Melahirkan dalam air, cepat dan tanpa rasa sakit
|
Ketika memutuskan untuk menjalani persalinan dengan metode water birth, Tanya Djohan tidak punya gambaran sama sekali mengenai bagaimana rasanya melahirkan.
Setelah
menikah, saya dan suami harus menunggu selama empat tahun untuk dapat
memperoleh momongan. Kesulitan kehamilan ini disebabkan karena ada
kista dalam rahim saya. Awalnya kista tersebut berdiameter 2,4 cm,
lalu berkembang menjadi 3,8 cm selama empat tahun.
Di
tahun 2006, ayah menyarankan saya untuk menjalani operasi
pengangkatan kista. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada saat
saya melakukan pengecekan kista untuk persiapan operasi, ternyata
dokter menemukan bahwa saya sudah hamil tujuh minggu. Akhirnya rencana
operasi pun dibatalkan, dan saya berkonsentrasi penuh pada kehamilan
saya.
Harus Diet untuk Mencairkan Darah
Setelah
lega karena berhasil hamil, saya kembali mendapat masalah baru.
Dokter menemukan bahwa kekentalan darah saya tinggi, sehingga jika
dibiarkan, darah tidak dapat masuk ke dalam plasenta, dan janin dalam
kandungan pun tidak akan mendapat suplai makanan sehingga mengancam
kehidupannya.
Untuk mengatasi hal itu, saya harus menghindari makan makanan seperti seafood,
telur asin, makanan bersantan, kulit dan ayam broiler. Saya hanya
boleh makan daging, sayur-sayuran, dan ikan air tawar agar kadar
kekentalan darah saya dapat turun. Saya tak masalah pantang makan
beberapa jenis makanan, meski kadang-kadang saya rindu juga makan seafood,
makanan kegemaran saya. Setiap hari, saya juga harus makan tomat,
karena menurut dokter, jus tomat dapat menurunkan kadar kolesterol
yang tinggi. Gel berwarna kuning yang menyelubungi biji tomat juga
dapat menjaga sel-sel dan partikel kecil yang disimpan dalam plasma
darah dan menghambat pembekuan darah. Pembekuan darah dapat
menyebabkan kematian pada janin karena darah jadi tidak dapat
mengalirkan makanan untuk janin.
Bersalin di Dalam Air
Pada
malam tanggal 8 Februari 2007, saya keluar vlek. Saya pun masuk RS
Sam Marie di bilangan Jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Setelah mengecek
kondisi saya, dokter menyatakan saya sudah pembukaan dua. Setelah
menjalani pemeriksaan CTG (Cardiotocography, pemeriksaan untuk
mengecek detak jantung janin di dalam kandungan, jarak kontraksi, dan
lainnya yang berhubungan dengan kondisi sebelum persalinan, red),
dokter memutuskan untuk melakukan observasi dan melihat perkembangan
kondisi saya selama empat jam ke depan.
Dokter
mengatakan saya akan melahirkan sekitar pukul 5 atau 6 pagi esok
harinya. Tapi ternyata, itu hanyalah taktik dokter supaya saya tidak
stres menunggu-nunggu saat persalinan. Saat itu saya memang panik,
karena ini adalah kehamilan pertama saya. Beberapa jam kemudian, saya
mulai merasakan kontraksi-kontraksi kecil. Dokter pun memberikan
pilihan pada saya: jalan-jalan agar proses persalinan terjadi lebih
cepat, atau tidur saja dan berisitirahat. Karena ingin cepat
melahirkan, saya pun memilih untuk jalan-jalan di sekitar koridor
rumah sakit ditemani oleh suami saya, Hadidjasa.
Memilih Water Birth
Salah satu dokter kenalan saya pernah menyarankan saya untuk melahirkan dengan metode water birth
saja, jauh sebelum saya tahu mengenai metode persalinan tersebut.
Menurut beliau, rasa sakit yang ditimbulkan dari persalinan di dalam air
jauh lebih sedikit daripada proses persalinan lain.
Berdasarkan
saran tersebut dan pertimbangan bahwa belum banyak orang yang
melakukannya pada saat itu, saya akhirnya memutuskan untuk mencoba
proses persalinan dalam air. Setelah beberapa kali kunjungan kehamilan
di RS Sam Marie, saya lalu mengutarakan keinginan saya itu kepada Dr.
Otamar Samsudin yang menangani kehamilan saya sejak awal dan
kebetulan juga pencipta metode water birth di RS yang sama. Syukurlah beliau mendukung.
Persalinan Yang Cepat
Memasuki
tanggal 9 Februari 2007, tepatnya pukul 24.00, saya merasakan
kontraksi mulai sering terjadi dalam waktu yang berdekatan, sehingga
saya akhirnya harus turun ke ruang bersalin sekitar pukul 01.32 dini
hari. Kolam pun segera disiapkan untuk proses persalinan. Di ruang
bersalin, saya merasakan kontraksi yang sangat hebat dan sakit sekali.
Saya lalu masuk ke dalam kolam pada pukul 01.42.
Setelah
berada di dalam kolam, sakitnya kontraksi berangsur –angsur hilang,
tetapi saat itu saya merasa seperti kekurangan oksigen dan ingin
pingsan. Saya sampai sempat mengatakan pada perawat yang membantu saya
bahwa saya tidak sanggup lagi. Perawat terus memberi saya semangat
dan mengatakan bahwa saya tidak boleh merasa tidak sanggup. Saya lalu
diberi segelas teh hangat agar lebih bertenaga dan tetap terjaga
sampai proses persalinan selesai.
Selama
tiga menit saya berada di dalam kolam menjelang proses persalinan.
Air hangat yang diisikan ke dalam kolam semakin tinggi sampai mencapai
batas perut saya, membuat saya lebih relaks. Pukul 01.54 dokter mulai
melakukan observasi dan menyuruh saya mengejan sebanyak 5 kali. Tiga
menit kemudian, dokter memberitahu bahwa kepala bayi sudah kelihatan,
dan saya tinggal mengejan sedikit lagi untuk dapat mengeluarkannya.
Pukul
02.04, kepala bayi sudah keluar sempurna, dan dokter pun memberi saya
aba-aba untuk mengejan secara teratur. Pukul 02.07, bayi laki-laki
kami, Rayzard Barransya, lahir ke dunia. Prosesnya begitu cepat,
sampai-sampai saya tidak merasakan sakitnya mengeluarkan seorang bayi
dari rahim saya. Saya malah sempat tidak percaya ketika dokter
menyodorkan Rayzard agar dapat saya gendong. Saya pikir hanya di
film-film saja wanita yang baru melahirkan diizinkan untuk menggendong
bayinya. Ternyata itu juga terjadi pada saya, dan saya merasa sangat
lega dan bahagia.
Sampai
saat ini, jika ditanya seperti apa sakitnya melahirkan, saya akan
menjawab tidak tahu. Saya takjub dengan proses persalinan dalam air
yang saya jalani, yang sama sekali tidak mendatangkan rasa sakit.
Rayzard yang lahir dengan berat 2,9 kg dan panjang 49 cm pun kini
senang bermain di dalam air. Di samping semua itu, saya bersyukur
karena berdasarkan hasil pemeriksaan USG terakhir, kista yang semula
saya derita ternyata sudah lenyap tak berbekas.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar