Dismenorhea (Nyeri haid)
A. Dismenore
1. Definisi
Dismenore
adalah nyeri haid menjelang atau selama haid, sampai membuat wanita
tersebut tidak bekerja dan harus tidur. Nyeri ini bersamaan dengan rasa
mual, sakit kepala, perasaan mau pingsan, lekas marah (Mansjoer, 2000 :
372)
Sedangkan menurut Youngson, (2002 : 87) dismenore
adalah sakit saat menstruasi yang dialami oleh hampir semua wanita dari
waktu kewaktu. Tepat sebelum atau saat keluarnya darah menstruasi, akan
timbul rasa sakit yang ritmis, dan mencengkram pada bagian bawah perut
serta punggung, yang berlangsung selama beberapa jam, meskipun
kadang-kadang bisa sampai sehari, atau bahkan sepanjang daur menstruasi
ini.
Dengan
mengacu pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat penulis
simpulkan bahwa dismenore adalah nyeri haid yaitu nyeri pada daerah
panggul yang dialami para wanita menjelang atau selama haid akibat
menstruasi dan produksi zat prostaglandin serta dapat mengganggu
aktivitas pekerjaan sehari–hari. Nyeri ini bersamaan dengan rasa mual,
sakit kepala, perasaan mau pingsan dan lekas marah yang berlangsung
selama beberapa jam atau kadang-kadang bisa sampai sehari atau bahkan
sepanjang daur menstruasi ini.
2. Dismenorhea primer
a) Definisi
Adalah
nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan pada alat-alat genital yang
nyata. Dismenore primer terjadi beberapa waktu setelah menarche
(haid pertama kali) biasanya setelah 12 bulan atau lebih, oleh karena
siklus-siklus haid pada bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya
berjenis anovulatoar yang
tidak disertai dengan rasa nyeri. Sifat rasa nyeri adalah kejang
berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat
menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat
dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare (Winknjosastro 2004)
b) Berdasarkan penyebabnya
Beberapa penyebab yang diduga berperan dalam timbulnya dismenore primer (Oksparasta 2003) :
a) Psikis dan konstitusi
b) Obstruksi canalis cervicalis
c) Alergi
d) Neurologis
e) Vasopresin
f) Kenaikan kadar prostaglandin
g) Faktor hormonal
h) Leukotren
Faktor lain yang dapat menjadi penyebab dismenorea primer adalah faktor psikologis. Faktor-faktor risiko dismenore
primer antara lain nulipara (wanita yang belum pernah melahirkan),
obesitas (kegemukan), perokok dan memiliki riwayat keluarga dengan
dismenorea.
c) Berdasarkan berat-ringannya rasa nyeri (Oksparasta, 2003:88)
Berdasarkan berat-ringannya rasa nyeri dismenorea dibagi menjadi,
(1) Dismenorea
ringan, yaitu dismenorea dengan rasa nyeri yang berlangsung beberapa
saat sehingga perlu istirahat sejenak untuk menghilangkan nyeri, tanpa
disertai pemakaian obat.
(2) Dismenorea
sedang, yaitu dismenorea yang memerlukan obat untuk menghilangkan rasa
nyeri, tanpa perlu meninggalkan aktivitas sehari-hari.
(3) Dismenorea
berat, yaitu dismenorea yang memerlukan istirahat sedemikian lama
dengan akibat meninggalkan aktivitas sehari-hari selama 1 hari atau
lebih.
d) Tanda gejala dismenore primer (Mansjoer, 2000 : 373)
Dismenorea
primer menyebabkan nyeri pada perut bagian bawah, yang bisa menjalar ke
punggung bagian bawah dan tungkai. Nyeri dirasakan sebagai kram yang
hilang timbul atau sebagai nyeri tumpul yang terus menerus ada. Biasanya
nyeri mulai timbul sesaat sebelum atau selama menstruasi, mencapai
puncaknya dalam waktu 24jam dan setelah 2 hari akan menghilang.
Dismenorea juga sering disertai oleh sakit kepala, mual, sembelit atau
diare dan sering berkemih. Kadang sampai terjadi muntah. Dismenorhea
primer sering terjadi pada wanita yang belum pernah melahirkan.
3. Dismenorhea sekunder
a) Definisi
yaitu dismenorea yang berkaitan dengan kelainan ginekologis, baik kelainan anatomi maupun proses patologis pada pelvis (Winknjosastro 2004).
b) Penyebab dismenore Sekunder
a) endometriosis,
b) infeksi pelvis (daerah panggul),
c) tumor rahim,
d) kelainan bentuk uterus,
e) stenosis kanalis servikalis,
f) adanya AKDR,
g) sindrom asherman.
Dismenore
sekunder jarang dialami sebelum usia 25 tahun. Biasanya nyeri atau kram
mulai 2 hari sebelum menstruasi yang berlangsung selama 2 hari atau
lebih. Faktor-faktor risiko dismenore sekunder antara lain infeksi pelvis, penyakit menular seksual dan endometriosis. Keluhan
dismenore akan meningkat pada wanita yang mengalami kegemukan, kurang
nutrisi, peminum kopi, peminum alkohol, perokok, tidak aktif secara
seksual, tidak pernah melahirkan.
c) Tanda gejala dismenore sekunder (Mansjoer, 2000 : 373)
(1) Usia lebih tua, jarang sebelum usia 25 tahun
(2) Cenderung timbul setelah 2 tahun siklus haid teratur
(3) Tidak berhubungan dengan siklus paritas
(4) Nyeri sering terasa terus menerus dan tumpul
(5) Nyeri dimulai saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah
(6) Berhubungan dengan kelainan pelvik
(7) Tidak berhubungan dengan adanya ovulasi
(8) Seringkali memerlukan tindakan operatif
B. Penatalaksanaan Dismenore
1. Penanganan dismenorhea primer (Sarwono, 2004).
a) Penanganan dismenorhea secara farmakologi
1) Pemberian obat analgetik
Dewasa
ini banyak beredar obat-obat analgesik yang dapat diberikan sebagai
terapi simptomatik. Jika rasa nyerinya berat, diperlukan istirahat di
tempat tidur dan kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi
penderitaan. Obat analgesik yang sering di berikan adalah preparat
kombinasi aspirin, fenasetin, dan kafein. Obat-obatan paten yang beredar
di pasaran ialah antara lain ibu profen, naproxen, asam mefenamat.
2) Terapi hormonal
Tujuan
terapi hormonal adalah menekan ovulasi. Tindakan ini bersifat sementara
dengan maksud membuktikan bahwa gangguan benar-benar dismenore primer,
atau untuk memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan penting pada
waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian
salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
b) Penanganan dismenorhea secara non farmakologi
1) Penerangan dan nasihat
Perlu dijelaskan kepada penderita bahwa dismenore adalah gangguan yang
tidak berbahaya untuk kesehatan. Hendaknya diadakan penjelasan dan
diskusi mengenai cara hidup, pekerjaan, kegiatan, dan lingkungan
penderita.
2) Kompres hangat di daerah perut
Suhu
panas merupakan ramuan tua yaitu dapat dilakukan dengan kompres handuk
panas atau botol air panas pada perut atau punggung bawah. Mandi air
hangat juga bisa membantu.
3) Istirahat yang cukup
Istirahat
yang cukup dapat dilakukan dengan tidur siang selama 1 sampai 2 jam
sehari dan tidur malan selama 7 sampai 8 jam sehari.
4) Olahraga yang teratur
Dapat dilakukan dengan jalan pagi ataupun olahraga lain yang dilakukan secara teratur.
2. Penanganan pada dismenorrea sekunder (Smith, 2003).
a) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
fisik umumnya akan memberikan petunjuk untuk penegakan diagnosis atau
diagnosis itu sendiri pada pasien yang memiliki keluhan dismenore atau
nyeri pelvis yang sifatnya kronis. Adanya pembesaran uterus yang
asimetris atau tidak teratur menandakan suatu myoma atau tumor lainnya.
Pembesaran uterus yang simetris kadang muncul pada kasus adenomyosis dan
kadang terjadi pada kasus polyps intrauterin. Adanya nodul yang
menyebabkan rasa nyeri pada bagian posterior dan keterbatasan gerakan
uterus menandakan endometriosis. Gerakan uterus yang terbatas juga
ditemukan pada kasus luka pelvis akibat adhesion atau inflamasi. Proses
inflamasi kadang menyebabkan penebalan struktur adnexal. Penebalan ini
terlihat jelas pada pemeriksaan fisik. Namun, pada beberapa kasus nyeri
pelvis, pemeriksaan laparoskopi pada organ pelvis tetap dibutuhkan untuk
melengkapi proses diagnose.
b) Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
Tes
laboratorium pada pasien dismenore sekunder atau nyeri pelvis kronis
sangat terbatas. Hitung jenis darah dapat membantu mengevaluasi akibat
adanya pendarahan yang terus menerus. Laju enap darah dapat membantu
mengidentifikasi adanya proses inflamasi, namun tidak spesifik. Tes
radiologi umumnya terbatas untuk etiologi yang tidak berhubungan dengan
gynecology, seperti pemeriksaan pada saluran pencernaan dan saluran
kemih. Tes ultrasonografi pada pelvis memberikan manfaat yang besar
karena memberikan gambaran adanya myoma, tumor adnexal atau tumor
lainnya, dan lokasi pemakaian IUD.
c) Manajemen terapi
Pengobatan
untuk dismenore sekunder maupun nyeri pelvis kronis diarahkan untuk
mengurangi dan menghilangkan faktor penyebabnya. Meskipun penggunaan
analgetik, antispasmodik, dan pil KB dapat memberikan efek yang
bermanfaat namun sifatnya hanya sementara. Hanya terapi spesifik yang
bertujuan untuk menghilangkan penyebab yang pada akhirnya akan
memberikan keberhasilan terapi. Terapi yang bersifat spesifik ini dapat
berupa dari penghentian penggunaan IUD sampai dengan terapi menggunakan
anti estrogen pada kasus endometriosis. Dapat juga terapi dengan
pemindahan polip sampai dengan hysterectomy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar