BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini, Indonesia mengalami masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan; kurangnya persediaan pangan; kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi); kurangnya pengetahuan masalah tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan; dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan (Almatsier, 2004).
Masalah gizi merupakan salah satu penentu utama kualitas Sumber Daya Manusia. Gizi yang tidak seimbang, baik itu kekurangan maupun kelebihan, akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Berbagai penelitian menunjukan bahwa gangguan gizi kurang pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun mental, yang selanjutnya akan menghambat prestasi belajar. Akibat lainnya adalah penurunan daya tahan, sehingga kejadian infeksi meningkat (Depkes RI, 1998). Di samping itu kekurangan gizi juga akan menurunkan produktifitas kerja dan akan menyebabkan hilangnya masa hidup sehat balita. Dampak yang lebih serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian (Depkes RI 1998).
Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan yang saat ini terjadi masalah utama di Indonesia. Program perbaikan gizi yang dilaksanakan pemerintah sejak pelita I sampai dengan pelita VI telah berhasil meningkatkan status gizi dan menurunkan prevalensi KEP. Data survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 1989, 1992 dan 1995 menunjukan bahwa prevalensi KEP telah berhasil diturunkan secara bermakna. Prevalensi KEP total yang ditunjukan dengan berat badan/umur <80% baku median WHO NCHS (BB/U) telah turun dari 47,8%
pada Tahun 1989 menjadi 41,7% pada Tahun 1992 dan 35% pada Tahun 1995. Akan letapi prevalensi KEP nyata (berat badan <70% baku median WHO-NCHS) belum terlihat turun, bahkan ada kecenderungan meningkat. Dimana pada tahun 1989 prevalensi KEP nyata 12,2% turun menjadi 11,8% pada tahun 1992, tetapi meningkat lagi menjadi 14,6% pada tahun 1995 (Depkes RI, 1998).
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan penyakit defisiensi gizi yang paling umum dijumpai di dunia pada tingkat sedang dan berat. Di beberapa negera, empat dari lima anak kecil mengalami gizi kurang pada beberapa tingkatan. Pada golongan anak yang berstatus gizi kurang memiliki risiko kematian yang tinggi dari pada anak yang berstatus gizi yang lebih baik. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan konsumsi sesuai dengan umurnya (R. Waba, 2000).
Dampak yang lebih serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan, tinggi angka kesakitan dan terjadinya percepatan kematian (premature death). Pada usia balita sekitar 7,5 anak (36%) menderita KEP atau mengalami penghambatan pertumbuhan yang ditunjukan oleh berat badan lebih rendah dari standar menurut usia (R. Waba, 2000).
Dari hasil penelitian terhadap tingkat kecerdasan (IQ) anak-anak umur 5 – 15 tahun yang pernah mengalami gizi kurang dini, ditemukan bahwa perkembangan intelektual serta perkembangan fisiknya banyak dipengaruhi oleh status gizinya selama masa prasekolah. Nilai yang paling rendah dijumpai pada golongan anak-anak yang menderita gizi kurang dari umur 2 – 4 tahun dengan tanda-tanda klinis kekurangan vitamin A. sebaliknya nilai yang paling tinggi ditemukan pada anak-anak yang tidak pernah mengalami gizi kurang (Suhardjo, 1992). Selain itu dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan Intelegensi Quosient (IQ). Setiap anak yag berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin, dimana anak yang IQ-nya kurang dari 100 adalah kurang normal; anak yang IQ-nya 100 anak normal dan anak yang IQ-nya lebih dari 100 disebut supernormal. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta anak bergizi buruk,. Maka berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar
22 juta poin. Sementara itu prevalensi BBLR pada saat ini diperkirakan 7 – 14% (yaitu sekitar 459.200 – 900.000 bayi) (Kebijakan Gizi, 2002).
Diketahui bahwa 38,4 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, 50% dari total rumah tangga mengkonsumsi makanan lain yang kurang dari kebutuhan sehari-hari. Menurut data sensus 2000 prevalensi KEP total pada balita mencapai 24,66% (BB<80% median BB/U) yang terdiri dari 7,53% gizi buruk dan 17.13% gizi kurang. Pada tahun 2005 jumlah kasus gizi kurang yang dilaporkan adalah 76.178 kasus, 0,38% merupakan kasus gizi buruk. Jumlah kasus meninggal sebanyak 293 kasus (Depkes RI, 2007).
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2005 menunjukan bahwa prosentase status gizi kurang sebesar 10,10% cenderung turun jika dibandingkan dengan tahun 2004 (10,34%), tahun 2003 (11,47%) dan tahun 2002 (12,25%), sedangkan status gizi buruk pada tahun 2005 sebesar 1.95% cenderung naik bila dibandingkan dengan tahun 2004 (1,82%), tahun 2003 (1,12%) dan tahun 2002 (1,43%), status gizi baik tahun 2005 sebesar 85.49% cenderung berfluktuatif jika dibandingkan dengan tahun 2004 (84.07%), tahun 2003 (84.99%) dan tahun 2002 (83.63%) dan status gizi lebih tahun 2005 sebesar 2.46% cenderung berfluktuatif naik turun jika dibandingkan dengan tahun 2004 (2.33%), tahun 2003 (2.42%) dan tahun 2002 (2.69%) (Dinkes Provinsi Lampung, 2006).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran kebutuhan gizi pada anak terhadap perkembangan otak.
2. Untuk mengetahui gambaran kebutuhan gizi pada anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gizi dan Kekurangan Gizi
1. Pengertian Gizi
Ilmu gizi (Nutrition Science) adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Kata gizi berasal dari bahasa Arab ghidza, yang artinya “makanan”. Di satu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan di sisi lain dengan tubuh manusia (Almatsier, 2001).
Gizi merupakan jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh seseorang setara dengan yang dibutuhkan tubuh tersebut baik dalam jumlah maupun jenisnya (Depkes RI, 1999).
Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang baik dalam jumlah maupun jenisnya, maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam berupa empat sehat lima sempurna, kekurangan zat gizi pada besi jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan lain, sehingga diperoleh masukan zat gizi besi yang seimbang.
Bahan makanan masukan seimbang yang dimaksud tersebut seperti bahan makanan yang berasal dari karbohidrat, protein (berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan), vitamin dan mineral.
2. Pengertian KEP
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita (Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002).
KEP merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari, sehingga tubuh tidak mencapai angka kecukupan gizi yang berlangsung lama (Arisman MB, 2004).
3. Penyebab KEP
Menurut Arisman MB (2004) terdapat empat faktor penyebab yang melatarbelakangi KEP, yaitu; masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketidaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan anggota keluarga yang sedang sakit. Hal lain yang juga berpotensi menumbuh-suburkan KEP di kalangan bayi dan anak adalah penurunan minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara menyapih. Selain itu, distribusi pangan dalam keluarga terkesan masih timpang.
4. Akibat Kekurangan Energi
Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Akibat berat pada bayi dinamakan marasmus dan bila disertai kekurangan protein disebut kwashiorkor (Almatsier, Sunita, 2001).
5. Akibat Kekurangan Protein
Kekurangan protein banyak terdapat banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Istilah kwashiorkor pertama diperkenalkan oleh Dr. Cecily William pada tahun 1933 ketika ia menemukan keadaan ini di Ghana-Afrika. Dalam bahasa Ghana, kwashiorkor artinya penyakit yang diperoleh anak pertama, bila anak kedua sedang ditunggu kelahirannya. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan Energy-Protein Malnutrition (EPM) atau Kurang Energi Protein (KEP) (Almatsier, Sunita, 2001).
6. Status Gizi Balita
Masa lima tahun pertama merupakan terbentuknya dasar-dasar kepribadian manusia, kernampuan penginderaan, berfikir, keterampilan berbahasa dan berbicara, bertingkah laku sosial dan lain lain, Salah satu faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang optimal seorang anak adalah faktor gizi. Kekurangan gizi pada makanan menyebabkan pertumbuhan anak terganggu yang akhimya akan mempengaruhi perkembangan anak secara keseluruhan (DEPKES, 1993).
Keadaan gizi merupakan nilai dan mutu sumber daya manusia yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, mental sosial yang berimplikasi antara, lain pada berat badan, tinggi badan, kecerdasan dan kemampuan kognitif Status gizi yang merupakan salah satu indikator status kesehatan. Pengukuran antropometri merupakan indikator yang paling lugs digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat (Suhardjo & Hadi R, 1990).
Dalam penelitian gizi indikator yang sering digunakan adalah dengan mengukur antropometri. Ukuran antropometri im antara lain parameter berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA) pada penggunaanya dibandingkan dengan parameter lain misalnya umur. Sehingga untuk mengukur status gizi yang sering digunakan adalah berdasarkan pada buku WHO NCHS (World
Health Organization National Center For Health Statistics) dimana salah satunya adalah sebagai berikut:
Indeks berat badan menurut tinggi badan(BB/TB)
a. Baik= > 90%
b. Sedang = 80 % - 89
c. Kurang = 70 % - 79,9 %
d. Buruk = < 70 %
Indeks berat badan merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak) yang lebih karena masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi. Penurunan nafsu makan ( Suhardjo & Hadi R, 1990)
Dalam penelitian status gizi, WHO (1979) menganjurkan penggunaan gabungan tiga jenis indeks yaitu berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Salah satu. fungsi dari pengukuran berat badan terhadap umur atau berat badan terhadap tinggi badan dapat menggambarkan keadaan gizi pada waktu. sekarang, sedangkan pengukuran tinggi badan terhadap umur menggambarkan keadaan gizi anak pada masa lalu (Reksodikusumo, 1989).
Menurut Subardjo dan Hadi R, (1990), penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian.
Kelebihan indeks ini yaitu:
1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum
2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek dan dapat mendeteksi kegemukan.
Sedangkan kelemahan dari indeks BB/U ini adalah :
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat odema
2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok anak dibawah usia lima bulan (balita).
3. Sering terjadi dalam kesalahan pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan
7. Penilaian Status Gizi
Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada periode kehidupan lain. Pemeriksaan yang perlu lebih diperhatikan tentu saja bergantung pada bentuk kelainan yang bertalian dengan kejadian penyakit tertentu. Kurang kalori protein, misalkan, lazim menjangkiti anak. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap tanda dan gejala ke arah sana termasuk pula kelainan lain yang menyertainya, perlu dipertajam (Arisman MB, 2004).
Pemeriksaan klinis, diarahkan untuk mencari kemungkinan adanya bintik bitot, xerosis konjungtiva, anemia, pembesaran kelenjar parotis, kheilosis angular, flurosis, karies, gondiok, serta hepato dan splenomegali.
Penilaian antropometris, yang penting dilakukan ialah penimbangan berat dan pengukuran tinggi badan, lingkar lengan, dan lipatan kulit triseps. Pemeriksaan ini penting, terutama pada anak prasekolah yang berkelas ekonomi dan sosial rendah. pengamatan anak usia sekolah dipusatkan terutama pada percepatan tumbuh. Uji pertumbuhan ada golongan usia ini setidaknya diselanggarakan setahun sekali, karena laju pertumbuhan pada fase ini relatif lambat. Sebagai patokan, pertambahan berat anak usia 5-10 tahun berkisar sampai 10%-nya, sementara tinggi badan bertambah sekitar 2 cm setahun.
Uji biokimiawi, yang penting ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, serta pemeriksaan asupan darah untuk malaria. Pemeriksaan tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja.
8. Pemantauan pertumbuhan
Pemantauan anak dapat diamati secara cermat dengan menggunakan “kartu menuju sehat” (KMS) balita. Kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi (Arisman, MB, 2004).
KMS adalah alat untuk mencatat dan mengamati perkembangan kesehatan anak yang mudah dilakukan oleh para ibu. Dengan membaca garis perkembangan
berat badan anak dari bulan ke bulan pada KMS, seorang ibu dapat menilai dan berbuat sesuatu untuk berusaha memperbaiki dan meningkatkan perkembangan kesehatan anaknya (Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002).
B. Faktor-faktor penyebab terjadinya KEP
1. Sosial-Ekonomi
Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur penyimpanan hasil produksi pascapanen yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat rusak. Bencana alam, perang atau migrasi paksa telah terbukti menganggu distribusi pangan (Arisman MB, 2004)
Menurut Supariasa, I Dewa Nyoman (2002) data sosial yang perlu dipertim-bangkan adalah:
a. Keadaan penduduk di suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi seks, dan geo-grafis)
b. Keadaan keluarga (besarnya, hubungan, jarak kelahiran)
c. Pendidikan
a. Tingkat pendidikan orangtua
b. Keberadaan buku-buku
c. Usia anak sekolah
d. Perumahan (tipe, lantai, atap, dinding, listrik, ventilasi, perabotan, jumlah kamar, pemilikan dan lain-lain)
e. Dapur (bangunan, lokasi, kompor, bahan bakar, alat masak, pembuangan sampah)
f. Penyimpanan makanan (ukuran, isi, penutup serangga)
g. Air (sumber, jarak dari rumah)
h. Kakus (tipe jika ada, keadaannya)
Keadaan ekonomi yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Pekerjaan (pekerjaan utama, misalnya pekerjaan pertanian, dan pekerjaan tamba-han, misalnya pekerja musiman)
b. Pendapatkan keluarga (gaji, industri rumah tangga, pertanian pangan/non pangan, utang)
c. Kekayaan yang terlihat seperti tanah, jumlah ternak, perahu, mesin jahit, kenda-raan, radio, TV dan lain-lain
2. Biologi
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP, antara lain, baik sebe-lum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi protein. Seorang ibu yang mengalami KEP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahir-kan bayi berberat badan rendah. tanpa ketersediaan pangan yang cukup, bayi KEP tersebut tidak akan mampu mengejar ketinggalannya, baik kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.
a. Infeksi
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KEP. Penyakit diare, campak dan infeksi saluran nafas yang kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah ke-hilangan zat-zat gizi (Arisman MB, 2004).
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab-akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk kea-daan gizi yang jekek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umum-nya terkait masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan (Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002).
Penelitian yang dilakukan beberapa ahli ditemukan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
Mekanisme patologisna dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu:
1) Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nasu makan, menurunnya absorb-si, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.
2) Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan perdarahan yang terus menerus.
3) Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (hu-man host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
b. Diet rendah protein
Kurang energi protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja, terutama bayi dan anak yang tengah tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurng dari 1 tahun, sementara kwasiorkor cenderung menye-rang setelah berusia 18 bulan. Jika dialami oleh anak yang berumur lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan karena mereka pada umumnya telah pandai “mencari makan” sendiri. Remaja, dewasa muda (utamanya lelaki), wanita tidak hamil dan tidak menyusui, memiliki angka prevalensi rendah.
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KEP. Penyakit diare, campak dan infeksi saluran nafas yang kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah ke-hilangan zat-zat gizi.
3. Lingkungan
Penyalahgunaan anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran lansia, kecanduan alkohol dan obat, pada akhirnya berujung pula sebagai KEP. Selain itu, budaya yang menabukan makanan tertentu (terutama terhadap balita serta ibu hamil dan menyusui) dan mengkonsumsi bahan bukan pangan akan memicu sekaligus melestarikan KEP (Arisman MB, 2004).
Menurut Supariasa I Dewa Nyoman (2002) faktor lingkungan dapat dibagi dalam tiga unsur utama, yaitu:
a. Lingkungan Fisik, seperti cuaca atau iklim, tanah dan air
b. Lingkungan biologis
1) Kependudukan: kepadatan penduduk
2) Tumbuh-tumbuhan: sumber makanan yang dapat mempengaruhi sumber penyakit
3) Hewan: sumber makanan, juga dapat sebagai tempat munculnya sumber penyakit
c. Lingkungan sosial ekonomi
1) Pekerjaan: yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia
2) Urbanisasi: kepadatan penduduk, adanya ketegangan dan tekanan sosial
3) Perkembangan ekonomi: usaha koperasi di bidan kesehatan dan pendidikan
Golongan ekonomi yang rendah lebih banyak menderita gizi kurang dibandingkan dengan golongan ekonomi menengah ke atas. Sebaliknya, pada golongan yang terakhir insidensi penyakit kardiovasluler cenderung meningkat.
Bencana alam: peperangan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Masalah gizi merupakan salah satu penentu utama kualitas Sumber Daya Manusia. Gizi yang tidak seimbang, baik itu kekurangan maupun kelebihan, akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan.
2. Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan yang saat ini terjadi masalah utama di Indonesia.
3. Dampak serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan, tinggi angka kesakitan dan terjadinya percepatan kematian (premature death). Pada usia balita sekitar 7,5 anak (36%) menderita KEP atau mengalami penghambatan pertumbuhan yang ditunjukan oleh berat badan lebih rendah dari standar menurut usia
B. Saran
1. Bagi orangtua agar dapat dapat meningkatkan dan selalu memperhatikan kebutuhan gizi pada anak, dengan harapan agar dapat meningkatkan tumbuh kembangnya secara optimal
2. Bagi pihak terkait, dapat terus mengupayakan pendidikan kesehatan berupa penyuluhan kepada masyarakat khususnya orangtua yang memiliki anak, agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan sebagaimana mestinya.
REFERENSI
Almatsier, (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Arisman, MB, (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC. Jakarta.
Depkes RI, (1992), Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, Depkes RI; Dir-jen PKM & Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. Jakarta.
-------------, (1993), Pedoman Kerja Puskesmas, Jilid I & II Jakarta.
-------------, (1994), Pedoman Teknis Pembinaan Kader UPGK, Jakarta.
-------------, (1995), Pedoman Kerja Tenaga Gizi Puskesmas, Depkes RI; Dirjen PKM. Jakarta.
-------------, (1999), Pedoman Kerja Tenaga Gizi Puskesmas, Depkes RI; Dirjen PKM. Jakarta.
-------------, 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Supariasa, I Dewa Nyoman, (2001). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.
Pada saat ini, Indonesia mengalami masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan; kurangnya persediaan pangan; kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi); kurangnya pengetahuan masalah tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan; dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan (Almatsier, 2004).
Masalah gizi merupakan salah satu penentu utama kualitas Sumber Daya Manusia. Gizi yang tidak seimbang, baik itu kekurangan maupun kelebihan, akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Berbagai penelitian menunjukan bahwa gangguan gizi kurang pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun mental, yang selanjutnya akan menghambat prestasi belajar. Akibat lainnya adalah penurunan daya tahan, sehingga kejadian infeksi meningkat (Depkes RI, 1998). Di samping itu kekurangan gizi juga akan menurunkan produktifitas kerja dan akan menyebabkan hilangnya masa hidup sehat balita. Dampak yang lebih serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian (Depkes RI 1998).
Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan yang saat ini terjadi masalah utama di Indonesia. Program perbaikan gizi yang dilaksanakan pemerintah sejak pelita I sampai dengan pelita VI telah berhasil meningkatkan status gizi dan menurunkan prevalensi KEP. Data survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 1989, 1992 dan 1995 menunjukan bahwa prevalensi KEP telah berhasil diturunkan secara bermakna. Prevalensi KEP total yang ditunjukan dengan berat badan/umur <80% baku median WHO NCHS (BB/U) telah turun dari 47,8%
pada Tahun 1989 menjadi 41,7% pada Tahun 1992 dan 35% pada Tahun 1995. Akan letapi prevalensi KEP nyata (berat badan <70% baku median WHO-NCHS) belum terlihat turun, bahkan ada kecenderungan meningkat. Dimana pada tahun 1989 prevalensi KEP nyata 12,2% turun menjadi 11,8% pada tahun 1992, tetapi meningkat lagi menjadi 14,6% pada tahun 1995 (Depkes RI, 1998).
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan penyakit defisiensi gizi yang paling umum dijumpai di dunia pada tingkat sedang dan berat. Di beberapa negera, empat dari lima anak kecil mengalami gizi kurang pada beberapa tingkatan. Pada golongan anak yang berstatus gizi kurang memiliki risiko kematian yang tinggi dari pada anak yang berstatus gizi yang lebih baik. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan konsumsi sesuai dengan umurnya (R. Waba, 2000).
Dampak yang lebih serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan, tinggi angka kesakitan dan terjadinya percepatan kematian (premature death). Pada usia balita sekitar 7,5 anak (36%) menderita KEP atau mengalami penghambatan pertumbuhan yang ditunjukan oleh berat badan lebih rendah dari standar menurut usia (R. Waba, 2000).
Dari hasil penelitian terhadap tingkat kecerdasan (IQ) anak-anak umur 5 – 15 tahun yang pernah mengalami gizi kurang dini, ditemukan bahwa perkembangan intelektual serta perkembangan fisiknya banyak dipengaruhi oleh status gizinya selama masa prasekolah. Nilai yang paling rendah dijumpai pada golongan anak-anak yang menderita gizi kurang dari umur 2 – 4 tahun dengan tanda-tanda klinis kekurangan vitamin A. sebaliknya nilai yang paling tinggi ditemukan pada anak-anak yang tidak pernah mengalami gizi kurang (Suhardjo, 1992). Selain itu dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan Intelegensi Quosient (IQ). Setiap anak yag berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin, dimana anak yang IQ-nya kurang dari 100 adalah kurang normal; anak yang IQ-nya 100 anak normal dan anak yang IQ-nya lebih dari 100 disebut supernormal. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta anak bergizi buruk,. Maka berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar
22 juta poin. Sementara itu prevalensi BBLR pada saat ini diperkirakan 7 – 14% (yaitu sekitar 459.200 – 900.000 bayi) (Kebijakan Gizi, 2002).
Diketahui bahwa 38,4 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, 50% dari total rumah tangga mengkonsumsi makanan lain yang kurang dari kebutuhan sehari-hari. Menurut data sensus 2000 prevalensi KEP total pada balita mencapai 24,66% (BB<80% median BB/U) yang terdiri dari 7,53% gizi buruk dan 17.13% gizi kurang. Pada tahun 2005 jumlah kasus gizi kurang yang dilaporkan adalah 76.178 kasus, 0,38% merupakan kasus gizi buruk. Jumlah kasus meninggal sebanyak 293 kasus (Depkes RI, 2007).
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2005 menunjukan bahwa prosentase status gizi kurang sebesar 10,10% cenderung turun jika dibandingkan dengan tahun 2004 (10,34%), tahun 2003 (11,47%) dan tahun 2002 (12,25%), sedangkan status gizi buruk pada tahun 2005 sebesar 1.95% cenderung naik bila dibandingkan dengan tahun 2004 (1,82%), tahun 2003 (1,12%) dan tahun 2002 (1,43%), status gizi baik tahun 2005 sebesar 85.49% cenderung berfluktuatif jika dibandingkan dengan tahun 2004 (84.07%), tahun 2003 (84.99%) dan tahun 2002 (83.63%) dan status gizi lebih tahun 2005 sebesar 2.46% cenderung berfluktuatif naik turun jika dibandingkan dengan tahun 2004 (2.33%), tahun 2003 (2.42%) dan tahun 2002 (2.69%) (Dinkes Provinsi Lampung, 2006).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran kebutuhan gizi pada anak terhadap perkembangan otak.
2. Untuk mengetahui gambaran kebutuhan gizi pada anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gizi dan Kekurangan Gizi
1. Pengertian Gizi
Ilmu gizi (Nutrition Science) adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Kata gizi berasal dari bahasa Arab ghidza, yang artinya “makanan”. Di satu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan di sisi lain dengan tubuh manusia (Almatsier, 2001).
Gizi merupakan jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh seseorang setara dengan yang dibutuhkan tubuh tersebut baik dalam jumlah maupun jenisnya (Depkes RI, 1999).
Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang baik dalam jumlah maupun jenisnya, maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam berupa empat sehat lima sempurna, kekurangan zat gizi pada besi jenis makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan lain, sehingga diperoleh masukan zat gizi besi yang seimbang.
Bahan makanan masukan seimbang yang dimaksud tersebut seperti bahan makanan yang berasal dari karbohidrat, protein (berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan), vitamin dan mineral.
2. Pengertian KEP
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita (Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002).
KEP merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari, sehingga tubuh tidak mencapai angka kecukupan gizi yang berlangsung lama (Arisman MB, 2004).
3. Penyebab KEP
Menurut Arisman MB (2004) terdapat empat faktor penyebab yang melatarbelakangi KEP, yaitu; masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketidaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi makan anggota keluarga yang sedang sakit. Hal lain yang juga berpotensi menumbuh-suburkan KEP di kalangan bayi dan anak adalah penurunan minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara menyapih. Selain itu, distribusi pangan dalam keluarga terkesan masih timpang.
4. Akibat Kekurangan Energi
Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Akibat berat pada bayi dinamakan marasmus dan bila disertai kekurangan protein disebut kwashiorkor (Almatsier, Sunita, 2001).
5. Akibat Kekurangan Protein
Kekurangan protein banyak terdapat banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Istilah kwashiorkor pertama diperkenalkan oleh Dr. Cecily William pada tahun 1933 ketika ia menemukan keadaan ini di Ghana-Afrika. Dalam bahasa Ghana, kwashiorkor artinya penyakit yang diperoleh anak pertama, bila anak kedua sedang ditunggu kelahirannya. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan Energy-Protein Malnutrition (EPM) atau Kurang Energi Protein (KEP) (Almatsier, Sunita, 2001).
6. Status Gizi Balita
Masa lima tahun pertama merupakan terbentuknya dasar-dasar kepribadian manusia, kernampuan penginderaan, berfikir, keterampilan berbahasa dan berbicara, bertingkah laku sosial dan lain lain, Salah satu faktor yang mempengaruhi proses tumbuh kembang optimal seorang anak adalah faktor gizi. Kekurangan gizi pada makanan menyebabkan pertumbuhan anak terganggu yang akhimya akan mempengaruhi perkembangan anak secara keseluruhan (DEPKES, 1993).
Keadaan gizi merupakan nilai dan mutu sumber daya manusia yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, mental sosial yang berimplikasi antara, lain pada berat badan, tinggi badan, kecerdasan dan kemampuan kognitif Status gizi yang merupakan salah satu indikator status kesehatan. Pengukuran antropometri merupakan indikator yang paling lugs digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat (Suhardjo & Hadi R, 1990).
Dalam penelitian gizi indikator yang sering digunakan adalah dengan mengukur antropometri. Ukuran antropometri im antara lain parameter berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA) pada penggunaanya dibandingkan dengan parameter lain misalnya umur. Sehingga untuk mengukur status gizi yang sering digunakan adalah berdasarkan pada buku WHO NCHS (World
Health Organization National Center For Health Statistics) dimana salah satunya adalah sebagai berikut:
Indeks berat badan menurut tinggi badan(BB/TB)
a. Baik= > 90%
b. Sedang = 80 % - 89
c. Kurang = 70 % - 79,9 %
d. Buruk = < 70 %
Indeks berat badan merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak) yang lebih karena masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi. Penurunan nafsu makan ( Suhardjo & Hadi R, 1990)
Dalam penelitian status gizi, WHO (1979) menganjurkan penggunaan gabungan tiga jenis indeks yaitu berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Salah satu. fungsi dari pengukuran berat badan terhadap umur atau berat badan terhadap tinggi badan dapat menggambarkan keadaan gizi pada waktu. sekarang, sedangkan pengukuran tinggi badan terhadap umur menggambarkan keadaan gizi anak pada masa lalu (Reksodikusumo, 1989).
Menurut Subardjo dan Hadi R, (1990), penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapatkan perhatian.
Kelebihan indeks ini yaitu:
1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum
2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek dan dapat mendeteksi kegemukan.
Sedangkan kelemahan dari indeks BB/U ini adalah :
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat odema
2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok anak dibawah usia lima bulan (balita).
3. Sering terjadi dalam kesalahan pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan
7. Penilaian Status Gizi
Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada periode kehidupan lain. Pemeriksaan yang perlu lebih diperhatikan tentu saja bergantung pada bentuk kelainan yang bertalian dengan kejadian penyakit tertentu. Kurang kalori protein, misalkan, lazim menjangkiti anak. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap tanda dan gejala ke arah sana termasuk pula kelainan lain yang menyertainya, perlu dipertajam (Arisman MB, 2004).
Pemeriksaan klinis, diarahkan untuk mencari kemungkinan adanya bintik bitot, xerosis konjungtiva, anemia, pembesaran kelenjar parotis, kheilosis angular, flurosis, karies, gondiok, serta hepato dan splenomegali.
Penilaian antropometris, yang penting dilakukan ialah penimbangan berat dan pengukuran tinggi badan, lingkar lengan, dan lipatan kulit triseps. Pemeriksaan ini penting, terutama pada anak prasekolah yang berkelas ekonomi dan sosial rendah. pengamatan anak usia sekolah dipusatkan terutama pada percepatan tumbuh. Uji pertumbuhan ada golongan usia ini setidaknya diselanggarakan setahun sekali, karena laju pertumbuhan pada fase ini relatif lambat. Sebagai patokan, pertambahan berat anak usia 5-10 tahun berkisar sampai 10%-nya, sementara tinggi badan bertambah sekitar 2 cm setahun.
Uji biokimiawi, yang penting ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, serta pemeriksaan asupan darah untuk malaria. Pemeriksaan tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja.
8. Pemantauan pertumbuhan
Pemantauan anak dapat diamati secara cermat dengan menggunakan “kartu menuju sehat” (KMS) balita. Kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi (Arisman, MB, 2004).
KMS adalah alat untuk mencatat dan mengamati perkembangan kesehatan anak yang mudah dilakukan oleh para ibu. Dengan membaca garis perkembangan
berat badan anak dari bulan ke bulan pada KMS, seorang ibu dapat menilai dan berbuat sesuatu untuk berusaha memperbaiki dan meningkatkan perkembangan kesehatan anaknya (Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002).
B. Faktor-faktor penyebab terjadinya KEP
1. Sosial-Ekonomi
Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur penyimpanan hasil produksi pascapanen yang buruk mengakibatkan bahan pangan cepat rusak. Bencana alam, perang atau migrasi paksa telah terbukti menganggu distribusi pangan (Arisman MB, 2004)
Menurut Supariasa, I Dewa Nyoman (2002) data sosial yang perlu dipertim-bangkan adalah:
a. Keadaan penduduk di suatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi seks, dan geo-grafis)
b. Keadaan keluarga (besarnya, hubungan, jarak kelahiran)
c. Pendidikan
a. Tingkat pendidikan orangtua
b. Keberadaan buku-buku
c. Usia anak sekolah
d. Perumahan (tipe, lantai, atap, dinding, listrik, ventilasi, perabotan, jumlah kamar, pemilikan dan lain-lain)
e. Dapur (bangunan, lokasi, kompor, bahan bakar, alat masak, pembuangan sampah)
f. Penyimpanan makanan (ukuran, isi, penutup serangga)
g. Air (sumber, jarak dari rumah)
h. Kakus (tipe jika ada, keadaannya)
Keadaan ekonomi yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Pekerjaan (pekerjaan utama, misalnya pekerjaan pertanian, dan pekerjaan tamba-han, misalnya pekerja musiman)
b. Pendapatkan keluarga (gaji, industri rumah tangga, pertanian pangan/non pangan, utang)
c. Kekayaan yang terlihat seperti tanah, jumlah ternak, perahu, mesin jahit, kenda-raan, radio, TV dan lain-lain
2. Biologi
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP, antara lain, baik sebe-lum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi protein. Seorang ibu yang mengalami KEP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahir-kan bayi berberat badan rendah. tanpa ketersediaan pangan yang cukup, bayi KEP tersebut tidak akan mampu mengejar ketinggalannya, baik kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.
a. Infeksi
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KEP. Penyakit diare, campak dan infeksi saluran nafas yang kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah ke-hilangan zat-zat gizi (Arisman MB, 2004).
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab-akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk kea-daan gizi yang jekek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umum-nya terkait masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan (Supariasa, I Dewa Nyoman, 2002).
Penelitian yang dilakukan beberapa ahli ditemukan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
Mekanisme patologisna dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu:
1) Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nasu makan, menurunnya absorb-si, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.
2) Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan perdarahan yang terus menerus.
3) Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (hu-man host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
b. Diet rendah protein
Kurang energi protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja, terutama bayi dan anak yang tengah tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurng dari 1 tahun, sementara kwasiorkor cenderung menye-rang setelah berusia 18 bulan. Jika dialami oleh anak yang berumur lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan karena mereka pada umumnya telah pandai “mencari makan” sendiri. Remaja, dewasa muda (utamanya lelaki), wanita tidak hamil dan tidak menyusui, memiliki angka prevalensi rendah.
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KEP. Penyakit diare, campak dan infeksi saluran nafas yang kerap menghilangkan nafsu makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar. Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah ke-hilangan zat-zat gizi.
3. Lingkungan
Penyalahgunaan anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran lansia, kecanduan alkohol dan obat, pada akhirnya berujung pula sebagai KEP. Selain itu, budaya yang menabukan makanan tertentu (terutama terhadap balita serta ibu hamil dan menyusui) dan mengkonsumsi bahan bukan pangan akan memicu sekaligus melestarikan KEP (Arisman MB, 2004).
Menurut Supariasa I Dewa Nyoman (2002) faktor lingkungan dapat dibagi dalam tiga unsur utama, yaitu:
a. Lingkungan Fisik, seperti cuaca atau iklim, tanah dan air
b. Lingkungan biologis
1) Kependudukan: kepadatan penduduk
2) Tumbuh-tumbuhan: sumber makanan yang dapat mempengaruhi sumber penyakit
3) Hewan: sumber makanan, juga dapat sebagai tempat munculnya sumber penyakit
c. Lingkungan sosial ekonomi
1) Pekerjaan: yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia
2) Urbanisasi: kepadatan penduduk, adanya ketegangan dan tekanan sosial
3) Perkembangan ekonomi: usaha koperasi di bidan kesehatan dan pendidikan
Golongan ekonomi yang rendah lebih banyak menderita gizi kurang dibandingkan dengan golongan ekonomi menengah ke atas. Sebaliknya, pada golongan yang terakhir insidensi penyakit kardiovasluler cenderung meningkat.
Bencana alam: peperangan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Masalah gizi merupakan salah satu penentu utama kualitas Sumber Daya Manusia. Gizi yang tidak seimbang, baik itu kekurangan maupun kelebihan, akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan.
2. Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan yang saat ini terjadi masalah utama di Indonesia.
3. Dampak serius dari kekurangan gizi adalah timbulnya kecacatan, tinggi angka kesakitan dan terjadinya percepatan kematian (premature death). Pada usia balita sekitar 7,5 anak (36%) menderita KEP atau mengalami penghambatan pertumbuhan yang ditunjukan oleh berat badan lebih rendah dari standar menurut usia
B. Saran
1. Bagi orangtua agar dapat dapat meningkatkan dan selalu memperhatikan kebutuhan gizi pada anak, dengan harapan agar dapat meningkatkan tumbuh kembangnya secara optimal
2. Bagi pihak terkait, dapat terus mengupayakan pendidikan kesehatan berupa penyuluhan kepada masyarakat khususnya orangtua yang memiliki anak, agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan sebagaimana mestinya.
REFERENSI
Almatsier, (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Arisman, MB, (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC. Jakarta.
Depkes RI, (1992), Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, Depkes RI; Dir-jen PKM & Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. Jakarta.
-------------, (1993), Pedoman Kerja Puskesmas, Jilid I & II Jakarta.
-------------, (1994), Pedoman Teknis Pembinaan Kader UPGK, Jakarta.
-------------, (1995), Pedoman Kerja Tenaga Gizi Puskesmas, Depkes RI; Dirjen PKM. Jakarta.
-------------, (1999), Pedoman Kerja Tenaga Gizi Puskesmas, Depkes RI; Dirjen PKM. Jakarta.
-------------, 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Supariasa, I Dewa Nyoman, (2001). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar