Jumat, 11 November 2011

MAKALAH KELAINAN DERMATOLOGIK PADA KEHAMILAN

Perubahan fisis dan hormonal yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas, ada hubungannya dengan beberapa perubahan pada kulit. Sebagian besar kelainan atau penyakit kulit yang bersamaan dengan kehamilan, tidak mempengaruhi kehamilan dan tumbuh kembang janinintrauterin secara murni. Namun, bila diikuti dengan infeksi sekunder sampai terjadi sepsis, morbiditas maternal dan neonatal dapat meningkat. Dengan demikian, diperlukan diagnosis pasti sehingga pengobatannya dapat adekuat, tepat, dan berhasil guna.

Perubahan Kulit Pada Kehamilan
Hiperpigmentasi
Terjadi pada hampir semua ibu hamil. Hal ini berhubungan dengan adanya peningkatan efek Melanocyte-Stimulating-Hormone (MSH) atau peningkatan estrogen dan progesteron. Alt Meyer dan kawan-kawan (1989) memperlihatkan peningkatan kadar yang bermakna dari α-MSH, melatonin, adrenokortikotropin, atau hormon adrenokortikotropik (ACTH). Hiperpigmentasi ringan terutama areola mamma dan kulit sekitar genital. Leher bisa menjadi lebih gelap, papalomatous, kemudian menjadi akantosis.
“Melasma” adalah hiperpigmentasi makular yang menyeluruh paa wajah, terutama di dahi, pipi, dan hidung. Walaupun istilah cloasma masih tetap dipakai, ini hanya terbatas pada kasus-kasus yang terjadi selama hamil (topeng kehamilan). Terjadi pada ± 70 % perempuan hamil, tetapi dapat juga terjadi pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormon. Menghindari matahari selama kehamilan membantu mencegah atau meminimalisasi melasma. Losion sun cream dengan proteksi matahari penting.
Kehamilan juga dilaporkan dapat menumbuhkan tahi lalat baru atau membesar yang sudah ada (bisa sampai < 6 mm). Lesi yang mencurigakan dapat segera dieksisi.

Perubahan Vaskular
Kehamilan menyebabkan dilatasi dan proliferasi pembuluh-pembuluh darah. Walaupun ini diduga akibat peningkatan estrogen, mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Telangiectasis (dilatasi pembuluh darah yang menetap) tampaknya karena paparan sinar matahari yang kronis atau karena radiasi.
Spider angioma (nevus araneus) dengan arteriola di tengah, dikelilingi pembuluh-pembuluh darah seperti laki-laki seekor laba-laba ini lebih banyak terjadi di area yang terkena matahari. Spider angioma yang multipel juga bisa terjadi pada penyakit liver (disebabkan oleh penurunan katabolisme di hepar), dan pada perempuan normal tidak hamil kelainan ini bisa hilang spontan. Lesi yang menetap bisa diterapi dengan efek trokogulasi ringan atau laser.
Eritema palmar bisa terjadi pada banyak ibu hamil normal, tetapi juga bisa dihubungkan dengan penyakit liver, karena estrogen dan penyakit vaskular kolagen. Perubahan ini bisa berkurang tanpa terapi dan hilang setelah persalinan.
Pyogenik Granulane adalah suatu bentuk nodular yang kemerahan dan berair, berasal dari proliferasi jeringan granulasi (bukan granuloma betul-betul, tetapi suatu nodul yang dominan berisi makrofag). Lesi ini bisa ada di mana saja, tetapi terutama di gingiva.
Terapinya adalah eksisi atau kauter. Beberapa lesi bisa hilang spontan setelah melahirkan. Bendungan vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah selama kehamilan, umumnya disebabkan oleh edema kulit dan jaringan subkutaneus, terutama di vulva dan kaki. Varicosities bisa terjadi di kaki dan sekitar anus (hemoroid) menghilang setelah melahirkan walaupun sering tidak sembuh sempurna.

Perubahan jaringan ikat
Perubahan-perubahan kolagen dan elemen-elemen lain dari jaringan ikat pada kehamilan belum terlalu jelas. Striae (Stretch Marks) menggambarkan faris-garis lurus di kulit dan tampak merah keunguan di perut, payudara, paha, dan aksila. Kadang-kadang lesi ini gatal. Genetik (keturunan) mungkin ada pengaruhnya. Striae banyak terdapat pada perempuan dengan berat badan lebih.
Tidak ada terapi topikal yang bisa mencegah striae. Mungkin hanya mengurangi kemerahan setelah melahirkan. Minyak olive, santan, vitamin E, tretinon (Ranger dan kawan-kawan, 2001), dan terapi nutrisi bisa meringankan. Laser dilaporkan bisa menolong.

Perubahan pertumbuhan rambut
Terdiri atas 3 fase yaitu anagen, katagen, dan telogen. Lamanya fase pertumbuhan (anagen) pada tiap folikel rambut menetap 3 – 4 tahun, dengan rata-rata tumbuh 0,34 mm. Aktivitas ini diikuti fase transisi (fase katagen) ± 2 minggu, akhirnya berhenti (fase telogen). Bila ada rambut yang baru, rambut tua akan rontol.
Aktivitas tiap-tiap folikel tidak bergantung pada folikel di dekatnya. Setiap waktu ± 10 – 15 % folikel rambut mengalami telogen. Lamanya pertumbuhan folikel rambut ± 1.000 hari (3 tahun) dan ± 100 batang rambut mengalami kerontokan setiap hari.
Pada kehamilan tua, hormon tampaknya meningkatkan jumlah rambut yang anagen dan menurunkan telogen. Akan tetapi, setelah ibu melahirkan, telogen meningkat sampai ± 35 % sehingga rambut mengalami kerontokan sampai 3 – 4 bulan setelah melahirkan. Pada kasus yang berat, kerontokan bisa sampai 40 – 50 % rambut hilang.
Hirsutisme pada fasial bagian bawah bisa disertai akne. Ini disebabkan oleh efek dari ovarium dan hormon androgen dari plesenta terhadap kelainan  pilosebaseous. Beberapa perubahan kuku juga telah dilaporkan selama kehamilan, tetapi tidak selalu terjadi. Kuku lebih datar, lebih pucat, lebih lunak, atau onikolisis distal.

Kelainan Kulit Yang Khas Pada Kehamilan
Sejumlah kondisi kulit diketahui sebagai hal yang unik selama kehamilan dan dietmukan lebih sering selama kehamilan. Roger dan kawan-kawan melakukan penelitian pada 3.200 perempuan hamil dan mendapatkan 1,6 % menderita pruritus secra bermakna dan 0,6 % menderita pruritus gravidarum. Dikenal beberapa penyakit kulit yang sering dialami selama kehamilan

Pruritus gravidarum
Pruritus gravidarum dapat didefinisikan sebagai gatal yang menyeluruh selama kehamilan tanpa adanya ruam (walaupun bisa ada ekskoriasi). Lebih dari 14 % perempuan hamil menyeluruh gatal, tetapi pruritus sering dihubungkan dengan kolestatis yang terjadi hanya pada ± 15 % perempuan hamil dengan kejadian tersering pada trimester III. Derajat gatal bervariasi, tetapi biasanya lebih berat pada ekstremitas. Gatal sering terbatas pada dinding perut bagian depan dan biasanya berhubungan dengan regangan kulit dan timbulnya striae. Gatal karena kolestatis berhubungan dengan kadar serum asam bilirubin dan tes-tes fungsi hepar. Ini mengidentifikasikan bahwa ruam-ruam pada perempuan hamil dapat dilakukan tes fungsi hepar terutama yang pernah mengalami gatal-gatal tanpa ruam. Pruritus biasanya menghilangkan segera setelah melahirkan, tetapi berulang sekitar 50 % pada kehamilan berikutnya.
Dilaporkan adanya peningkatan persalinan rematur dan kematian perinatal terjadi hanya pada mereka yang secara klinik benar-benar timbul ikterus.
Pengobatan : secara simptomatik pada kasus yang ringan biasanya cukup dengan pelicin / pelembab kulit dan antipruritus topikal. Pengobatan dengan cahaya oltraviolet atau sinar matahari secukupnya juga dapat mengurangi rasa gatal. Pada kasus yang lebih berat, dapat diberi kolestiramin. Antihistamin oral dikatakan juga cukup membantu.
Pruritic urticarial papules dan plaques of pregnancy (PUPPP)
 Merupakan penyakit kulit pruritus yang paling sering ditemukan. Ditandai dengan papul eritematosa, plak, dan lesi urtikaria. Penyebab dan patogenesisnya tidak diketahui. Biasanya muncul pada trimester III. Sering juga disebut Polimorphic Eruption of Pregnancy (PEP).erupsi ini disebut juga Toxaemic rash of pregnancy.
Muncul pertama kali pada daerah abdomen, biasanya pada daerah regangan striae, menyebar ke paha, jarang ke bokong dan lengan. Biasanya penyakit ini tidak didapatkan pada pertengahan badan ke atas dan wajah walaupun pernah dilaporkan adanya lesi pada wajah pada penyakit yang berkelanjutan. Kurang lebih 15 %dari pasien tersebut berkembang menjadi preeklampsia.
Penyebab dan patogenesis PUPPP belum diketahui. Banyak penelitian yang melaporkan resiko terjadi PUPPP meningkat pada berat badan ibu yang naik berlebihan selama kehamilan. Sebuah studi lain menghubungkan antara jenis kelamin janin dan PUPPP (janin laki-laki dibandingkan perempuan adalh 2 : 1).
Kebanyakn pasien mengeluh sangat gatal dan membaik dengan cepat setelah melahirkan. Rata-rata lesi kulit ini timbul pada umur kehamilan 36 minggu. Sering terjadi pada primipara dan jarang berulang pada kehamilan berikutnya.
Tidak didapatkan adanya kelainan hormon atau autoimun. Pada pemeriksaan histologik didapatkan epidermis normal disertai dengan infiltrasi perivaskular superfisial dari limfosit dan histiosit serta edema papilar dermis. Gambaran lainnya berupa epidermis yang mengalami spongiosa dengan perivaskular dermis dan infiltrasi limfohistiosit unterstitial sehingga menunjukkan edema yang jelas dan adanya eosinofilia.
Dengan perwanaan imunofluoresen kulit tidak didapatkan adanya imunoglobulin atau deposisi komplemen (pada herpes gestasionis, didapatkan antibodi positif).
Pengobatan : terapi dengan memakai steroid topikal secara umum berhasil pada kebanyakan perempuan. Namun, sebagian lagi mungkin memerlukan steroid sistemik. Obat-obat antipruritus seperti hidroksizin atau difenhidramin cuku membantu untuk mengatasi rasa gatal. Tujuan utama adalah untuk mengatasi rasa gatal. Dilaporkan adanya kelainan kulit pada janin, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan adanya peningkatan malformasi, lahir mati, atau prematuritas.




Erupsi papular pada kehamilan (Prurigo Gestationis dan Papular Dermatitis)
Terjadinya penyakit ini 1 per 5 sampai 200 kehamilan. Lesi umumnya tampak pada trimester II pada usia kehamilan 25 – 30 minggu. Tampak papul-papul yang kecil-kecil 1 – 2 mm, tidak ada vesikel ataupun bula, serta menyebar secara simetris pada badan dan lengan bawah. Penyakit ini hilang setelah melahirkan.
Pada prurigo yang menonjol adalah rasa gatal disertai ekskoriasi. Diduga faktor emosional sangat berperan. Kadang-kadang prurigo gestationis sulit dibedakan sengan pruritus gravidarum. Namun diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yaitu adanya erupsi papular primer dan tidak didaptkan adanya bukti kolestatis. Papular dermatitis juga menunjukkan bentuk yang lebih berat dan lebih luasnya kelainan kulit.
Gambaran histologik popular dermatitis tidak spesifik. Demikian pula etiologinya. Dalam hal ini dicurigai adanya peranan sensitisasi alergi terhadap antigen plasenta, di mana jika dilakukan injeksi intradermal ekstrak plasenta yang berasal dari penderita papular dermatitis akan menunjukkan reaksi. Namun sebaliknya, ekstrak plasenta yang nirmal tidak menunjukkan reaksi terhadap penderita popular dermatitis.
Pengobatan : rasa gatal diatasi dengan pemberi antihistamin dan krem steroid topikal. Terapi steroid sistemik dosis tinggi tidak diperlukan bagi hasil luaran janin yang baik. Dilaporkan angka kematian janin 27 %. Namun, Aronson dan kawan-kawan tidak mendapatkan hasil luaran perinatal yang buruk pada 16 kehamilan.

Herpes Gestasionis (Pemfigoid Gestasionis)
Suatu penyakit kulit yang terdiri atas bula, pruritus, dan autoimun, terutama pada multipara, terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Meskipun demikian, dapat juga terjadi pada trimester pertama dan pascapersalinan. Herpes gestasionis yang berat dapat berakibat serius. Namun, penyakit ini jarang terjadi.
Meskipun disebut herpes gestasionis, penyakit ini bukan merupakan penybaakit yang disebabkan oleh virus herpes. Diyakini adanya predisposisi genetik dimana ada peningkatan frekwensi HLA antigen tertentu.
Gejala klinik biasanya disertai dengan demam, adanya sensasi panas dan dingin, malaise, mual, dan sakit kepala. Gejala pada kulit dapat bervariasi yaitu pruritus, plak eritematosa, lesi yang berupa urtikaria, vesikel (konfigurasi anular), atau bula yang tegangdan besar. Baik proses penyakitnya maupun gatal yang menyertai, bila ringan sampai berat. Lesi umumnya dimulai dari daerah abdomen, sering dalam umbilikus. Area lain yang terkena adalah badan, bokong, dan anggota gerak. Muka dan membran mukosa jarang terkena. Penyakit ini dapat berulang pada kehamilan berikutnya yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih awal dan dapat lebih berat dari sebelumnya.
Gambaran histologik : edema subepidermal dengan infiltrasi limfosit, histiosit, dan eosinofil. Teknik imunofluoresen langsung pada biopsi kulit didapatkan komplemen C3 dan kadang-kadang deposit IgG sepanjang zona membrana basalis.
Pengobatan : beberapa penderita cukup dengan pemakaian steroid dan antihistamin lokal. Jika tdak menolong, bisa diberi prednison oral 1 mg/kg/hari. Terapi ini menghilangkan rasa gatal juga menghambat lesi-lesi baru yang akan muncul. Namun, perlu diingat bahwa pemberi steroid sistemik akan menghambat produksi estrogen plasenta, sehingga tes estriol urin dan serum berguna sebagai petunjuk untuk menentukan fungsi plesenta. Janin dari ibu yang diterapi dengan prednison sebaiknya dimonitor oleh dokter spesialis anak akan adanya tanda insufsiensi adrenal. 3baru yang akan muncul. Namun, perlu diingat bahwa pemberi steroid sistemik akan menghambat produksi estrogen plasenta, sehingga tes estriol urin dan serum berguna sebagai petunjuk untuk menentukan fungsi plesenta. Janin dari ibu yang diterapi dengan prednison sebaiknya dimonitor oleh dokter spesialis anak akan adanya tanda insufsiensi adrenal. Bagian kulit yang telah menyembuh sering mengalami hiperpigmentasi, tetapi biasanya tidak mengalami sikatriks. Jika tidak ada perubahan terhadap pemberi terapi kortikosteroid dapat diberikan Dapson. Pemberian obat imunosupresif seperti azatioprin kontraindikasi, kecuali jika diberikan pascapersalinan dan tidak menyusui.
Efek terhadap hasil luaran janin masih tidak jelas. Holmes dan Black (1984) serta Shornick dan Black (1992) melaporkan adanya peningkatan persalinan prematur dan pertumbuhan janin terhambat, tetapi tidak ada kematian perinatal (40 perempuan dengan herpes gestasionis tiga lahir mati dan satu abortus spontan pada usia kehamilan 16 minggu). Lesi yang timbul seperti pada ibu sebanyak 10 % dari neonatus. Namun, lesi ini akan menghilang dalam beberapa minggu.

Impetigo Herpetiformis
Impetigo herpetiformis merupakan istilah yang menyesatkan karena bukan merupakan penyakit bakteri ataupun virus. Nama ini diberikan pada kondisi yang mirip psoriasis pustular yang tampak pada pasien hamil yang sebelumnya tidak menderita psoriasis. Namun, beberapa penulis masih tidak setuju akan penyebab pasti dari impertigo herpetiformis apakah disebabkan oleh adanya kehamilan atau suatu bentuk psoriasis pustular yang sedrhana yang dipicu oleh kehmilan. Penyebab pasti kehamilan ini belum diketahui. Didapatkan adanya hipoparatiroidisme dan hipokalsemia pada penderita, tetapi kontribusinya masih belum jelas. Namun, hipokalsemia dapat memperberat penyakit psoriasis pustular.
Oumeish dan kawan-kawan melaporkan adanya seorang perempuan dengan penyakit kult yang kambuh dalam sembilan kali kehamilannya. Pada tiga kehamilannya terjadi hidrosefal dan tiga kematian perinatal (janin) yang tidak dapat dijelaskan. Perempuan ini juga menderita lesi kulit yang karakteristik pada saat mendapat estrogen – progesteron oral kontrasepsi.
Tanda khas lesi dari impetigo herpetiformis adalah pustul steril yang terbentuk mengelilingi pinggir suatu daerah yang eritema. Karakteristik lesi eritematosa dimulai pada daerah lipatan dan selanjutnya meluas ke parifer. Biasanya meliputi membran mukosa.
Pemeriksaan histologik menunjukkan adanya lesi mikroabses, dimana terkumpul neutrofil dalam jumlah yang besar sebagai pustul yang menyerupai spons dan diberi nama spongioform pustule of kogoj.
Secara klinik penyakit ini ditandai  dengan ratusan pustul steril yang translusen yang muncul pada suatu dasar eritematosa yang tidak beraturan atau plak, dengan rasa gatal yang tidak berat. Daerah yang sering menderita adalah ketiak, daerah di bawah buah dada, umbilikus, paha, lipatan bokong, tangan , dan juga mengenai kuku (onikolisis). Gejala ini sering tamak disertai dengan demam, menggigil, mual, muntah, dan diare disertai dehidrasi berat. Delirium dan kejang merupakan komplikasi yang jarang timbul, biasanya berhubungan dengan hipokalsemia. Kematian dapat terjadi bila komplikasi septikemia.
Pengobatan : dianjurkan pemberian prednison 15 – 30 mg per oral/hari. Antibiotik diberikan jika disertai infeksi sekunder. Dapat juga diberi pengobatan topikal dengan kompres basah dengan atau tanpa steroid. Cairan dan elektrolit, khususnya kalsium harus dimonitor dan dinormalkan. Efek terhadap janin yaitu tingginya insiden morbiditas dan mortalitas janin.
Tabel 1.1 Perubahan Kulit yang spesifik pada kehamilan
Penyakit
Persentase pada kehamilan
Bentuk lesi
Lokasi terbanyak
Umumnya muncul pada trimester
Peningkatan kematian janin
Pruritus gravidarum


PUPPP


Prurigo gestasionis

Pempighoid gestasionis

Impetigo herpetiformis


Dermatitis Autoimun Progesteron
1,5 – 2,0



0,6


0,3


0,002


Sangat jarang



Sangat jarang

Pruritus, tidak ada ruam

Papul, plak, urtikaria

Ekskoriasi papul

Papul, vesikel

Pustula



Akne, urtikasria
Di mana saja



Perut, paha terutama pada strie
Ekstremitas


Di mana saja


Ketiak, belahan bokong

Bokong, ekstremitas
III



III


II


II atau III


, II, atau III



I
Ya



Tidak


Tidak


Ya (?)


Ya



(?)

Pengaruh kehamilan terhadap penyakit kulit
Beberapa penyakit kulit dapat mengalami perbaikan pada kehamilan. Namun, ada pula yang memburuk serta tidak dapat diramalkan pada kehamilan.

Akne Vulgaris
Akne merupakan penyakit dari pilosebase. Dipengaruhi oleh androgen seperti testoteron dan dehydropiandrosteron sulfate (DHEA-S), yang meningkatkan aktivitas kelenjar sebase. Sementara itu, estrogen mengurangi aktivitas dan ukuran kelenjar sebasea.
Bisa berupa papul-papul eritametosa, pustul, komedo, dan kista pada wajah, punggung dan dada. Kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap akne karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi selain hormonal.
Pengobatan : selama kehamilan akne dapat diobati dengan benzoil peroksidase topikal, asam salisilat, atau antibiotik topikal seperti eritromisin atau klindamisin. Sulfonamid oral dan topikal sebaiknya dihindari jika kehamilan menjelang aterm. Pada keadaan yang lebih berat dapat diobati dengan eritromisin oral 1 g/hari.



Dermatitis Apotik
Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kulit yang tidak jelas alasnya, ditandai oleh dermatitis eksematous dengan disertai rasa gatal yang intensif. Lensi menjadi liken jika pasien terperangkap dalam siklus scratch – itch. Tampaknya karena faktor iritabel kulit yang diwariskan pasien yang mempunyai riwayat pribadi atau keluarga yang dimulai dengan eksim saat kanak-kanak, asma, demam tinggi, atau rinitis alergika. Penyakit ini mungkin memburuk (52 %) atau membaik (24 %) selama kehamilan.

Eritema Nodosum
Patogenesis yang sebenarnya dari penyakit kulit yang kelihatannya autoimun ini tidak diketahui. Meskipun demikian, berhubungan dengan peyakit keganasan, infeksi, obat-obatan, dan kehamilan. Secara klinis ditandai dengan nodul-nodul eritematosa yang hangat, nyeri di tungkai bawah bagian anterior, nodul ini kemudian berkembang menjadi lesi ecchimoid yang seperti memar dan sembuh tanpa jaringan parut dalam 3 – 6 minggu. Nodul berukuran diameter 1 – 15 cm, multipel, dan biasanya bilateral.
Eritema nodosum dipresipitasi oleh kehamilan,. Demikian juga pada pemberian kontrasepsi oral sehingga diduga adannya pengaruh estrogen pada penyakit ini.
Pengobatan : ditujukan pada penyakit dasar yang mempresipitasi timbulnya eritema nodosum. Dilaporkan tidak tampak adanya pengaruh buruk terhadap kehamilan dan hasil luaran janin.

Penyakit Fox-Fordyce
Insiden penyakit ini jarang. Sering disebut apokrin miliaria karena dipikir serupa dengan prickly heat atau heat rash yang melibatkan kelenjar ekrin. Multipel papul-papul folikular yang gatal dan berbentuk kubah timbul pada daerah ketiak dan anogenital, daerah yang kaya kelenjar apokrin. Penyakit ini biasanya mengalami perbaikan selama kehamilan atau dengan pemberian oral kontrasepsi, kemungkinan karena efek estrogen. Tampaknya aktivitas kelenjar apokrin menurun selama kehamilan, tidak seperti pada aktivitas ekrin.
Pengobatan : respon terhadap pemberian steroid beragam.





Pemfigus Vulgaris
Pemfigus vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun yang tidak lazim, berupa dermatitis bullous, intraepidermal yang penampakkannya mirip dengan herpes gestasionis tetapi tidak khas pada kehamilan. Pemfigus vulgaris disebabkan oleh sirkulasi auto antibodi IgG yang menyerang langsung permukaan sel keratinosit, yang menyebabkan kerusakan kohesi antara sel-sel epidermal. Hal ini menyebabkan munculnya sejumlah vesikel, lesi bula, dan selanjutnya erusi kulit dan membran mukosa. Area yang secara khas terkena adalah lipatan paha, kepala, muka, leher, ketiak, badan, daerah periumbilikal, dan genetalia. Lesi timbul pada kulit yang sebelumnya tampak sehat dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut kecuali jika ada infeksi sekunder. Gambaran histologik ditandai dengan akantolisis dengan intraepitelial yang melepuh. Imunofluoresensi menunjukkan adanya deposit IgG pada permukaan sel keratinosit dengan atau tanpa deposit komplemen. Kebanyakan pasien dengan penyakit yang aktif menunjukkan sirkulasi antibodi IgG antiepitelial. Karena gambaran klinik penyakit ini mirip dengan herpes gestasionis dan karena penyakit ini dapat timbul pertama kali pada kehamilan, sehingga diperlukan pemeriksaan imunofluoresensi dengan melakukan biopsi untuk membedakan kedua penyakit bullous ini.
Pengobatan : sebelum adanya kortikosteroid, angka kematian hampir 100 % karena sepsis dan gangguan elektrolit. Obat pilihan sekarang ini adalah steroid, imunosupresan, dan plasmaferesis. Dengan pengobatan seperti ini angka kematian dapat diturunkan. Resiko janin tampaknya berhubungan langsung dengan beratnya penyakit pada ibu.

Psoriasis
Adalah suatu kondisi kulit berupa suatu skuamouspapula yang didapat pada 1 – 3 % dari populasi. Pada umumnya ringan walaupun kadang-kadang bisa menjadi berat, menyeluruh, atau menjadi artritis psoriasis. Bentuk pustula sering dikacaukan sebagai bagian dari Impetigo Herpetiformis. Pada suatu penelitian, psoriasis menetap selama kehamilan pada 43 % penderita, membaik pada 41 % dan menjadi berat pada 14 % penderita. Setelah melahirkan, psoriasis menetap pada 37 % pasien, membaik pada 11 % dan menjadi lebih berat pada 49 %.

Tabel 1.2. Efek kehamilan terhadap penyakit kulit
MEMBAIK PADA KEHAMILAN (BIASANYA)
Penyakit Fox – Fordsyce
Hidradenitis Supuratifa
MEMBURUK PADA KEHAMILAN (BIASANYA)
Kondiloma akuminata
Sindrom Ehlers – Danlos
Eritema multiforme
Eritema nodosum
Herpes simpleks
Lupus eritematosus
Neurofibromatosis
Pemfigus
Pitiriasis rosea
Porfiria
Pseudoxanthoma alasticum
Skleroderma (meningkatkan penyakit ginjal)
Sklerosis tuberosa (meningkatkan kejag)
RESPONSNYA TIDAK DAPAT DIRAMALKAN PADA KEHAMILAN
Akne
Acquired immunodeficiency syndrome
Dermatitis atopik
Dermatomikositis
Melanoma maligna
Psoriasis

Psoriasis pada kehamilan umumnya diterapi dengan kortikosteroid topikal (kategori C). Retinoid Tazarotene topikal digolongkan sebagai obat X. Untuk kasus-kasus yang berat siklosporin oral (kategori C) dapat digunakan. Terapi cahaya UV B aman digunakan pada kehamilan. Bisa juga pemberian psoralen oral yang dikombinasikan dengan cahaya UV A (PUVA) (kategori C).



Lupus eritematosus sistemik (LES)
Merupakan salah satu kelainan autoimun yang mempengaruhi perempuan selama kehamilan. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya 8 dari 11 kriteria, yaitu ruam malar, ruam diskoid, fotosensitif, artritis “oral ulcers”, serositis (bukti adanya efusi perikardiak) gangguan hematologik (anemia), dan gangguan ginjal (proteinuria >0,5 % g/hari).
Pada kehamilan dapat timbul alopesia, eritema pada wajah atau telapak tangan, artralgia, dan edema. Alopesia pada kehamilan disebabkan oleh perubahan fluktuatif dari estrogen, biasanya bersifat difus dan terjadi setelah persalinan.
LES meningkatkan resiko terjadinya abortus spontan, KJDR, preeklampsia, PJT, atau prematuritas. Prognosis untuk ibu dan bayinya biasanya baik bila LES ini sudah dapat diatasi 6 bulan sebelum kehamilan dan terjadi setelah persalinan.
Insidens jarang pada kehamilan. Di Amerika Serikat, prevalensi 14 – 50 kasus per 100.000 populasi. Pada suatu penelitian LES pada perempuan hamil meningkatkan hipertensi, persalinan prematur, seksio sesarea, perdarahan pascapersalinan dan tromboemboli.
Pengelolaan LES dan kehamilan pada dasarnya ditujukkan untuk mencegah kekambuhan atau komplikasi lainnya selama kehamilan atau sesudah persalinan, yaitu :
·                Penderita LES dianjurkan hamil setelah minimal 6 bulan aktivitas penyakit lupusnya terkendali atau dalah keadaan remisi total. Pada nefritis lupus jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total.
·                Edukasi dan latihan / program rehabilitas
·                Pengobatan medikamentosa seperti glukokortikoid dengan dosis sekecil mungkin dibawah 20 mg / hari, dan DMARDs atau obat-obatan lainnya diberikan secara hati-hati sesuai dengan anjuran food and drugs administration.
Penanganan konservatif dilakukan pada LES dengan gejala nonspesifik seperti demam yang tidak terlalu tinggi, mialgia, kehilangan berat badan, fatigue, dan keluhan muskuloskeletal. Pada lesi kutaneus, dapat digunakan analgesik, OAINS, salisilat, steroid lokal, antimalaria, dan tabir surya.
Pengobatan agresif pad LES yang melibatkan CNS, ginjal, jantung, dan hematologik sangat diperlukan. Prednison dosis tinggi diindikasikan pada LES dengan penyulit yang melibatkan organ utama dan beresiko tinggi terjadi kerusakan organ ireversibel.
Penggunaan kortikosteroid selama kehamilan dianggap aman, kecuali penggunaan dalam jangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat memberikan efek pada janin berupa kelainan pertumbuhan ntrauterin dan insufisiensi adrenal. Prednison dan metilprednison sangat kecil kemungkinan dapat menembus plasenta meskipun diberikan dalam dosis besar, sehingga aman diberikan pada ibu hamil.

 Sumber : ilmu kebidanan, sarwono prawiharjo, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar