat: diare pada balita (di Timtim), nyeri otot atau pegal-pegal pada orang dewasa (di Papua), pucat dan menggigil-dingin pada orang dewasa (di Yogyakarta).
c. Gejala malaria berat atau komplikasi, yaitu gejala malaria klinis ringan diatas dengan disertai salah satu gejala di bawah ini:
- Gangguan kesadaran (lebih dari 30 menit)
- Kejang, beberapa kali kejang
- Panas tinggi diikuti gangguan kesadaran
- Mata kuning dan tubuh kuning
- Perdarahan di hidung, gusi atau saluran pencernaan
- Jumlah kencing kurang (oliguri)
- Warna urine seperti I tua
- Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)
- Nafas sesak
d. Kadar darah putih, leukosit, cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati biasanya akan timbul jaundice ringan (sakit kuning) serta pembesaran hati dan limpa.
e. Kadar gula darah rendah.
f. Jika sejumlah parasit menetap di dalam darah kadang malaria bersifat menetap. Menyebabkan penurunan nafsu makan, rasa pahit pada lidah, lemah, sertai demam.
Gejala malaria berdasarkan jenis malaria antara lain:
a. Gejala Malaria Vivax & Ovale
Gejala yang terlihat sangat samar; berupa demam ringan yang tidak menetap, keringat dingin, dan berlangsung selama 1 minggu membentuk pola yang khas. Biasanya demam akan terjadi antara 1 – 8 jam. Setelah demam reda, pengidap malaria ini merasa sehat sampai gejala susulan kembali terjadi. Gejala jenis malaria ini cenderung terjadi setiap 48 jam.
b. Gejala Malaria Falciparum
Gejala awal adalah demam tinggi, suhu tubuh naik secara bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa berlangsung selama 20 – 36 jam, dan penderita mengalami sakit kepala hebat. Setelah gejala utama mereda, pengidap akan merasa tidak nyaman.
d. Gejala Malaria Malariae (kuartana)
Suatu serangan seringkali dimulai secara samar-samar. Serangannya menyerupai malaria vivax, dengan selang waktu setiap 72 jam.
G. Diagnosa Penyakit Malaria
Tes diagnostik cepat (RDTs) digunakan untuk mendiagnosa penyakit malaria. Test ini berdasar pada pendeteksian antigen parasit malaria di dalam darah, dengan menggunakan metoda immunochromatographic. Paling sering mereka menggunakan dipstick atau test strip yang untuk pengujian monoclonal antidibodies yang secara langsung menyerang target antigens dari parasit tersebut. Test dapat dilakukan sekitar 15 menit. Beberapa kotak test sekarang ini banyak tersedia di pasaran. Bidang ilmu ini sedang dikembangkan dengan cepat, dan peningkatan teknis secara terus menerus dapat meningkatkan kemampuan RDTs untuk menegakkan diagnosa malaria.
Antigens yang Ditargetkan Sekarang Disediakan oleh RDTs :
Ø Histidine-rich protein II (HRP-II) adalah suatu protein yang dapat larut dalam air yang diproduksi oleh trophozoites dan muda (tetapi belum matang) gametocytes P. falcipatarum. Kotak yang tersedia dipasaran sekarang ini hanya tersedia untuk mendeteksi HRP-ll yang berasal dari P. falciparum saja.
Ø Laktat parasit Dehydrogenase (Pldh) diproduksi oleh asexual dan sexual stages (gametocytes) yang berasal dari parasit malaria. Kotak tes yang sekarang ini tersedia mendeteksi Pldh berasal dari semua empat jenis Plasmodium yang menginfeksi manusia. Mereka dapat membedakan jenis P.falciparum dan jenis yang non-falciparum, tetapi tidak bisa membedakan antara P.vivax, P.ovale dan P. malariae.
Ø Antigen(S) yang lain kini hadir dalam semua empat jenis yang juga ditargetkan di dalam kotak yang berkombinasi untuk pendeteksian menyangkut antigen HRP-II dari P.falciparum bersama-sama dengan sesuatu, hingga kini tak bisa ditentukan, antigen “pan-malarial” yang menyangkut jenis lain.
Beberapa kotak yang mendeteksi semua empat jenis Plasmodium menyebutkan di dalam merk dagang mereka atau dalam pemasaran mereka hanya dua jenis (“PF/PV”). Ini lebih dapat mendorong kearah kebingungan tentang kemampuan diagnostik mereka.
Prosedur Test Umum (Variasi Antar kotak) :
Ø Spesimen darah finger-prick dikumpulkan (2-50 ml, tergantung pada kotak), menggunakan berbagai tabung microcapillarv. Beberapa pabrik menyatakan bahwa plasma atau darah anticoagulated dapat juga digunakan.
Ø Spesimen darah dicampur (di dalam tabung test terpisah atau tempat yang melengkung, atau pada sample pad) dengan larutan buffer yang berisi campuran haemolysing sama seperti antibody yang spesifik yang berlabel dengan visually detecble marker (seperti emas colloidal). Jika antigen yang sudah diselidiki telah hadir, maka antigen atau antibody yang kompleks telah terbentuk. Dalam beberapa kotak, antibody yang berlabel adalah pre-deposited yang selama pembuatan memakai sample pad atau di dalam tempat yang melengkung dan hanya satu lysing atau washing buffer yang ditambahkan pada darah.
Ø Antigen-antibody yang berlabel yang kompleks pindah tempat atas test strip (paling sering nitrocellulose atau serat glass) dengan prinsip kapiler pada bahan reaksi test-specific yang selama pembuatan telah pre-deposited. Ini meliputi (a) satu baris menangkap antibody yang spesifik untuk antigen di bawah penyelidikan (beberapa bentuk digunakan jika beberapa antigens sedang diselidiki) dan (b) sebuah prosedur mengontrol garis, dengan antibody yang akan menangkap antibody yang berlabel.
Ø Washing buffer kemudian ditambahkan untuk memindahkan haemoglobin dan permit visualisasi dari semua garis yang berwarna di atas strip. Buffer adalah menambahkan dengan menyimpan secara langsung di atas strip, dengan menempatkannya di dalam tempat yang lengkung dimana yang berpindah tempat itu adalah strip, atau dengan mencuci keseluruhan strip di dalam tabung test.
Ø Jika yang berada di bawah penyelidikan adalah darah yang berisi antigen, antigen-antibody yang berlabel yang kompleks akan dihentikan pada garis pre-deposited yang menangkap antibody dan akan dapat ditemukan secara visual. Apakah darah tidak berisi antigen atau tidak, garis pengontrol akan menjadi kelihatan sama seperti antibody yang berlabel ditangkap oleh antibody garis pre-deposited dari antibody yang secara langsung melawannya. (Catatan: desain ini mengakibatkan garis kendali tidak muncul sekalipun tidak ada darah yang bercampur dengan haemolysing buffer) Tes yang lengkap memakan waktu bervariasi dari dari 5 sampai 15 menit.
Tes Performance dari RDTs
Tes Performance dari RDTs telah ditaksir secara ekstensif di dalam situasi klinis berbeda, kedua-duanya di negara-negara tidak endemik dan endemik. Kegunaan dari penilaian ini telah disepakati sedikit banyaknya variasi di dalam metodologi dan ukuran sample yang biasanya berukuran kecil. Lanjutan penilaian seperti itu akan menjadi diperlukan dengan peningkatan pengenalan teknik atau dalam pengembangan kotak peralatan yang terbaru.
RDTs mendeteksi empat jenis Plasmodium yang menginfeksi manusia, tergantung pada antigens yang menjadi dasarnya. Beberapa RDTs hanya mendeteksi P. falciparum dan parasit malaria lainnya di dua bagian yang terpisah. Sampai saat ini, tidak ada RDT yang dipasarkan telah dilaporkan untuk dapat mempercayai pembedaan antara P.vivax, P.ovale dan P.malariae, walaupun begitu riset untuk pengembangan test seperti itu selalu dilanjutkan.
Kepekaan dari RDTs yang telah dipelajari untuk P.falciparum, sejak kotak untuk P.falciparum (target banyak diarahkan P.falciparum HRP-II) telah tersedia untuk waktu lebih lama. Tenaga ahli yang dibandingkan dengan mikroskopi (kadang-kadang yang dilengkapi oleh polymerase reaksi berantai), RDTs yang biasanya mencapai suatu kepekaan lebih dari 90% di dalam mendeteksi P.falciparum pada kepadatan di atas 100 parasit per ml darah (9.24 dan dilaporkan pada saat pertemuan). Di bawah tingkatan 100 parasit per ml darah, dengan jelas kepekaan dapat berkurang.
Kepekaan RDT untuk jenis yang non-falciparum menjadi lebih sedikit yang dipelajari. Penyelidikan yang diselenggarakan sampai saat ini menunjukkan bahwa kotak Pldh boleh mencapai suatu kepekaan untuk P.vivax yang dapat diperbandingkan dengan P.falciparum. Ini belum termasuk kasus kotak yang menargetkan antigens “pan-malarial” yang berbeda.
Ketegasan dari RDTs, diukur dalam penyelidikan yang sama, apakah yang seragam mempunyai hasil yang tinggi (kebanyakan > 90%). Bagaimanapun, hasil positif palsu telah dilaporkan di dalam darah dari pasien dengan faktor rheumatoid, terutama di dalam versi yang lebih awal dari satu kotak HRP-II; masalahnya, mungkin dihubungkan dengan reaksi silang dengan antibody monoclonal yang berlabel, terakhir sudah dilaporkan dengan benar didalam beberapa versi kotak terbaru. Sebagai tambahan, test HRP-II dapat positif tinggal untuk 7-14 hari yang mengikuti kemoterapi di dalam proporsi substansil individu, sungguhpun pasien ini tidak lagi mempunyai gejala atau parasitaernia (seperti ketika ditaksir oleh blood smears). Derajat tingkat kepositifan yang persisten seperti itu kelihatannya tidak ditemui di dalam test yang mengarahkan antigens lain.Nilai-nilai yang bersifat prediksi, kedua-duanya ditemukan hal positif dan hal negatif, tukar menukar parasit merupakan hal yang dianggap biasa dan sering ditemukan untuk menjadi bisa diterima.
RDTs yang dilaporkan selalu sama untuk menjadi lebih mudah dilaksanakan dibanding semua teknik diagnostik berkenaan dengan malaria lain, dengan beberapa format RDT yang sedang ditemukan menjadi lebih mudah dioperasikan dibanding dengan yang lain. Kesehatan para pekerja dengan ketrampilan minimal dapat dilatih; terlatih di dalam teknik RDT dalam periode yang bermacam-macam dalam tiga jam selama satu hari.
RDTs adalah lebih lebih sederhana untuk dilaksanakan dan untuk diinterpretasikan. Mereka tidak memerlukan pelatihan dengan menggunakan listrik. Peralatan yang spesial atau pelatihan penggunaan mikroskop. Bagi para pekerja kesehatan (dan pekerja kesehatan lainnya seperti sukarelawan) dapat mengajarkan prosedur yang berarti dalam beberapa jam, dengan ketrampilan ingatan yang baik di atas periode satu tahun.
RDTs relatif sempurna dalam tes performance dan dalam tukar menukar intrepretasi relatif lebih sedikit antar para pemakai. Lebih dari itu, kebanyakan kotak dapat dikirimkan dan disimpan dalam kondisi yang sesuai dengan lingkungan.
Sejak RDTs mendeteksi perputaran antigens, itu dapat mendeteksi infeksi P. falciparum bahkan ketika parasit disita di kompartemen vaskuler dan tidak begitu bisa mendeteksi oleh pengujian mikroskopik dari sekeliling blood smear. Pada wanita-wanita dengan placental malaria (seperti ketika dipertunjukkan oleh placental smears), RDTs sudah mendeteksi putaran HRP-II sungguhpun blood smears hasilnya negatif dari P.falciparum pada plasenta.
Sekarang ini sudah tersedia dipasaran RDTs secara yang mengarahkan HRP-II dapat mendeteksi hanya pada P.falciparum. Kotak itu akan mendeteksi hanya sebagian dari kasus di mana ada Plasmodium jenis lain itu merupakan co-endemik. Mereka tidaklah pantas untuk mendiagnosa kasus malaria yang di import dari area di mana P.falciparum bukan jenis lazim.
Target RDTs itu HRP-II dari P.falciparum dapat memberi hasil positif untuk sampai dua minggu mengikuti pemeriksaan parasit dan chemotherapi seperti yang telah dikonfirmasikan oleh mikroskopi Alasan untuk antigen ini perlu untuk diperjelas. Menunggu keputusan klarifikasi, RDTs mengarahkan HRP-II mungkin meng-hasilkan keputusan yang membingungkan dalam hubungannya dengan penilaian kegagalan perawatan perlawanan obat atau RDTs yang sekarang jadilah lebih mahal dibanding dengan menggunakan mikroskop (mikroskopi).
H. Pengobatan Malaria
Tujuan pengobatan malaria adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mengurangi kesakitan, mencegah komplikasi dan relaps, serta mengurangi kerugian sosial ekonomi (akibat malaria). Tentunya, obat yang ideal adalah yang memenuhi syarat:
-Membunuh semua stadium dan jenis parasit
-Menyembuhkan infeksi akut, kronis dan relaps
-Toksisitas dan efek samping sedikit
-Mudah cara pemberiannya
-Harga murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
Sayangnya, dalam pengobatan didapatkan hambatan operasional dan teknis. Hambatan operasioanal itu adalah:
- produksi obat, penggunaan obat-obatan dengan kualitas kurang baik, bahkan obat palsu.
- distribusi obat tidak sesuai dengan kebutuhan atas indikasi kasus di puskesmas.
- kualitas tenaga kesehatan, pemberian obat tidak sesuai dengan dosis trandar yang telah ditetapkan.
- kesadaran penderita, penderita tidak minum obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan (misal, klorokuin untuk tiga hari, hanya diminum satu hari saja)
Sementara itu, hambatan teknisnya adalah gagal obat atau resistensi terhadap obat. Obat yang ideal yaitu:
- Membunuh semua stadium dan jenis parasit
- Menyembuhkan infeksi akut, kronis dan relaps
- Toksisitas dan efek samping sedikit
- Mudah cara pemberiannya
- Harga murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
Sedangkan hambatan operasional dalam pengobatan adalah:
- produksi obat, penggunaan obat-obatan dengan kualitas kurang baik, bahkan obat palsu.
- distribusi obat tidak sesuai dengan kebutuhan atas indikasi kasus di puskesmas.
- kualitas tenaga kesehatan, pemberian obat tidak sesuai dengan dosis trandar yang telah ditetapkan.
- kesadaran penderita, penderita tidak minum obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan (misal klorokuin untuk 3 hari, hanya diminum 1 hari saja).
Ada beberapa jenis obat yang dikenal umum yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit malaria, antara lain:
1. Klorokuin
Kerja obat :
- sizon darah : sangat efektif terhadap semua jenis parasit malaria dengan menekan gejala klinis dan menyembuhkan secara klinis dan radikal; obat pilihan terhadap serangan akut, demam hilang dalam 24 jam dan parasitemia hilang dalam 48-72 jam; bila penyembuhan lambat dapat dicurigai terjadi resistensi (gagal obat); terhadap Plasmodium falciparum yang resisten klorokuin masih dapat mencegah kematian dan mengurangi penderitaan.
gametosit : tidak evektif terhadap gamet dewasa tetapi masih efektif terhadap gamet muda.
Farmokodinamika :
- menghambat sintesa enzim parasit membentuk DNA dan RDA
- obat bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu.
Toksisitas :
- Dosis toksis: 1500 mg basa (dewasa)
- Dosis lethal: 2000 mg basa (dewasa) atau 1000 mg basa pada anak-anak atau lebih besar / sama dengan 30 mg basa/kg BB.
Efek samping :
- gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah, diare terutama bila perut dalam keadaan kosong
- pandangan kabur
- sakit kepala, pusing (vertigo)
- gangguan pendengaran
Formulasi obat:
- Tablet (tidak berlapis gula): Klorokuin difosfat 150 mg basa setara dengan 250 mg berntuk garam dan Klorokuin sulfat 150 mg basa setara dengan 204 mg garam.
- Ampul: 1 ml berisi 100 ml basa klorokuin disulfat per ampul dan 2 ml berisi 200 ml basa klorokuin disulfat per ampul.
2. Primakuin
Kerja obat :
- sizon jaringan: sangat efektif terhadap p.falciparum dan p.vivax, terhadap p. malariae tidak diketahui.
- sizon darah: aktif terhadap p.falciparum dan p.vivax tetapi memerlukan dosis tinggi sehingga perlu hati-hati.
- gametosit: sangat efektif terhadap semua spesies parasit.
- hipnosoit: dapat memberikan kesembuhan radikal pada p.vivax dan p.ovale.
Farmakodinamika : Menghambat proses respirasi mitochondrial parasit (sifat oksidan) sehingga lebih berefek pada parasit stadium jaringan dan hipnosoit
Toksisitas :
- Dosis toksis 60-240 mg basa (dewasa) atau 1-4 mg/kgBB/hari
- Dosis lethal lebih besar 240 mg basa (dewasa) atau 4 mg/kg/BB/hari
Efek samping :
- Gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah, anoreksia, sakit perut terutama bila dalam keadaan kosong
- Kejang-kejang/gangguan kesadaran
- Gangguan sistem haemopoitik
- Pada penderita defisiensi G6 PD terjadi Hemolysis
Formulasi obat : Tablet tidak berlapis gula, 15 mg basa per tablet.
3. Kina
Kerja obat :
- sizon darah: sangat efektif terhadap penyembuhan secara klinis dan radikal
- Gametosit: tidak berefek terhadap semua gamet dewasa P. falciparum dan terhadap spesies lain cukup efektif.
Farmakodinamika : Terikat dengan DNA sehingga pembelahan RNA terganggu yang kemudian menghambat sintesa protein parasit.
Toksisitas :
- dosis toksis: 2-8 gr/hari (dewasa)
- dosis lethal: lebih besar dari 8 gr/hari (dewasa)
Efek samping : Chinchonisme Syndrom dengan keluhan antara lain pusing, sakit kepala, gangguan pendengaran –telinga berdenging (tinuitis dll), mual dan muntah, tremor dan penglihatan kabur.
Formulasi obat:
- Tablet (berlapis gula), 200 mg basa per tablet setara 220 mg bentuk garam.
- Injeksi: 1 ampul 2 cc kina HCl 25% berisi 500 mg basa (per 1 cc berisi 250 mg basa)
4. Sulfadoksin Pirimetamin (SP)
Kerja obat :
- sizon darah: sangat efektif terhadap semua p. falciparum dan kuang efektif terhadap parasit lain dan menyembuhkan secara radikal. Efeknya bisa lambat bila dipakai dosis tunggal sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain (Pirimakuin)
- Gametosit: tidak efektif terhadap gametosit tetapi pirimetamin dapat mensterilkan gametosit
Farmakodinamika :
- primetamin, terikat dengan enzym Dihidrofolat reduktase sehingga sintesa asam folat terhambat sehingga pembelahan inti parasit terganggu
- SP menghambat PABA ekstraseluler membentuk asam folat merupakan bahan inti sel dan sitoplasma parasit
Toksisitas :
- sulfadoksin, dosis toksis 4-7gr/hari (dewasa); dosis lethal lebih besar 7 gr/hari (dewasa)
- pirimetamin, dosis toksis 100-250 mg/hari (dewasa); dosis lethal lebih besar 250 mg/hari (dewasa)
Efek samping :
- gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah
- pandangan kabur
- sakit kepala, pusing (vertigo)
- haemolisis, anemia aplastik, trombositopenia pada penderita defisiensi G6PD
Kontra indikasi :
- idiosinkresi
- bayi kurang 1 tahun
- Defisiensi G6PD
Formulasi obat : 500 mg sulfadoksin ditambah 25 mg pirimetamin.
5. Sambiloto
Bila sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat alternatif, bagian yang digunakan adalah daunnya. Tanaman ini tumbuh lurus dengan banyak cabang. Tingginya Cuma 50 – 80 cm. Daunnya terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik (menghilangkan demam). Sifat antipiretik inilah yang bisa membantu penderita malaria dalam melawan penyakitnya. Dalam penelitian in vivo (di dalam tubuh makhluk hidup), daun sambiloto memang tidak mematikan P. berghei pada mencit. Namun, mencit yang tertular bisa diperpanjang masa hidupnya karena hati dan limpanya terlindung dari kerusakan. Dengan demikian penggunaan daun sambiloto dapat menunjang penggunaan obat plasmodicide (bersifat menghancurkan plasmodia). Hasilnya, sudah terlihat pada pemberian pertama. Meski begitu, dianjurkan untuk menggunakannya secara terus-menerus. Daun sambiloto bisa digunakan sebagai obat oral tunggal tradisional. Setiap kali hendak menggunakannya diperlukan sekitar setengah genggam daun sambiloto segar. Bahan itu dicuci, direbus dengan tiga gelas minum air bersih hingga tinggal sekitar ¾ bagiannya. Setelah disaring dan ditambahi madu (kalau dirasa perlu), air rebusan sudah siap dijadikan obat tradisional untuk malaria. Dalam sehari penderita dianjurkan meminumnya tiga kali, masing-masing sebanyak ¾ gelas minum.
6. Pulai
Kalau di dekat rumah tumbuh pohon pulai (Alstonia scholaris R. Br.), ada baiknya tanaman ini yang dipilih. Tinggi pohon ini bisa mencapai 25 m dengan diameter batang 40 – 60 cm. Di Jawa, pulai umumnya ditemukan di daerah berketinggian di bawah 900 m di atas permukaan laut. Bagian tanaman yang digunakan bukan lagi daunnya, tapi kulit pohonnya. Rasa bagian pohon ini pahit dan tak berbau. Menurut Perry, kulit kayu tsb. Baik untuk pengobatan malaria kronis yang disertai pembesaran limpa. Di dalamnya terkandung senyawa alkaloid. Air dari seduhan kulit tanaman ini terbukti tidak beracun. Secara in vitro (di dalam tabung percobaan) terbukti ekstraknya bersifat plasmodicide pada konsentrasi 10 – 100 mikrogram/mikroliter. Apakah alkaloid yang dikandungnya bersifat plasmodicide, belum terbukti. Untuk menggunakannya sebagai obat tradisional malaria, diperlukan kulit batangnya sebesar tiga jari. Kulit itu direbus di dalam tiga gelas minum air bersih hingga tinggal sekitar ½-nya. Setelah disaring dan diberi pemanis berupa gula atau madu, air rebusan tsb. Sudah bisa diminum sebagai obat tradisional. Sekali minum cukup ¾ gelas dan dalam sehari penderita dianjurkan meminumnya tiga kali.
7. Johar
Tanaman johar (Cassia siamea Lamk.) juga sudah banyak diteliti kemungkinannya sebagai obat malaria. Tanaman ini berupa pohon dan cepat tumbuhnya. Di Jawa, tanaman ini banyak dibudidayakan di daerah dengan ketinggian di bawah 1.000 m di atas permukaan laut. Tingginya bisa mencapai 15 m dengan batang berdiameter 40 – 50 cm. Kayunya termasuk kuat dan awet. Daunnya merupakan bagian yang bisa digunakan sebagai obat malaria. Di dalamnya terdapat alkaloid bersifat racun dan oxymethylanthraquinone. Namun, zat-zat tsb. Belum terbukti bertanggungjawab terhadap khasiatnya sebagai obat malaria.
Dalam penelitian diketahui, sampai dosis 100 mg serbuk daun/100 g tikus dalam bentuk infus oral tidak mengurangi jumlah eritrosit (sel darah merah) tertular parasit (plasmodium). Ada kemungkinan perlu dosis lebih besar dan dengan frekuensi lebih sering supaya efek yang diharapkan bisa dicapai. Juga telah dibuktikan bahwa ekstrak daun johar termasuk bahan yang tidak beracun. Secara in vivo ekstrak tersebut tidak bersifat plasmodicide pada P. berghei, tapi memperpanjang masa hidup mencit tertular, lantaran limpa dan hatinya tidak rusak. Daun johar juga memiliki daya imunostimulasi (merangsang produksi zat kekebalan tubuh), bersifat antipiretik yang potensinya seperti asetosal. Infusnya juga bersifat hepatoproteksif (melindungi hati dari kerusakan).
Seperti dikutip Heyne, dalam harian Indische dagbladen Juni 1917 disebutkan seorang bernama Wilkens di Surakarta menganjurkan penggunaan daun johar untuk pengobatan malaria. Segenggam daun mudanya direbus dengan enam cangkir air hingga airnya tersisa separuhnya (tiga cangkir). Hasil rebusan ini diminum tiga kali sehari, masing-masing secangkir. Kalau penderita merasa agak baik, dosisnya diturunkan menjadi dua kali sehari, masing-masing secangkir. Setelah kesehatannya normal, dosisnya diturunkan kembali menjadi secangkir dalam sehari.
Di masa sekarang, ramuan itu sedikit berubah meskipun prinsipnya sama. Untuk menggunakannya dalam proses pengobatan malaria digunakan ¾ genggam daun johar segar. Semuanya direbus di dalam 3 gelas minum air hingga air rebusannya tersisa ¾-nya. Air rebusan ini diminum 3 kali sehari, masing-masing ¾ gelas minum.
8. Bratawali
Tanaman lain yang bisa dijadikan sebagai alternatif bahan obat tradisional adalah bratawali (Tinospora crispa Miers.). Tanaman ini tumbuh merambat dengan gemang batang sebesar kelingking orang dewasa. Batangnya dipenuhi benjolan-benjolan kecil.
Bagian tanaman yang digunakan untuk pengobatan malaria adalah batangnya. Di dalamnya terkandung alkaloid. Batang ini rasanya sangat pahit, sehingga binatang pun enggan menyentuhnya. Demikian pahitnya hingga kalau air rebusannya dikonsumsi begitu saja dapat menyebabkan muntah-muntah. Meski begitu, rebusan ini telah lama digunakan sebagai obat demam yang sukar diobati. Bahkan, sejak lebih dari setengah abad lampau khasiatnya sebagai obat deman telah diuji oleh dokter-dokter angkatan bersenjata. Mereka berkesimpulan khasiatnya baik pada beberapa kasus demam berselang (mungkin demam sebagai gejala malaria).
Serbuk batang bratawali termasuk bahan yang PNT. Infusnya bersifat antipiretik. Sifat inilah yang meringankan penderitaan penderita malaria. Namun, belum diketahui apakah sifat ini disebabkan alkaloid yang dikandungnya atau oleh sebab lain. Yang pasti, dalam penelitian bahan ini tidak menurunkan jumlah eritrosit mencit yang tertular P. berghei.
Untuk menjadikannya sebagai obat tunggal tradisional diperlukan ¾ jari batang bratawali segar. Batang itu dipotong-potong seperlunya lalu direbus di dalam 4 ½ gelas minum air hingga tinggal separuhnya. Air rebusan disaring, diberi pemanis gula atau madu secukupnya. Hasilnya siap diminum sebagai obat oral. Tiap hari penderita dianjurkan meminumnya tiga kali, masing-masing ¾ gelas minum.
9. Vaksin
Kurang memuaskannya hasil penanganan selama ini mengakibatkan para ahli sependapat bahwa harapan untuk memenangkan perang melawan malaria terletak pada ditemukannya vaksin antimalaria. Dari ke empat spesies plasmodium, yang paling banyak menimbulkan kematian adalah P falciparum sehingga prioritas penemuan vaksin ditujukan terhadap spesies ini. Sementara ini telah diteliti empat kemungkinan pendekatan tata kerja vaksin:
1. pada stadium pre erythrocyt (sel darah merah),
2. pada tingkat blood stage.
3. pada transmission blocking.
4. kombinasi ketiganya atau multi stage vaccine.
Vaksin yang bekerja pada stadium pre erythrocyte di desain untuk mencegah infeksi ke sel darah merah yakni mencegah pelepasan merozoit dari hati. Makanya vaksin tersebut sangat penting peranannya bagi strategi penemuan multi stage vaccine selanjutnya.
Sementara vaksin yang bekerja pada blood stage bekerja membatasi multiplikasi parasit di dalam darah. Sehingga mengurangi gejala klinis penyakit, namun tidak dapat mencegah terjadinya infeksi. Kemungkinan mekanisme kerjanya adalah menginduksi antibodi terhadap protein permukaan merozoite, protein dari sel darah merah yang sudah terinfeksi atau menginduksi toksin antimalaria
Sedangkan vaksin transmission-blocking vaccinee (TBVs) bertujuan mencegah transmisi parasit dari manusia ke nyamuk dan vaksin jenis ini digabungkan dengan vaksin berbagai tingkat yang lain (liver dan blood stage).
Begitu pula vaksin multi stage. Vaksin ini di disain untuk berefek pada semua tingkat pada siklus parasit malaria. Pertama diuji coba pada manusia dengan tipe SPF66 suatu tipe peptide vaksin. Pada awalnya SPF66 memberikan hasil yang menjanjikan, namun dalam percobaan skala besar penelitian fase III hasilnya negatif. Saat ini formula baru vaksin ini sedang dikembangkan serta vaksin multi stage berbasis DNA juga mulai dikembangkan .
Untuk mengatasi plasmodium memang diperlukan vaksin kompleks namun ternyata penambahan berbagai elemen justru hasilnya kontra produktif. Penemuan genetic tools yang baru seperti transcriptome dan teknologi analisa proteome diharapkan membuat para ahli dapat lebih memahami biologi dari plasmodium sehingga dapat menolong untuk pengembangan vaksin dan obat antimalaria yang baru.
Walau strategi mengatasi malaria belum sepenuhnya berhasil, namun tetap harapannya terletak pada vaksin-vaksin tersebut. Meski sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang memenuhi syarat, bahkan pengembangannya masih banyak tantangan. Para ahli tetap mengupayakan ditemukannya vaksin antimalaria terutama vaksin multi stage.
I. Pencegahan Malaria
Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu langkah yang penting untuk mencegah gigitan nyamuk yang aktif di malam hari ini. Keberhasilan langkah ini sangat ditentukan oleh kesadaran masyarakat setempat. Pencegahan tanpa obat, yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan cara :
1. Menggunakan kelambu (bed net) pada waktu tidur, lebih baik lagi dengan kelambu berinsektisida.
2. Mengolesi badan dengan obat anti gigitan nyamuk (repellent).
3. Menggunakan pembasmi nyamuk, baik bakar, semprot maupun lainnya.
4. Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi.
5. Letak tempat tinggal diusahakan jauh dari kandang ternak.
6. Mencegah penderita malaria dan gigitan nyamuk agar infeksi tidak menyebar.
7. Membersihkan tempat hinggap/istirahat nyamuk dan memberantas sarang nyamuk.
8. Hindari keadaan rumah yang lembab, gelap, kotor dan pakaian yang bergantungan serta genangan air.
9. Membunuh jentik nyamuk dengan menyemprotkan obat anti larva (bubuk abate) pada genangan air atau menebarkan ikan atau hewan (cyclops) pemakan jentik.
10. Melestarikan hutan bakau agar nyamuk tidak berkembang biak di rawa payau sepanjang pantai.
Langkah lainnya adalah mengantisipasi dengan meminum obat satu bulan sebelum seseorang melakukan bepergian ke luar daerah tempat tinggalnya yang bebas malaria, sebaiknya mengkonsumsi obat antimalaria, misalnya klorokuin, karena obat ini efektif terhadap semua jenis parasit malaria. Aturan pemakaiannya adalah :
Pendatang sementara ke daerah endemis, dosis klorokuin adalah 300 mg/minggu, 1 minggu sebelum berangkat selama berada di lokasi sampai 4 minggu setelah kembali.
Penduduk daerah endemis dan penduduk baru yang akan menetap tinggal, dosis klorokuin 300 mg/minggu. Obat hanya diminum selama 12 minggu (3 bulan).
Semua penderita demam di daerah endemis diberikan klorokuin dosis tunggal 600 mg jika daerah itu plasmodium falciparum sudah resisten terhadap klorokuin ditambahkan primakuin sebanyak tiga tablet.
- Berkeringat
- Dapat disertai dengan gejala lain: Sakit kepala, mual dan muntah.
- Gejala khas daerah setempat: diare pada balita (di Timtim), nyeri otot atau pegal-pegal pada orang dewasa (di Papua), pucat dan menggigil-dingin pada orang dewasa (di Yogyakarta).
c. Gejala malaria berat atau komplikasi, yaitu gejala malaria klinis ringan diatas dengan disertai salah satu gejala di bawah ini:
- Gangguan kesadaran (lebih dari 30 menit)
- Kejang, beberapa kali kejang
- Panas tinggi diikuti gangguan kesadaran
- Mata kuning dan tubuh kuning
- Perdarahan di hidung, gusi atau saluran pencernaan
- Jumlah kencing kurang (oliguri)
- Warna urine seperti I tua
- Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)
- Nafas sesak
d. Kadar darah putih, leukosit, cenderung meningkat. Jika tidak segera diobati biasanya akan timbul jaundice ringan (sakit kuning) serta pembesaran hati dan limpa.
e. Kadar gula darah rendah.
f. Jika sejumlah parasit menetap di dalam darah kadang malaria bersifat menetap. Menyebabkan penurunan nafsu makan, rasa pahit pada lidah, lemah, sertai demam.
Gejala malaria berdasarkan jenis malaria antara lain:
a. Gejala Malaria Vivax & Ovale
Gejala yang terlihat sangat samar; berupa demam ringan yang tidak menetap, keringat dingin, dan berlangsung selama 1 minggu membentuk pola yang khas. Biasanya demam akan terjadi antara 1 – 8 jam. Setelah demam reda, pengidap malaria ini merasa sehat sampai gejala susulan kembali terjadi. Gejala jenis malaria ini cenderung terjadi setiap 48 jam.
b. Gejala Malaria Falciparum
Gejala awal adalah demam tinggi, suhu tubuh naik secara bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa berlangsung selama 20 – 36 jam, dan penderita mengalami sakit kepala hebat. Setelah gejala utama mereda, pengidap akan merasa tidak nyaman.
d. Gejala Malaria Malariae (kuartana)
Suatu serangan seringkali dimulai secara samar-samar. Serangannya menyerupai malaria vivax, dengan selang waktu setiap 72 jam.
G. Diagnosa Penyakit Malaria
Tes diagnostik cepat (RDTs) digunakan untuk mendiagnosa penyakit malaria. Test ini berdasar pada pendeteksian antigen parasit malaria di dalam darah, dengan menggunakan metoda immunochromatographic. Paling sering mereka menggunakan dipstick atau test strip yang untuk pengujian monoclonal antidibodies yang secara langsung menyerang target antigens dari parasit tersebut. Test dapat dilakukan sekitar 15 menit. Beberapa kotak test sekarang ini banyak tersedia di pasaran. Bidang ilmu ini sedang dikembangkan dengan cepat, dan peningkatan teknis secara terus menerus dapat meningkatkan kemampuan RDTs untuk menegakkan diagnosa malaria.
Antigens yang Ditargetkan Sekarang Disediakan oleh RDTs :
Ø Histidine-rich protein II (HRP-II) adalah suatu protein yang dapat larut dalam air yang diproduksi oleh trophozoites dan muda (tetapi belum matang) gametocytes P. falcipatarum. Kotak yang tersedia dipasaran sekarang ini hanya tersedia untuk mendeteksi HRP-ll yang berasal dari P. falciparum saja.
Ø Laktat parasit Dehydrogenase (Pldh) diproduksi oleh asexual dan sexual stages (gametocytes) yang berasal dari parasit malaria. Kotak tes yang sekarang ini tersedia mendeteksi Pldh berasal dari semua empat jenis Plasmodium yang menginfeksi manusia. Mereka dapat membedakan jenis P.falciparum dan jenis yang non-falciparum, tetapi tidak bisa membedakan antara P.vivax, P.ovale dan P. malariae.
Ø Antigen(S) yang lain kini hadir dalam semua empat jenis yang juga ditargetkan di dalam kotak yang berkombinasi untuk pendeteksian menyangkut antigen HRP-II dari P.falciparum bersama-sama dengan sesuatu, hingga kini tak bisa ditentukan, antigen “pan-malarial” yang menyangkut jenis lain.
Beberapa kotak yang mendeteksi semua empat jenis Plasmodium menyebutkan di dalam merk dagang mereka atau dalam pemasaran mereka hanya dua jenis (“PF/PV”). Ini lebih dapat mendorong kearah kebingungan tentang kemampuan diagnostik mereka.
Prosedur Test Umum (Variasi Antar kotak) :
Ø Spesimen darah finger-prick dikumpulkan (2-50 ml, tergantung pada kotak), menggunakan berbagai tabung microcapillarv. Beberapa pabrik menyatakan bahwa plasma atau darah anticoagulated dapat juga digunakan.
Ø Spesimen darah dicampur (di dalam tabung test terpisah atau tempat yang melengkung, atau pada sample pad) dengan larutan buffer yang berisi campuran haemolysing sama seperti antibody yang spesifik yang berlabel dengan visually detecble marker (seperti emas colloidal). Jika antigen yang sudah diselidiki telah hadir, maka antigen atau antibody yang kompleks telah terbentuk. Dalam beberapa kotak, antibody yang berlabel adalah pre-deposited yang selama pembuatan memakai sample pad atau di dalam tempat yang melengkung dan hanya satu lysing atau washing buffer yang ditambahkan pada darah.
Ø Antigen-antibody yang berlabel yang kompleks pindah tempat atas test strip (paling sering nitrocellulose atau serat glass) dengan prinsip kapiler pada bahan reaksi test-specific yang selama pembuatan telah pre-deposited. Ini meliputi (a) satu baris menangkap antibody yang spesifik untuk antigen di bawah penyelidikan (beberapa bentuk digunakan jika beberapa antigens sedang diselidiki) dan (b) sebuah prosedur mengontrol garis, dengan antibody yang akan menangkap antibody yang berlabel.
Ø Washing buffer kemudian ditambahkan untuk memindahkan haemoglobin dan permit visualisasi dari semua garis yang berwarna di atas strip. Buffer adalah menambahkan dengan menyimpan secara langsung di atas strip, dengan menempatkannya di dalam tempat yang lengkung dimana yang berpindah tempat itu adalah strip, atau dengan mencuci keseluruhan strip di dalam tabung test.
Ø Jika yang berada di bawah penyelidikan adalah darah yang berisi antigen, antigen-antibody yang berlabel yang kompleks akan dihentikan pada garis pre-deposited yang menangkap antibody dan akan dapat ditemukan secara visual. Apakah darah tidak berisi antigen atau tidak, garis pengontrol akan menjadi kelihatan sama seperti antibody yang berlabel ditangkap oleh antibody garis pre-deposited dari antibody yang secara langsung melawannya. (Catatan: desain ini mengakibatkan garis kendali tidak muncul sekalipun tidak ada darah yang bercampur dengan haemolysing buffer) Tes yang lengkap memakan waktu bervariasi dari dari 5 sampai 15 menit.
Tes Performance dari RDTs
Tes Performance dari RDTs telah ditaksir secara ekstensif di dalam situasi klinis berbeda, kedua-duanya di negara-negara tidak endemik dan endemik. Kegunaan dari penilaian ini telah disepakati sedikit banyaknya variasi di dalam metodologi dan ukuran sample yang biasanya berukuran kecil. Lanjutan penilaian seperti itu akan menjadi diperlukan dengan peningkatan pengenalan teknik atau dalam pengembangan kotak peralatan yang terbaru.
RDTs mendeteksi empat jenis Plasmodium yang menginfeksi manusia, tergantung pada antigens yang menjadi dasarnya. Beberapa RDTs hanya mendeteksi P. falciparum dan parasit malaria lainnya di dua bagian yang terpisah. Sampai saat ini, tidak ada RDT yang dipasarkan telah dilaporkan untuk dapat mempercayai pembedaan antara P.vivax, P.ovale dan P.malariae, walaupun begitu riset untuk pengembangan test seperti itu selalu dilanjutkan.
Kepekaan dari RDTs yang telah dipelajari untuk P.falciparum, sejak kotak untuk P.falciparum (target banyak diarahkan P.falciparum HRP-II) telah tersedia untuk waktu lebih lama. Tenaga ahli yang dibandingkan dengan mikroskopi (kadang-kadang yang dilengkapi oleh polymerase reaksi berantai), RDTs yang biasanya mencapai suatu kepekaan lebih dari 90% di dalam mendeteksi P.falciparum pada kepadatan di atas 100 parasit per ml darah (9.24 dan dilaporkan pada saat pertemuan). Di bawah tingkatan 100 parasit per ml darah, dengan jelas kepekaan dapat berkurang.
Kepekaan RDT untuk jenis yang non-falciparum menjadi lebih sedikit yang dipelajari. Penyelidikan yang diselenggarakan sampai saat ini menunjukkan bahwa kotak Pldh boleh mencapai suatu kepekaan untuk P.vivax yang dapat diperbandingkan dengan P.falciparum. Ini belum termasuk kasus kotak yang menargetkan antigens “pan-malarial” yang berbeda.
Ketegasan dari RDTs, diukur dalam penyelidikan yang sama, apakah yang seragam mempunyai hasil yang tinggi (kebanyakan > 90%). Bagaimanapun, hasil positif palsu telah dilaporkan di dalam darah dari pasien dengan faktor rheumatoid, terutama di dalam versi yang lebih awal dari satu kotak HRP-II; masalahnya, mungkin dihubungkan dengan reaksi silang dengan antibody monoclonal yang berlabel, terakhir sudah dilaporkan dengan benar didalam beberapa versi kotak terbaru. Sebagai tambahan, test HRP-II dapat positif tinggal untuk 7-14 hari yang mengikuti kemoterapi di dalam proporsi substansil individu, sungguhpun pasien ini tidak lagi mempunyai gejala atau parasitaernia (seperti ketika ditaksir oleh blood smears). Derajat tingkat kepositifan yang persisten seperti itu kelihatannya tidak ditemui di dalam test yang mengarahkan antigens lain.Nilai-nilai yang bersifat prediksi, kedua-duanya ditemukan hal positif dan hal negatif, tukar menukar parasit merupakan hal yang dianggap biasa dan sering ditemukan untuk menjadi bisa diterima.
RDTs yang dilaporkan selalu sama untuk menjadi lebih mudah dilaksanakan dibanding semua teknik diagnostik berkenaan dengan malaria lain, dengan beberapa format RDT yang sedang ditemukan menjadi lebih mudah dioperasikan dibanding dengan yang lain. Kesehatan para pekerja dengan ketrampilan minimal dapat dilatih; terlatih di dalam teknik RDT dalam periode yang bermacam-macam dalam tiga jam selama satu hari.
RDTs adalah lebih lebih sederhana untuk dilaksanakan dan untuk diinterpretasikan. Mereka tidak memerlukan pelatihan dengan menggunakan listrik. Peralatan yang spesial atau pelatihan penggunaan mikroskop. Bagi para pekerja kesehatan (dan pekerja kesehatan lainnya seperti sukarelawan) dapat mengajarkan prosedur yang berarti dalam beberapa jam, dengan ketrampilan ingatan yang baik di atas periode satu tahun.
RDTs relatif sempurna dalam tes performance dan dalam tukar menukar intrepretasi relatif lebih sedikit antar para pemakai. Lebih dari itu, kebanyakan kotak dapat dikirimkan dan disimpan dalam kondisi yang sesuai dengan lingkungan.
Sejak RDTs mendeteksi perputaran antigens, itu dapat mendeteksi infeksi P. falciparum bahkan ketika parasit disita di kompartemen vaskuler dan tidak begitu bisa mendeteksi oleh pengujian mikroskopik dari sekeliling blood smear. Pada wanita-wanita dengan placental malaria (seperti ketika dipertunjukkan oleh placental smears), RDTs sudah mendeteksi putaran HRP-II sungguhpun blood smears hasilnya negatif dari P.falciparum pada plasenta.
Sekarang ini sudah tersedia dipasaran RDTs secara yang mengarahkan HRP-II dapat mendeteksi hanya pada P.falciparum. Kotak itu akan mendeteksi hanya sebagian dari kasus di mana ada Plasmodium jenis lain itu merupakan co-endemik. Mereka tidaklah pantas untuk mendiagnosa kasus malaria yang di import dari area di mana P.falciparum bukan jenis lazim.
Target RDTs itu HRP-II dari P.falciparum dapat memberi hasil positif untuk sampai dua minggu mengikuti pemeriksaan parasit dan chemotherapi seperti yang telah dikonfirmasikan oleh mikroskopi Alasan untuk antigen ini perlu untuk diperjelas. Menunggu keputusan klarifikasi, RDTs mengarahkan HRP-II mungkin meng-hasilkan keputusan yang membingungkan dalam hubungannya dengan penilaian kegagalan perawatan perlawanan obat atau RDTs yang sekarang jadilah lebih mahal dibanding dengan menggunakan mikroskop (mikroskopi).
H. Pengobatan Malaria
Tujuan pengobatan malaria adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mengurangi kesakitan, mencegah komplikasi dan relaps, serta mengurangi kerugian sosial ekonomi (akibat malaria). Tentunya, obat yang ideal adalah yang memenuhi syarat:
-Membunuh semua stadium dan jenis parasit
-Menyembuhkan infeksi akut, kronis dan relaps
-Toksisitas dan efek samping sedikit
-Mudah cara pemberiannya
-Harga murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
Sayangnya, dalam pengobatan didapatkan hambatan operasional dan teknis. Hambatan operasioanal itu adalah:
- produksi obat, penggunaan obat-obatan dengan kualitas kurang baik, bahkan obat palsu.
- distribusi obat tidak sesuai dengan kebutuhan atas indikasi kasus di puskesmas.
- kualitas tenaga kesehatan, pemberian obat tidak sesuai dengan dosis trandar yang telah ditetapkan.
- kesadaran penderita, penderita tidak minum obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan (misal, klorokuin untuk tiga hari, hanya diminum satu hari saja)
Sementara itu, hambatan teknisnya adalah gagal obat atau resistensi terhadap obat. Obat yang ideal yaitu:
- Membunuh semua stadium dan jenis parasit
- Menyembuhkan infeksi akut, kronis dan relaps
- Toksisitas dan efek samping sedikit
- Mudah cara pemberiannya
- Harga murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
Sedangkan hambatan operasional dalam pengobatan adalah:
- produksi obat, penggunaan obat-obatan dengan kualitas kurang baik, bahkan obat palsu.
- distribusi obat tidak sesuai dengan kebutuhan atas indikasi kasus di puskesmas.
- kualitas tenaga kesehatan, pemberian obat tidak sesuai dengan dosis trandar yang telah ditetapkan.
- kesadaran penderita, penderita tidak minum obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan (misal klorokuin untuk 3 hari, hanya diminum 1 hari saja).
Ada beberapa jenis obat yang dikenal umum yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit malaria, antara lain:
1. Klorokuin
Kerja obat :
- sizon darah : sangat efektif terhadap semua jenis parasit malaria dengan menekan gejala klinis dan menyembuhkan secara klinis dan radikal; obat pilihan terhadap serangan akut, demam hilang dalam 24 jam dan parasitemia hilang dalam 48-72 jam; bila penyembuhan lambat dapat dicurigai terjadi resistensi (gagal obat); terhadap Plasmodium falciparum yang resisten klorokuin masih dapat mencegah kematian dan mengurangi penderitaan.
gametosit : tidak evektif terhadap gamet dewasa tetapi masih efektif terhadap gamet muda.
Farmokodinamika :
- menghambat sintesa enzim parasit membentuk DNA dan RDA
- obat bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan RNA terganggu.
Toksisitas :
- Dosis toksis: 1500 mg basa (dewasa)
- Dosis lethal: 2000 mg basa (dewasa) atau 1000 mg basa pada anak-anak atau lebih besar / sama dengan 30 mg basa/kg BB.
Efek samping :
- gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah, diare terutama bila perut dalam keadaan kosong
- pandangan kabur
- sakit kepala, pusing (vertigo)
- gangguan pendengaran
Formulasi obat:
- Tablet (tidak berlapis gula): Klorokuin difosfat 150 mg basa setara dengan 250 mg berntuk garam dan Klorokuin sulfat 150 mg basa setara dengan 204 mg garam.
- Ampul: 1 ml berisi 100 ml basa klorokuin disulfat per ampul dan 2 ml berisi 200 ml basa klorokuin disulfat per ampul.
2. Primakuin
Kerja obat :
- sizon jaringan: sangat efektif terhadap p.falciparum dan p.vivax, terhadap p. malariae tidak diketahui.
- sizon darah: aktif terhadap p.falciparum dan p.vivax tetapi memerlukan dosis tinggi sehingga perlu hati-hati.
- gametosit: sangat efektif terhadap semua spesies parasit.
- hipnosoit: dapat memberikan kesembuhan radikal pada p.vivax dan p.ovale.
Farmakodinamika : Menghambat proses respirasi mitochondrial parasit (sifat oksidan) sehingga lebih berefek pada parasit stadium jaringan dan hipnosoit
Toksisitas :
- Dosis toksis 60-240 mg basa (dewasa) atau 1-4 mg/kgBB/hari
- Dosis lethal lebih besar 240 mg basa (dewasa) atau 4 mg/kg/BB/hari
Efek samping :
- Gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah, anoreksia, sakit perut terutama bila dalam keadaan kosong
- Kejang-kejang/gangguan kesadaran
- Gangguan sistem haemopoitik
- Pada penderita defisiensi G6 PD terjadi Hemolysis
Formulasi obat : Tablet tidak berlapis gula, 15 mg basa per tablet.
3. Kina
Kerja obat :
- sizon darah: sangat efektif terhadap penyembuhan secara klinis dan radikal
- Gametosit: tidak berefek terhadap semua gamet dewasa P. falciparum dan terhadap spesies lain cukup efektif.
Farmakodinamika : Terikat dengan DNA sehingga pembelahan RNA terganggu yang kemudian menghambat sintesa protein parasit.
Toksisitas :
- dosis toksis: 2-8 gr/hari (dewasa)
- dosis lethal: lebih besar dari 8 gr/hari (dewasa)
Efek samping : Chinchonisme Syndrom dengan keluhan antara lain pusing, sakit kepala, gangguan pendengaran –telinga berdenging (tinuitis dll), mual dan muntah, tremor dan penglihatan kabur.
Formulasi obat:
- Tablet (berlapis gula), 200 mg basa per tablet setara 220 mg bentuk garam.
- Injeksi: 1 ampul 2 cc kina HCl 25% berisi 500 mg basa (per 1 cc berisi 250 mg basa)
4. Sulfadoksin Pirimetamin (SP)
Kerja obat :
- sizon darah: sangat efektif terhadap semua p. falciparum dan kuang efektif terhadap parasit lain dan menyembuhkan secara radikal. Efeknya bisa lambat bila dipakai dosis tunggal sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain (Pirimakuin)
- Gametosit: tidak efektif terhadap gametosit tetapi pirimetamin dapat mensterilkan gametosit
Farmakodinamika :
- primetamin, terikat dengan enzym Dihidrofolat reduktase sehingga sintesa asam folat terhambat sehingga pembelahan inti parasit terganggu
- SP menghambat PABA ekstraseluler membentuk asam folat merupakan bahan inti sel dan sitoplasma parasit
Toksisitas :
- sulfadoksin, dosis toksis 4-7gr/hari (dewasa); dosis lethal lebih besar 7 gr/hari (dewasa)
- pirimetamin, dosis toksis 100-250 mg/hari (dewasa); dosis lethal lebih besar 250 mg/hari (dewasa)
Efek samping :
- gangguan gastro-intestinal seperti mual, muntah
- pandangan kabur
- sakit kepala, pusing (vertigo)
- haemolisis, anemia aplastik, trombositopenia pada penderita defisiensi G6PD
Kontra indikasi :
- idiosinkresi
- bayi kurang 1 tahun
- Defisiensi G6PD
Formulasi obat : 500 mg sulfadoksin ditambah 25 mg pirimetamin.
5. Sambiloto
Bila sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat alternatif, bagian yang digunakan adalah daunnya. Tanaman ini tumbuh lurus dengan banyak cabang. Tingginya Cuma 50 – 80 cm. Daunnya terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik (menghilangkan demam). Sifat antipiretik inilah yang bisa membantu penderita malaria dalam melawan penyakitnya. Dalam penelitian in vivo (di dalam tubuh makhluk hidup), daun sambiloto memang tidak mematikan P. berghei pada mencit. Namun, mencit yang tertular bisa diperpanjang masa hidupnya karena hati dan limpanya terlindung dari kerusakan. Dengan demikian penggunaan daun sambiloto dapat menunjang penggunaan obat plasmodicide (bersifat menghancurkan plasmodia). Hasilnya, sudah terlihat pada pemberian pertama. Meski begitu, dianjurkan untuk menggunakannya secara terus-menerus. Daun sambiloto bisa digunakan sebagai obat oral tunggal tradisional. Setiap kali hendak menggunakannya diperlukan sekitar setengah genggam daun sambiloto segar. Bahan itu dicuci, direbus dengan tiga gelas minum air bersih hingga tinggal sekitar ¾ bagiannya. Setelah disaring dan ditambahi madu (kalau dirasa perlu), air rebusan sudah siap dijadikan obat tradisional untuk malaria. Dalam sehari penderita dianjurkan meminumnya tiga kali, masing-masing sebanyak ¾ gelas minum.
6. Pulai
Kalau di dekat rumah tumbuh pohon pulai (Alstonia scholaris R. Br.), ada baiknya tanaman ini yang dipilih. Tinggi pohon ini bisa mencapai 25 m dengan diameter batang 40 – 60 cm. Di Jawa, pulai umumnya ditemukan di daerah berketinggian di bawah 900 m di atas permukaan laut. Bagian tanaman yang digunakan bukan lagi daunnya, tapi kulit pohonnya. Rasa bagian pohon ini pahit dan tak berbau. Menurut Perry, kulit kayu tsb. Baik untuk pengobatan malaria kronis yang disertai pembesaran limpa. Di dalamnya terkandung senyawa alkaloid. Air dari seduhan kulit tanaman ini terbukti tidak beracun. Secara in vitro (di dalam tabung percobaan) terbukti ekstraknya bersifat plasmodicide pada konsentrasi 10 – 100 mikrogram/mikroliter. Apakah alkaloid yang dikandungnya bersifat plasmodicide, belum terbukti. Untuk menggunakannya sebagai obat tradisional malaria, diperlukan kulit batangnya sebesar tiga jari. Kulit itu direbus di dalam tiga gelas minum air bersih hingga tinggal sekitar ½-nya. Setelah disaring dan diberi pemanis berupa gula atau madu, air rebusan tsb. Sudah bisa diminum sebagai obat tradisional. Sekali minum cukup ¾ gelas dan dalam sehari penderita dianjurkan meminumnya tiga kali.
7. Johar
Tanaman johar (Cassia siamea Lamk.) juga sudah banyak diteliti kemungkinannya sebagai obat malaria. Tanaman ini berupa pohon dan cepat tumbuhnya. Di Jawa, tanaman ini banyak dibudidayakan di daerah dengan ketinggian di bawah 1.000 m di atas permukaan laut. Tingginya bisa mencapai 15 m dengan batang berdiameter 40 – 50 cm. Kayunya termasuk kuat dan awet. Daunnya merupakan bagian yang bisa digunakan sebagai obat malaria. Di dalamnya terdapat alkaloid bersifat racun dan oxymethylanthraquinone. Namun, zat-zat tsb. Belum terbukti bertanggungjawab terhadap khasiatnya sebagai obat malaria.
Dalam penelitian diketahui, sampai dosis 100 mg serbuk daun/100 g tikus dalam bentuk infus oral tidak mengurangi jumlah eritrosit (sel darah merah) tertular parasit (plasmodium). Ada kemungkinan perlu dosis lebih besar dan dengan frekuensi lebih sering supaya efek yang diharapkan bisa dicapai. Juga telah dibuktikan bahwa ekstrak daun johar termasuk bahan yang tidak beracun. Secara in vivo ekstrak tersebut tidak bersifat plasmodicide pada P. berghei, tapi memperpanjang masa hidup mencit tertular, lantaran limpa dan hatinya tidak rusak. Daun johar juga memiliki daya imunostimulasi (merangsang produksi zat kekebalan tubuh), bersifat antipiretik yang potensinya seperti asetosal. Infusnya juga bersifat hepatoproteksif (melindungi hati dari kerusakan).
Seperti dikutip Heyne, dalam harian Indische dagbladen Juni 1917 disebutkan seorang bernama Wilkens di Surakarta menganjurkan penggunaan daun johar untuk pengobatan malaria. Segenggam daun mudanya direbus dengan enam cangkir air hingga airnya tersisa separuhnya (tiga cangkir). Hasil rebusan ini diminum tiga kali sehari, masing-masing secangkir. Kalau penderita merasa agak baik, dosisnya diturunkan menjadi dua kali sehari, masing-masing secangkir. Setelah kesehatannya normal, dosisnya diturunkan kembali menjadi secangkir dalam sehari.
Di masa sekarang, ramuan itu sedikit berubah meskipun prinsipnya sama. Untuk menggunakannya dalam proses pengobatan malaria digunakan ¾ genggam daun johar segar. Semuanya direbus di dalam 3 gelas minum air hingga air rebusannya tersisa ¾-nya. Air rebusan ini diminum 3 kali sehari, masing-masing ¾ gelas minum.
8. Bratawali
Tanaman lain yang bisa dijadikan sebagai alternatif bahan obat tradisional adalah bratawali (Tinospora crispa Miers.). Tanaman ini tumbuh merambat dengan gemang batang sebesar kelingking orang dewasa. Batangnya dipenuhi benjolan-benjolan kecil.
Bagian tanaman yang digunakan untuk pengobatan malaria adalah batangnya. Di dalamnya terkandung alkaloid. Batang ini rasanya sangat pahit, sehingga binatang pun enggan menyentuhnya. Demikian pahitnya hingga kalau air rebusannya dikonsumsi begitu saja dapat menyebabkan muntah-muntah. Meski begitu, rebusan ini telah lama digunakan sebagai obat demam yang sukar diobati. Bahkan, sejak lebih dari setengah abad lampau khasiatnya sebagai obat deman telah diuji oleh dokter-dokter angkatan bersenjata. Mereka berkesimpulan khasiatnya baik pada beberapa kasus demam berselang (mungkin demam sebagai gejala malaria).
Serbuk batang bratawali termasuk bahan yang PNT. Infusnya bersifat antipiretik. Sifat inilah yang meringankan penderitaan penderita malaria. Namun, belum diketahui apakah sifat ini disebabkan alkaloid yang dikandungnya atau oleh sebab lain. Yang pasti, dalam penelitian bahan ini tidak menurunkan jumlah eritrosit mencit yang tertular P. berghei.
Untuk menjadikannya sebagai obat tunggal tradisional diperlukan ¾ jari batang bratawali segar. Batang itu dipotong-potong seperlunya lalu direbus di dalam 4 ½ gelas minum air hingga tinggal separuhnya. Air rebusan disaring, diberi pemanis gula atau madu secukupnya. Hasilnya siap diminum sebagai obat oral. Tiap hari penderita dianjurkan meminumnya tiga kali, masing-masing ¾ gelas minum.
9. Vaksin
Kurang memuaskannya hasil penanganan selama ini mengakibatkan para ahli sependapat bahwa harapan untuk memenangkan perang melawan malaria terletak pada ditemukannya vaksin antimalaria. Dari ke empat spesies plasmodium, yang paling banyak menimbulkan kematian adalah P falciparum sehingga prioritas penemuan vaksin ditujukan terhadap spesies ini. Sementara ini telah diteliti empat kemungkinan pendekatan tata kerja vaksin:
1. pada stadium pre erythrocyt (sel darah merah),
2. pada tingkat blood stage.
3. pada transmission blocking.
4. kombinasi ketiganya atau multi stage vaccine.
Vaksin yang bekerja pada stadium pre erythrocyte di desain untuk mencegah infeksi ke sel darah merah yakni mencegah pelepasan merozoit dari hati. Makanya vaksin tersebut sangat penting peranannya bagi strategi penemuan multi stage vaccine selanjutnya.
Sementara vaksin yang bekerja pada blood stage bekerja membatasi multiplikasi parasit di dalam darah. Sehingga mengurangi gejala klinis penyakit, namun tidak dapat mencegah terjadinya infeksi. Kemungkinan mekanisme kerjanya adalah menginduksi antibodi terhadap protein permukaan merozoite, protein dari sel darah merah yang sudah terinfeksi atau menginduksi toksin antimalaria
Sedangkan vaksin transmission-blocking vaccinee (TBVs) bertujuan mencegah transmisi parasit dari manusia ke nyamuk dan vaksin jenis ini digabungkan dengan vaksin berbagai tingkat yang lain (liver dan blood stage).
Begitu pula vaksin multi stage. Vaksin ini di disain untuk berefek pada semua tingkat pada siklus parasit malaria. Pertama diuji coba pada manusia dengan tipe SPF66 suatu tipe peptide vaksin. Pada awalnya SPF66 memberikan hasil yang menjanjikan, namun dalam percobaan skala besar penelitian fase III hasilnya negatif. Saat ini formula baru vaksin ini sedang dikembangkan serta vaksin multi stage berbasis DNA juga mulai dikembangkan .
Untuk mengatasi plasmodium memang diperlukan vaksin kompleks namun ternyata penambahan berbagai elemen justru hasilnya kontra produktif. Penemuan genetic tools yang baru seperti transcriptome dan teknologi analisa proteome diharapkan membuat para ahli dapat lebih memahami biologi dari plasmodium sehingga dapat menolong untuk pengembangan vaksin dan obat antimalaria yang baru.
Walau strategi mengatasi malaria belum sepenuhnya berhasil, namun tetap harapannya terletak pada vaksin-vaksin tersebut. Meski sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang memenuhi syarat, bahkan pengembangannya masih banyak tantangan. Para ahli tetap mengupayakan ditemukannya vaksin antimalaria terutama vaksin multi stage.
I. Pencegahan Malaria
Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu langkah yang penting untuk mencegah gigitan nyamuk yang aktif di malam hari ini. Keberhasilan langkah ini sangat ditentukan oleh kesadaran masyarakat setempat. Pencegahan tanpa obat, yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan cara :
1. Menggunakan kelambu (bed net) pada waktu tidur, lebih baik lagi dengan kelambu berinsektisida.
2. Mengolesi badan dengan obat anti gigitan nyamuk (repellent).
3. Menggunakan pembasmi nyamuk, baik bakar, semprot maupun lainnya.
4. Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi.
5. Letak tempat tinggal diusahakan jauh dari kandang ternak.
6. Mencegah penderita malaria dan gigitan nyamuk agar infeksi tidak menyebar.
7. Membersihkan tempat hinggap/istirahat nyamuk dan memberantas sarang nyamuk.
8. Hindari keadaan rumah yang lembab, gelap, kotor dan pakaian yang bergantungan serta genangan air.
9. Membunuh jentik nyamuk dengan menyemprotkan obat anti larva (bubuk abate) pada genangan air atau menebarkan ikan atau hewan (cyclops) pemakan jentik.
10. Melestarikan hutan bakau agar nyamuk tidak berkembang biak di rawa payau sepanjang pantai.
Langkah lainnya adalah mengantisipasi dengan meminum obat satu bulan sebelum seseorang melakukan bepergian ke luar daerah tempat tinggalnya yang bebas malaria, sebaiknya mengkonsumsi obat antimalaria, misalnya klorokuin, karena obat ini efektif terhadap semua jenis parasit malaria. Aturan pemakaiannya adalah :
Pendatang sementara ke daerah endemis, dosis klorokuin adalah 300 mg/minggu, 1 minggu sebelum berangkat selama berada di lokasi sampai 4 minggu setelah kembali.
Penduduk daerah endemis dan penduduk baru yang akan menetap tinggal, dosis klorokuin 300 mg/minggu. Obat hanya diminum selama 12 minggu (3 bulan).
Semua penderita demam di daerah endemis diberikan klorokuin dosis tunggal 600 mg jika daerah itu plasmodium falciparum sudah resisten terhadap klorokuin ditambahkan primakuin sebanyak tiga tablet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar