BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
AIDS
pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni
1981, ketika Centers for Disease Control and
Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih
diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima
laki-laki homoseksual di Los Angeles.
Dua
spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari
mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan
berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari
primata.
Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun
selatan. HIV-2 berasal dari Sooty
Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau,
Gabon,
dan Kamerun.
Banyak
ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan
primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang
lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa
epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia
sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat
bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
Virus
HIV AIDS sebenarnya bukan berasal dari simpanse,
tetapi ciptaan para ilmuwan yang kemudian diselewengkan melalui rekayasa
tertentu untuk memusnahkan etnis tertentu. (Jerry D. Gray, Dosa-dosa Media
Amerika - Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat, Ufuk Press 2006
h. 192).
Tulisan
Allan Cantwell, Jr. M.D. ini mengungkapakan rahasia
asal-usul AIDS dan HIV, juga bagaimana ilmuwan menghasilkan penyakit yang
paling menakutkan kemudian menutup-nutupinya.
A. Teori Monyet Hijau
Tidak sedikit orang yang sudah mendengar teori bahwa AIDS adalah
ciptaan manusia. Menurut The New York Times yang terbit 29 Oktober 1990, tiga
puluh persen penduduk kulit hitam di New York City benar-benar percaya bahwa AIDS adalah “senjata etnis” yang
didesain di dalam laboratorium untuk menginfeksi dan membunuh kalangan kulit
hitam. Sebagian orang bahkan menganggap teori konspirasi AIDS lebih bisa
dipercaya dibandingkan teori monyet hijau Afrika yang dilontarkan para pakar
AIDS.
Sebenarnya sejak tahun 1988 para peneliti telah membuktikan
bahwa teori monyet hijau tidaklah benar. Namun kebanyakan edukator AIDS terus
menyampaikan teori ini kepada publik hingga sekarang. Dalam liputan-liputan
media tahun 1999, teori monyet hijau telah digantikan dengan teori simpanse di
luar Afrika. Simpanse yang dikatakan merupakan asal-usul penyakit AIDS ini
telah diterima sepenuhnya oleh komunitas ilmiah.
Pohon keturunan filogenetik virus primata (yang hanya dipahami
segelintir orang saja) ditampilkan untuk membuktikan bahwa HIV diturunkan dari
virus primata yang berdiam di semak Afrika. Analisis data genetika virus
ditunjukkan melalui “supercomputer” di Los Alamos, Mexico, menunjukkan bahwa HIV telah “melompati spesies’, dari simpanse
ke manusia sekitar tahun 1930 di Afrika.
B. Eksperimen Hepatitis B Pra-AIDS kepada Pria Gay
(1978-1981)
Ribuan pria gay mendaftar sebagai manusia percobaan untuk
eksperimen vaksin hepatitis B yang “disponsori pemerintah AS” di New York, Los
Angeles, dan San Fransisco. Setelah beberapa tahun,
kota-kota tersebut menjadi pusat sindrom defisiensi kekebalan terkait gay, yang
belakangan dikenal dengan AIDS. Di awal 1970-an, vaksin hepatitis B
dikembangkan di dalam tubuh simpanse. Sekarang hewan ini dipercaya sebagai
asal-usul berevolusinya HIV. Banyak orang masih merasa takut mendapat vaksin
hepatitis B lantaran asalnya yang terkait dengan pria gay dan AIDS. Para dokter senior masih bisa ingat bahwa eksperimen
vaksin hepatitis awalnya dibuat dari kumpulan serum darah para homoseksual yang
terinfeksi hepatitis.
Kemungkinan besar HIV “masuk” ke dalam tubuh pria gay selama uji
coba vaksin ini. Ketika itu, ribuan homoseksual diinjeksi di New York pada awal 1978 dan di kota-kota
pesisir barat sekitar tahun 1980-1981.
Apakah jenis virus yang terkontaminasi dalam program vaksin ini
yang menyebabkan AIDS? Bagaimana dengan program WHO di Afrika? Bukti kuat
menunjukkan bahwa AIDS berkembang tak lama setelah program vaksin ini. AIDS
merebak pertama kali di kalangan gay New York City pada tahun 1979, beberapa bulan setelah eksperimen dimulai di Manhattan. Ada fakta yang
cukup mengejutkan dan secara statistik sangat signifikan, bahwa 20% pria gay
yang menjadi sukarelawan eksperimen hepatitis B di New York diketahui mengidap
HIV positif pada tahun 1980 (setahun sebelum AIDS menjadi penyakit “resmi’).
Ini menunjukkan bahwa pria Manhattan
memiliki kejadian HIV tertinggi dibandingkan tempat lainnya di dunia, termasuk
Afrika, yang dianggap sebagai tempat kelahiran HIV dan AIDS. Fakta lain yang
juga menghebohkan adalah bahwa kasus AIDS di Afrika yang dapat dibuktikan baru
muncul setelah tahun 1982. Sejumlah peneliti yakin bahwa eksperimen vaksin
inilah yang berfungsi sebagai saluran tempat “berjangkitnya” HIV ke populasi
gay di Amerika. Namun hingga sekarang para ilmuwan AIDS mengecilkan koneksi
apapun antara AIDS dengan vaksin tersebut.
Umum diketahui bahwa di Afrika, AIDS berjangkit pada orang
heteroseksual, sementara di Amerika Serikat AIDS hanya berjangkit pada kalangan
pria gay. Meskipun pada awalnya diberitahukan kepada publik bahwa “tak seorang
pun kebal AIDS”, faktanya hingga sekarang ini (20 tahun setelah kasus pertama
AIDS), 80% kasus AIDS baru di Amerika Serikat berjangkit pada pria gay, pecandu
narkotika, dan pasangan seksual mereka. Mengapa demikian? Tentunya HIV tidak
mendiskriminasi preferensi seksual atau ras tertentu. Apakah benar demikian?
Di pertengahan tahun 1990-an, para ahli biologi berhasil
mengidentifikasi setidaknya 8 subtipe (strain) HIV yang menginfeksi berbagai
orang di seluruh dunia. Telah terbukti, strain B adalah strain pra dominan yang
menginfeksi gay di AS. Strain HIV ini lebih cenderung menginfeksi jaringan
rektum, itu sebabnya para gay yang cenderung menderita AIDS dibandingkan
non-gay
Sebaliknya, Strain HIV yang umum dijumpai di Afrika cenderung
menginfeksi vagina dan sel serviks (leher rahim), sebagaimana kulup penis pria.
Itu sebabnya, di Afrika, HIV cenderung berjangkit pada kalangan heteroseksual.
Para
pakar AIDS telah memeberitahukan bahawa AIDS Amerika berasal dari Afrika,
padahal Strain HIV yang umum dijumpai di kalangan pria gay nyaris tak pernah
terlihat di Afrika! Bagaimana bisa demikian? Apakah sebagian Strain HIV
direkayasa agar mudah beradaptasi ke sel yang cenderung menginfeksi kelamin
gay?
Telah diketahui, pria ilmuwan SCVP (Special Virus Cancer Program) mampu
mengadaptasi retrovirus tertentu agar menginfeksi jenis sel tertentu. Tak
kurang sejak tahun 1970, para ilmuwan perang biologis telah belajar mendesain
agen-agen (khususnya virus) tertentu yang bisa menginfeksi dan menyerang sel
kelompok rasial “tertentu”. Setidaknya tahun 1997, Stephen O’Brien dan Michael
Dean dari Laboratorium Keanekaragaman Genom di National Cancer Institute menunjukkan bahwa
satu dari sepuluh orang kulit putih memiliki gen resisten-AIDS, sementara orang
kulit hitam Afrika tidak memiliki gen semacam itu sama sekali. Kelihatannya,
AIDS semakin merupakan “virus buatan manusia yang menyerang ras tertentu”
dibandingkan peristiwa alamiah.
Berkat bantuan media Amerika, virus ini menyebar ke jutaan orang
tertentu di seluruh dunia sebelum segelintir orang mulai waspada akan kejahatan
di balik penciptaan virus ini. Di tahun 1981, pejabat kesehatan memastikan
“masyarakat umum” bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. “AIDS adalah penyakit gay” adalah jargon yang
sering dikumandangkan media.
Setidaknya tahun 1987, Robert Gallo memberitahu reporter
Playboy, David Black,
“Saya pribadi belum pernah menemukan satu kasus pun (di Amerika) dimana pria
terkena virus (AIDS) dari seorang wanita melalui hubungan intim heteroseksual
.” Gallo melanjutkan, “AIDS tak akan menjadi bahaya yang tak bisa teratasi bagi
masyarakat umum.” Apakah ini sekedar spekulasi ataukah Gallo mengetahui sesuatu
yang tidak ia ceritakan.
1.2. Tujuan
A. Untuk mengetahui
lebih detail tentang AIDS
B. Untuk mengatahui
agar lebih berhati-hati terhadap penyakit AIDS
1.3. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian AIDS
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome. Penyakit AIDS yaitu suatu penyakit yang ditimbulkan sebagai dampak
berkembangbiaknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh
manusia, yang mana virus ini menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga
mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya
tahan tubuh membuat si penderita mudah sekali terjangkit berbagai macam
penyakit termasuk penyakit ringan sekalipun.
HIV
adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan
dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik
ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Virus HIV menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat berkembang
biak Virus HIV baru, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem
kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang
penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak berupaya melawan jangkitan penyakit dan
akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa.
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung
menyebabkan atau menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup
lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV
positif yang mematikan.
2.2. Gejala Klinis
AIDS
mempunyai spectrum yang luas pada gambaran klinis. Gejala-gejala awal ini
sering disebut AIDS Related Complex (ARC). Pada awal
permulaan terdapat gejala-gejala seperti berikut :
permulaan terdapat gejala-gejala seperti berikut :
A.
Saluran pernafasan.
Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk,
nyeri dada dan demam, terkena flu,seperti terserang
infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal
penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
B.
Saluran Pencernaan.
Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti
hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada
rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
C.
Berat Badan Tubuh.
Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome,
yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan
pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai
Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada
sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
D.
System Persyarafan.
Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan
kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan
dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral)
akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek
tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten. Penderita
merasa lelah yang berkepanjangan dan tanpa sebab.
E.
System Integument (Jaringan
kulit).
Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex)
atau cacar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang
menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi
jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit
lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis. Kelenjar-kelenjar
getah bening dileher, ketiak. Pangkal paha membengkak selama berbulan bulan. Luka-luka
hitam pada kulit atau selaput lendir yang tidak bisa sembuh.
F.
Saluran kemih dan
Reproduksi pada wanita.
Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal
ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita
penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya
yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang
mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah 'pelvic
inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid yang tidak teratur
(abnormal).
Bila keadaan penyakit ini meningkat, penyakit ganas lain
berkembang seperti :
·
radang paru (penumocytis carinii), kandiasis
oesophagus, cytomegalovirus atau herpes, sarcoma kaposi, tumor ganas pembuluh
darah. Demam yang terus menerus mencapai 39 derajat Celcius atau berkeringat
pada malam hari.
2.2. Cara Penularan Penyakit AIDS
A. Cara Penularan virus HIV AIDS1. Melalui darah. Misalnya :
·
Transfusi darah,
terkena darah HIV+ pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb.
B. Melalui cairan semen, air mani (sperma atau peju Pria). Misalnya
:
·
Seorang Pria
berhubungan badan dengan pasangannya tanpa menggunakan kondom atau pengaman
lainnya, oral sex, dsb
C. Melalui cairan vagina pada Wanita. Misalnya :
·
Wanita yang
berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks,
dsb.
D. Melalui Air Susu Ibu (ASI). Misalnya :
·
Bayi meminum ASI
dari wanita hiv+, Pria meminum susu ASI pasangannya, dsb.
Adapun cairan tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada
penderita HIV+ antara lain Saliva (air liur atau air ludah), Feses (kotoran
atau tinja), Air mata, Air keringat serta Urine
(Air seni atau air kencing).
2.3.
Penyebab Penyakit AIDS
Tanpa
terapi
antiretrovirus, rata-rata lamanya
perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan
rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun
demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi,
yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi
kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki
kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih
berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap
perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat
perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang
yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami
terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan
berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit
klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan
dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu
kemampuan penderita bertahan
A. Penularan Seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung
lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks
oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks
oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering
terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan
risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan
juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit
dan makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia,
dan trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antar orang. Beban virus
plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil
pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA
HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita
lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit
seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
B.
Kontaminasi Patogen Melalui Darah
Poster
CDC tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian
narkoba.
Jalur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi
dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung
darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi
baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara,
Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat
anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan
(perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan
walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah
dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak
dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia
karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO
memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan
melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini,
mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO,
mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang
terinfeksi".
C. Penularan Masa
Perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero)
selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar,
tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat
memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui
meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
2.4. Pencegahan dan Penanganan AIDS
A.
Penanganan dan Pengobatan
Penyakit AIDS kendatipun dari berbagai negara terus melakukan researchnya dalam
mengatasi HIV AIDS, namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya
termasuk serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab penyakit AIDS. Adapun tujuan pemberian obat-obatan pada penderita AIDS
adalah untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas hidup
bagi meraka yang diketahui terserang virus HIV dalam upaya mengurangi angka
kelahiran dan kematian.
B.
Selama hubungan seksual, hanya kondom pria
atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki
berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya
teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara
seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Kondom wanita
adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung
terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara
keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung
sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa
dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan
yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah
dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan
epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok
minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun
telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka
hadapi atas infeksi HIV.
C.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang
menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan
risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai
sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang
terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan
sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat.
Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada
laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga
mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
D.
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal,
seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci
tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
E.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna
narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan
dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer
obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan
disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum
menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah
negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat
penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan
mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep
dokter.
F.
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah
caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu
ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan
pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak
mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian
ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya
dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak
di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak,
630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga
kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
G.
Sampai saat ini tidak ada vaksin
atau obat untuk HIV
atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada
penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus
secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP
memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga
memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan,
mual, dan lelah.
H.
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat
HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV
sejak tahun 1996,
yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART
saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail)
yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside
analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI).
I.
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk
menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur
telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi
(peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun
tidak menyembuhkan infeksi HIV. Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin
dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa,
meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas)
akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki
hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat
meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat
psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat
paling penting dari pemakaiannya.
Kita semua diharapkan untuk tidak mengucilkan dan
menjauhi penderita HIV karena mereka membutuhkan bantuan dan dukungan agar bisa
melanjutkan hidup tanpa banyak beban dan berpulang ke rahmatullah dengan
ikhlas.
DAFTAR PUSTAKA
http://.kaskus.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar