Sabtu, 05 November 2011

TUBERCOLOSIS-PARUT BC

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB paru dengan kematian sekitar 140.000 orang. Secara kasar diperkirakan dalam setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TB Paru BTA positif dan penyakit TB Paru ini menyerang sebagian kelompok usia yang merupakan sumber daya manusia yang penting dalam pembangunan bangsa (Depkes RI, 2004).
Hasil penelitian Sudira (2005), menunjukan bahwa TB paru adalah sebagai penyebab kematian ketiga terbesar sesudah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan serta menduduki urutan pertama pada kelompok penyakit infeksi.
Program pemberantasan penyakit TB paru bertujuan untuk menurunkan insiden dan prevalensi penyakit/penderita TB paru dengan jalan memutuskan rantai penularan. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan penerapan teknologi kesehatan secara tepat oleh petugas-petugas kesehatan yang didukung peran serta aktif masyarakat. Peran serta masyarakat dapat dicapai apabila masyarakat memahami tindakan pencegahan yang perlu mereka lakukan di dalam penanggulangan TB paru. Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyakit TB paru perlu dilakukan upaya penyuluhan.
Selain dalam bentuk penyuluhan pemerintah pusat dalam hal ini telah berupaya keras memenuhi sarana dan prasarana seperti sarana diagnosis, sarana pengobatan dan pengawasan serta pengendalian pengobatan dalam penanggulangan TB paru. Sejak tahun 1995/1996 setelah dilakukan evaluasi bersama WHO, Indonesia mulai melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short) melalui pola operasional baru dengan pembentukan Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), meskipun demikian cakupan pengobatan masih rendah salah satu alasan masih rendahnya cakupan pengobatan TB adalah ketidak teraturan pada saat minum obat (Depkes RI, 2000).
Menurut Ellis et all (2000) ketidakteraturan waktu minum obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, pekerjaan, usia, motivasi dan komunikasi atau informasi.
Tambayong (2002) menyimpulkan bahwa faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan diantaranya adalah kurang pahamnya tujuan pengobatan dan tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya.
Fenomena yang ada di Propinsi Lampung, didapatkan angka kekambuhan penderita TB masih cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat bahwa dari 100.000 penduduk, 161 orang diantaranya diperkirakan menderita TB paru (Kompas, 2005) dengan angka kekambuhan 34,24%. Di Kotamadya Metro sendiri pada tahun 2003 – 2006 ditemukan jumlah penderita TB paru sebanyak 161 orang, angka kekambuhan mencapai 11,73% (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2006).
II. Pengobatan TBC
1. Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan penyakit TB adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan.
2. Prinsip Pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari bebrapa jenis, dalam jumlah cukup dosis dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan. Supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal. Sebaiknya pada saat perut kosong. Bila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan). Kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisien) untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan atau inter miten.
a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita minum obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman resisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
3. Panduan OAT di Indonesia
Di Indonesia paduan OAT yang disediakan oleh program ada 3 macam, yaitu kategori 1, kategori 2, kategori 3, dan sisipan. Obat diberikan secara gratis untuk memudahkan pemberian dan menjamin kelangsungan pengobatan, obat ini disediakan dalam bentuk blister. 1 paket untuk penderita dalam 1 masa kekambuhan.
a. Kategori 1 (2 HRZE / 4 H3R3)
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita TB paru BTA positif.
2) Penderita TB paru BTA negatif Rontgen Positif yang “sakit berat”.
3) Penderita TB ekstra paru berat.
Tabel 2.1.
Paduan OAT Kategori 1
Tahap pengobatan
Lamanya Pengobatan
Dosis per hari / kali
Jumlah hari/kali menelan obat
Tablet Isoniasid @ 300 mg
Tablet Rifampisin @ 450 mg
Tablet Pirasinamid @ 500 mg
Tablet Etambutol @ 250 mg
Tahap Intensif
(dosis harian)
2 bulan
1
1
3
3
60
Tahap Lanjutan
(dosis 3 x seminggu)
4 bulan
2
1
-
-
54
b. Kategori 2 (2 HRZES / HRZE / 5H3R3E3)
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita kambuh (relaps)
2) Penderita gagal (failure)
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
Tabel 2.2
Paduan OAT Kategori 2
Tahap pengobatan
Lamanya Pengobatan
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Tablet Rifam-pisin @ 450 mg
Tablet Pirasin-amid
@ 500 mg
Tablet Etambutol
Streptomisin Injeksi
Jumlah hari/kali menelan obat
@ 250 mg
@ 500 mg
Tahap Intensif
(dosis harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75 gr
-
60
30
Tahap Lanjutan
(dosis 3 x seminggu)
5 bulan
2
1
-
1
2
-
66
c. Kategori 3 (2 HRZ / 4H3R3)
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan.
2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe, TB kulit.
Tabel 2.3
Paduan OAT Kategori 3
Tahap Pengobatan
Lamanya Pengobatan
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Tablet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet Pirasinamid
@ 500 mg
Jumlah hari/kali menelan obat
Tahap Intensif
(dosis harian)
1 bulan
1
3
3
30
d. OAT sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih positif diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Tabel 2.4.
Paduan OAT Sisipan
Tahap pengobatan
Lamanya Pengobatan
Dosis per hari / kali
Jumlah hari/kali menelan obat
Tablet Isoniasid @ 300 mg
Tablet Rifampisin @ 450 mg
Tablet Pirasinamid @ 500 mg
Tablet Etambutol @ 250 mg
Tahap Intensif
(dosis harian)
1 bulan
1
1
3
3
30
e. Pemantauan Kemajuan Hasil Pengobatan
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan dahak ulang secara mikroskopik.
1) Akhir tahap intensif
Seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita dengan kategori 1 dan kategori 3 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan penderita dengan kategori 2
2) Sebulan sebelum akhir pengobatan
Seminggu sebelum akhir bulan ke-5 dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan dengan kategori-2
3) Akhir pengobatan
Seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pengobatan dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan dengan kategori-2.
4. Hasil pengobatan
Hasil pengobatan seseorang penderita dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah, defaulter (lalai) DO dan gagal.
a. Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak paling sedikit 2 kali berturut-turut negatif. Salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan pada akhir pengobatan.
b. Pengobatan lengkap
Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak. Khususnya pada akhir pengobatan.
c. Meninggal
Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun.
d. Pindah
Adalah penderita yang pindah berobat ke Kabupaten/kota lain.
e. Defaulter atau lalai
Adalah penderita yang tidak mengambil obat lebih dari 2 bulan dalam masa antara 2 – 5 bulan pengobatan tetapi BTA negatif sebelum berhenti berobat.
f. Drop Out
Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai/menghentikan pengobatan sebelum waktunya.
g. Gagal
Adalah penderita BTA positif pada akhir fase awal setelah pengobatan dengan sisipan, pada akhir bulan ke-5 (kategori 1), atau bulan ke-7 (kategori 2)
III. Penatalaksanaan Tuberkulosis
1. Penatalaksanaan Medis
a. Tujuan
1) penyembuhan penderita
2) mencegah kematian
3) mencegah kekambuhan
4) menurunkan tingkat penularan
b. Jenis dan dosis OAT
1) Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam bebarapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB., sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
2) Rifampisin®
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB. diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
3) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
4) Steptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB. sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75
gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0, 50 gr/hari.
5) Etambutul (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB. sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
c. Prinsip Pengobatan
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directy Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Jika pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konvenrsi) pada akhir pengobatan intensif.
2) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
e. Pencegahan Penularan yaitu dengan cara :
1) Penderita menutup mulut bila batuk atau bersin.
2) Jangan membuang dahak sembarang tempat tetapi menampung di wadah khusus yang telah diberi pasir kemudian dikubur.
3) Pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil TB virulen.
4) Isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan cemoterapi.
5) Ventilasi rumah memenuhi syarat 15% X luas lantai sehingga pertukaran udara dalam ruang menjadi baik.
6) Letak jendela memungkinkan matahari masuk ke dalam ruang sehingga kuman-kuman yang mungkin ada dalam lantai menjadi mati.
f. Kontrol
1) Pemeriksaan ulang dahak hingga BTA (-) 3 x berturut-turut
2) Pemeriksaan fisik; adanya kenaikan BB, hilangnya gejala-gejala (berkeringat, anemia, batuk berdahak).
IV. Tuberculosis Paru (TBC)
1. Pengertian
Tubercolosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycrobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TBC (Depkes RI, 2000).
Dari kedua definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa TB paru adalah penyakit infeksi yang menular yang disebabkan oleh kuman TBC.
2. Penyebab
Kuman penyebab TB paru adalah Mycrobacterium Tuberculosis yaitu kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu di sebut juga sebagai basil tahan asam (BTA). Kuman dapat mati dengan sinar Matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Kuman ini juga bersifat aerob (Suriadi dan Rita, 2001).
3. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet terhirup ke dalam pernafasan (Depkes RI, 2000).
4. Patofisiologi
Masuknya kuman Mycrobacterium Tuberculosis ke dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit infeksi di pengaruhi oleh Virulensi dan banyaknya basil tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia.Setelah menghirup basil tuberkulosis hidup di dalam paru-paru, maka menjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas yang disebut fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar ke kelenjar limfe regional melalui saluran getah bening menuju ke kelenjar regional sehingga terbentuk komplek primer dan terus mengadakan reaksi eksudasi terjadi sekitar 2 – 10 minggu (pasca infeksi).
5. Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu:
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah di obati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kambuh
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan
Adapun penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten lainnya. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan atau pindah (form TB 09).
d. Kasus berobat setelah lalai
Adalah penderita BTA positif yang telah menjadi BTA negatif dan tidak menelan OAT selama sedikitnya dua bulan antara kedua dan kelima pengobatan dan kini datang lagi untuk berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA negatif.
6. Gejala-gejala Tuberkulosis
Keluhan yang dirasakan penderita TB paru dapat bermacam-macam atau tanpa keluhan sama sekali, keluhan yang banyak adalah:
Demam biasanya subfibris menyerupai demam influenza sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh.
Batuk gejala ini banyak ditemukan pada penderita TB paru. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperuntukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif). Kemudian setelah timbul peradangan menjadi produtif menghasilkan sputum. Keadaan lebih lanjut adalah berupa batuk darah (Hemaptoe) karena pembuluh darah pecah.
7. Komplikasi
Komplikasi berat sering terjadi pada penderita stadium lanjut
a. Hemoptis berat (peredaran dari saluran nafas bawah)
b. Kolaps dari lobus akibat dari retraksi bronkial
c. Bronki ektasis dan fibrosis pada paru.
d. Pneumo thorax spontan: Kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
8. Pemeriksaan diagnostik
Jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa tuberkulosis adalah dengan cara yaitu:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan sputum BTA
c. Foto torax
d. Laboratorium darah rutin
e. Tes tuberkulin
9. Pencegahan Penyakit TB paru
Penyakit TB paru dapat dicegah penularannya dengan cara:
a. Menutup mulut bila batuk dan bersin bagi penderita TB paru
b. Tidak membuang ludah atau dahak pada sembarang tempat, tetapi pada wadah tertutup (kaleng diisi larutan lusol) kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dengan tanah.
c. Berikan imunisasi BCG pada bayi, agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit Tubercolosis.
KESIMPULAN DAN SARAN
I. Kesimpulan
1. Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari bebrapa jenis, dalam jumlah cukup dosis dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan.
2. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan atau inter miten
II. Saran
1. Diharapkan bagi petugas kesehatan khususnya petugas pengawas minum obat agar lebih memperhatikan pola minum obat pada penderita TB dengan harapan agar penderita dapat lebih cepat sembuh.
2. Bagi penderita TB khususnya agar dapat dengan aktif mengikuti pengobatan yang dilaksanakan di Puskesmas maupun klinik kesehatan salah satunya adalah dengan mematuhi aturan minum obat TB dengan harapan dapat mempercepat proses penyembuhan penyakit TB yang diderita.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk, Kapita Selekta Kedoteraan; Edisi Ketiga. 2000.
Depkes RI, Promosi Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 1999.
------------, Pengobatan yang Rasional, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2000.
-------------, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2002.
Ellis et.al, Komunikasi Interpersonal dalam Keperawatan, EGC. Jakarta. 2000.
http://www.depkes.co.id, 2004.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/27/daerah/2321247.htm, Lampung, Provinsi dengan Penderita TBC Terbanyak. 2005.
http://www.members.tripod.com/farmasi_UGM/mf1.htm.7k, Hasil Penelitian Ikawati Tentang Tuberculosis Paru. 2005.
Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam: Jilid II, Balai Pustaka, FKUI. Jakarta, 1990.
Sudira, I Wayan, Peranan Penyuluhan Terhadap Perubahan Pengetahuan tentang Penyakit TB Paru pada Penderita TB. Paru di Puskesmas Sendang Agung. Poltekkes Tanjung Karang Jurusan Keperawatan. Tidak diterbitkan. Tanjung Karang. 2005.
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Potofisiologi, Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. 1995.
Tambayong, Farmakologi untuk Keperawatan, Widya Medika, Jakarta. 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar