BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tingkat
infeksi HIV pada perempuan hamil di Negara – Negara Asia diperkirakan
belum melebihi 3 – 4 %, tetapi epideminya berpotensi untuk terjadi lebih
besar. Penelitian prevalensi HIV pada ibu hamil di daerah miskin di
Jakarta pada tahun 1999 – 2001 oleh Kharbiati mendapatkan angka
prevalensi sebesar 2,86 %.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dariAfrika Sub-sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januarti 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta
orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5Juni 1981. Dengan
demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga
3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di
antaranya adalah anak-anak.
Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara,
sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan
sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat
mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman
Sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan
dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman
sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau
sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disea Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah
sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit
dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak
ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak
dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilar Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul pertanyaan yang hendak di jawab,
yaitu :
1. Bagaimana cara mengetahui terjadinya HIV/AIDS ?
2. Apa penyebab terjadinya HIV/AIDS ?
3. Bagaimana cara mencegah HIV/AIDS ?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk memenuhi tugas dari dosen yang bersangkutan di Universitas Gunadarma, fakultas Kebidanan.
2. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang HIV/AIDS yang saat ini perlu di waspadai, serta pencegahan-pencegahan yang perlu dilakukan agar HIV/AIDS ini tidak berujung pada kematian.
1.4 Manfaat Makalah
1. Sebagai
sarana belajar dalam mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari beberapa
buku ke dalam permasalahan yang ada di tengah masyarakat serta menambah
wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat tentang factor penyebab
serta pencegahan HIV/AIDS.
2. Memberikan gambaran tentang HIV/AIDS kepada pembaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome
( AIDS ) adalah sindroma dengan gejala penyakit infeksi oportunistik
atau kanker tertentu akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
( Prawirohardjo, 2008 )
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena
rusaknya system kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus
(atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh
manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap Infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
2.2.ETIOLOGI
Penyebab
timbulnya penyakit AIDS belum dapat dijelaskan sepenuhnya. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa virus HIV telah ada di dalam tubuh
sebelum munculnya penyakit AIDS ini. Namun kenyataan bahwa tidak semua
orang yang terinfeksi virus HIV ini terjangkit penyakit AIDS menunjukkan
bahwa ada faktor-faktor lain yang berperan di sini.
· Penggunaan alkohol dan obat bius,
· kurang gizi,
· tingkat stress yang tinggi
· adanya penyakit lain terutama penyakit yang ditularkan lewat alat kelamin
Faktor
yang lain adalah waktu. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
kesempatan untuk terkena AIDS meningkat, bukannya menurun dikarenakan
faktor waktu.
HIV
secara terus menerus memperlemah sistem kekebalan tubuh dengan cara
menyerang dan menghancurkan kelompok-kelompok sel-sel darah putih
tertentu yaitu sel T-helper. Normalnya sel T-helper ini
(juga disebut sel T4) memainkan suatu peranan penting pada pencegahan
infeksi. Ketika terjadi infeksi, sel-sel ini akan berkembang dengan
cepat, memberi tanda pada bagian sistem kekebalan tubuh yang lain bahwa
telah terjadi infeksi. Hasilnya, tubuh memproduksi antibodi yang
menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-virus yang
berbahaya.
Virus
HIV ini mengubah struktur sel yang diserangnya. Virus ini menyerang
dengan cara menggabungkan kode genetiknya dengan bahan genetik sel yang
menularinya. Hasilnya, sel yang ditulari berubah menjadi pabrik pengasil
virus HIV yang dilepaskan ke dalam aliran darah dan dapat menulari
sel-sel T-helper yang lain. Proses ini akan terjadi berulang-ulang.
Virus yang bekerja seperti ini disebut retrovirus.
Yang membuat virus ini lebih sulit ditangani daripada virus lain adalah
karena virus ini menjadi bagian dari struktur genetik sel yang
ditulari, dan tidak ada cara untuk melepaskan diri dari virus ini. Ini
berarti bahwa orang yang terinfeksi virus ini mungkin terinfeksi seumur
hidupnya. Selain itu dapat berarti bahwa orang yang mengidap HIV dapat
menulari sepanjang hidup.
Cara
virus ini merusak fungsi sistem kekebalan tubuh belum dapat diungkapkan
sepenuhnya. Teori yang terbaru namun belum dapat dibuktikan
kebenarannya menyatakan bahwa rusaknya sistem kekebalan yang terjadi
pada pengidap AIDS mungkin dikarenakan tubuh menganggap sel-sel T-helpernya
yang terinfeksi sebagai “musuh”. Jika demikian kasusnya, lalu apa yang
akan dilakukan oleh mekanisme pertahanan tubuh yaitu mulai memproduksi
antibodi untuk mencoba menyerang sel-sel T yang telah terinfeksi. Akan
tetapi antibodi juga akan diproduksi untuk menyerang sel T-helper
yang tidak terinfeksi, mungkin juga merusak atau membuat sel-sel ini
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jika demikian, HIV akan
menyerang sistem kekebalan tubuh tidak hanya dengan membunuh sel-T
tetapi dengan mengelabuhi tubuh dengan membiarkan tubuh sendiri yang
menyerang mekanisme pertahanannya.
HIV
tidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa virus ini juga merusask otak dan sistem saraf pusat.
Otopsi yang dilakukan pada otak pengidap AIDS yang telah meniggal
mengungkapkan bahwa virus ini juga menyebabkan hilangnya banyak sekali
jaringan otak. Pada waktu yang bersamaan, peneliti lain telah berusaha
untuk mengisolasi HIV dengan cairan cerebrospinal dari orang yang
tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini
benar-benar membuat risau. Sementara para peneliti masih berpikir bahwa
HIV hanya menyerang sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus
ini tetapi tidak menunjukkan gejala terjangkit AIDS atau penyakit yang
berhubungan dengan HIV dapat dianggap bisa terbebas dari kerusakan
jaringan otak. Saat ini hal yang cukup mengerikan adalah bahwa mereka
yang telah terinfeksi virus HIV pada akhirnya mungkin menderita
kerusakan otak dan sistem saraf pusat.
2.3.PENYEBAB
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut
HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala
infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan
memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai
sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya
sekitar 9,2 bulan.
Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang
memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan
HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.
Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang
yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit
yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya
infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV
memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda,
yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang
berbeda-beda pula.
Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang
rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan
penderita bertahan hidup.
2.3.1 Penularan seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih
berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan
seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk
melalui seks oral reseptif maupun insertif.
Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik
terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko
terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan
oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan
kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan
bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan
antarorang. Beban virus
plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban
virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan
laju transmisi HIV.
Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon,
ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar
terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
2.3.2 Kontaminasi patogen melalui darah
Poster CDC tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian narkoba.
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang
digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan
lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan
ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal
sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena
sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO
memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong
negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah
penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara
maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV
dilakukan. Namun demikian, menurut WHO,
mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman
dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah
yang terinfeksi".
2.3.3 Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak
ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan
persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki
akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus
pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi
risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
2.4.TEKNIK PENULARAN
· Tranfusi darah
Contoh : Terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik,
· Cairan Semen
Contoh : Laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.
· Sekret Vagina
Contoh : Wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks, dll.
· Air Susu Ibu / ASI
Contoh : Bayi minum asi dari wanita hiv+, Laki-laki meminum susu asi pasangannya, dan lain sebagainya.
2.5.GEJALA DAN KOMPLIKASI
Infeksi
HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal
sampai pada gejala – gejala yangberat padastadium ang lebih lanjut.
Perjalanan
penyakit lambat dan gejala – gejala AIDS rata – rata baru timbul 10
tahun sesudah infeksi pertama, bahkan bisa lebih lama lagi.
2.5.1 Gejala Utama AIDS
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat
infeksi oleh bakteri, vitrus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut lomfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi
oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis
tempat hidup pasien.
2.5.2 Penyakit paru-paru utama
Foto sinar x pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh pneumocytis jiriovecii. Pneumonia pneumocytis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan
pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang,
penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang
belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali
jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.
Tuberculosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang
terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat
(imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan
mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian,
resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada
penyakit ini.
Meskipun
munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru
lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara
berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi
HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit
paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai
infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
2.5.3 Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus),
yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang
terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare
kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi
karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang
umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV
itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
2.5.4 Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae),
yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah
menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC,
yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan
menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah,
sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat
(progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan
kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.
Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan
kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah
infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah
sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
2.5.5 Kanker dan tumor ganas (malignan)
Sarkoma Kaposi
Pasien
dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).
Sarkoma
Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi
HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8
yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini
sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat
menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang
berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker
kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang
terinfeksi HIV.
2.5.6 Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo.
Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar
(kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada
retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Sistem tahapan infeksi WHO
Pada tahun 1990, World Health Organization
(WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan
memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
a. Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
b. Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang
c. Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
d. Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
2.6.2 Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention
(CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini;
sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya,
contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.
Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi
tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap
AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
2.6.3 Tes HIV
Tes
HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara
mendeteksi adanya antibody HIV
di dalam sample darahnya. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar
seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya,
terutama menyangkut resiko dari perilakunya selama ini.
Secara
umum tes HIV juga berguna untuk mengetahui perkembangan kasus HIV/AIDS
serta untuk meyakinkan bahwa darah untuk transfusi dan organ untuk
transplantasi tidak terinfeksi HIV.
2.6.4 Tes HIV harus bersifat:
a. Sukarela
Artinya
bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain. Ini juga
berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa
saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari
testing, serta apa saja impilkasi dari hasil positif atau pun hasil
negatif.
b. Rahasia
Artinya,
apa pun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negatif) hasilnya
hanya boleh di beritahu langsung kepada orang yang bersangkutan. Tidak
boleh diwakilkan kepada siapa pun, baik orang tua, pasangan, atasan atau
siapapun.
Mengingat
begitu pentingnya untuk memperhatikan Hak Asasi Manusia di dalam
masalah tes HIV ini, maka untuk orang yang akan melakukan tes harus
disediakan jasa konseling, yaitu :
c. Konseling pre-test :
Yaitu
konseling yang dilakukan sebelum darah seseorang yang menjalani tes itu
diambil. Konseling ini sangat membantu seseorang untuk mengetahui
risiko dari perilakunya selama ini, dan bagaimana nantinya bersikap
setelah mengetahui hasil tes. Konseling pre-test juga bermanfaat untuk
meyakinkan orang terhadap keputusan untuk melakukan tes atau tidak,
serta mempersiapkan dirinya bila hasilnya nanti positif.
d. Konseling post-test :
Yaitu
konseling yang harus diberikan setelah hasil tes diketahui, baik
hasilnya positif mau pun negatif. Konseling post-test sangat penting
untuk membantu mereka yang hasilnya HIV positif agar dapat mengethui
cara menghindari
penularan pada orang lain, serta untuk bisa mengatasinya dan menjalin
hidup secara positif. Bagi merek yang hasilnya HIV negatif, konseling
post-test bermanfaat untuk memberitahu tentang cara-cara mencegah
infeksi HIV di masa datang. Perlu diperhatikan bahwa proses konseling,
testing dan hasil tes harus dirahasiakan.
2.6.5 Cara kerja tes :
Jika
seseorang terinfeksi oleh suatu virus, maka tubuhnya akan memproduksi
antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Antibodi ini diproduksi oleh
sistem kekebalan tubuh. Antibodi jauh lebih mudah dideteksi daripada
virusnya.Sebagian besar tes antibodi HIV mendeteksi antibodi terhadap
HIV dalam sample darah. Jika tidak ada antibodi yang terdeteksi,
hasilnya adalah seronegatif atau HIV negatif. Sebaliknya, jika ada
antibodi terhadap HIV, berarti hasilnya seropositif atau HIV positif.
Walaupun
demikian, suatu tes bisa saja memberi hasil negatif bila orang yang
dites baru saja terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh kita
membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi
sejak terjadinya infeksi. Antibodi biasanya dapat dideteksi sekitar 3-8
minggu setelah terinfeksi, dan masa ini disebut periode jendela (window
period). Dalam masa seperti ini, bisa saja seseorang mendapatkan hasil
tes negatif karena antibodinya belum terbentuk sehingga belum dapat
dideteksi , tapi ia sudah bis menularkan HIV pada orang lain lewat
cara-cara yang sudah disebutkan terdahulu.
2.6.6 Jenis - jenis tes HIV :
Berkembangnya
teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV
lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain adalah :
1. ELISA
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay),
tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV.
Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan
setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah
maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu
ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk
jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur.
Hasil
positif pada ELISA BELUM memastikan bahwa orang yang diperiksa telah
terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot
atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi
walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan,
orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah
terinfeksi HIV.
2. Western Blot
Sama
halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan
ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat
disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih
sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.
3. IFA
IFA atau Indirect Fluorescent Antibody
juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya
dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah
satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.
4. PCR Test
PCR
atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat
yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal
dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya
dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti.
Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan
(screening test) darah atau organ yang akan didonorkan.
Tes
darah yang dilakukan biasanya menggunakan tes ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay) yang memiliki sensitivitas tinggi - namun
spesifikasinya rendah. Bila pada saat tes ELISA hasilnya positif, maka
harus dikonfirmasi dengan tes Western Blot, yaitu jenis tes yang
mempunyai spesifikasi tinggi namun sensitivitasnya rendah. Karena sifat
kedua tes ini berbeda, maka biasanya harus dipadukan untuk mendapatkan
hasil yang akurat. Selain kedua jenis tes tadi, ada juga jenis tes lain
yang mampu mendeteksi antigen (bagian dari virus), yaitu NAT (nucleic
acid amplification technologies) dan PCR (polymerase chain reacti
2.7 PENCEGAHAN
Telah
banyak bukti menunjukkan bahwa keberadaan IMS meningkatkan kemudahan
seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh
karena itu, upaya pengendalian infeksi HIV dapat dilaksanakan dengan
melakukan pengendalian IMS.
Tiga
jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui
hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan
tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode
sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada
air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat
catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan
demikian resiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
2.7.1 Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom
pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik
saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko
penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun
manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap
kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak,
adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk
mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual
lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan
minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi
tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat
melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak
produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar
minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki
sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk
dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di
dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus
ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia
dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian
awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita,
hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif
terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita
merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian
terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa
dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap
pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara
menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap
melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang
HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi
HIV.]
Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan
transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara
maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika
sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak
negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan
berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya,
dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi
kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan
perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha
pencegahan ini.
2.7.2 Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja
kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan
sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat
membantu mencegah infeksi HIV.
Semua
organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak
berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan
mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air
pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum
yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang
membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program penukaran jarum.
Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota,
di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara
telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian
perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
2.7.3 Penularan dari ibu ke anak
Penelitian
menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian
makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT).
Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan
dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi
HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal
tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan
dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera
mungkin. Pada tahun 2005,
sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama
melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di
Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
2.8 PENANGANAN
Obat antiretrovirus.
Abacavir – Nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor (NARTI atau NRTI)
Struktur kimia Abacavir
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV
atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan
didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal,
perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus
secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).
PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu.
PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.
2.8.1 Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif(highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor.
Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga
obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau
"kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak
daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih
agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan
HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus
dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV
ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering
resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan
dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.
Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat
pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya
penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.
Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi
dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh
tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah
9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.
Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal
ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir,
terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV
tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam
menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan
individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.
Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur
untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah
kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial,
penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga
kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis,
pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat
anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di
dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk
HIV dan AIDS tersebut.
2.8.2 Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.
Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan
bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki
dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi
beragam efek samping negatif yang serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin
dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang
dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat
kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki
status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium
dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV
melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan
sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang
standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan
terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya
sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun
dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS.
Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut
sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin. Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
2.9 SOSIAL DAN BUDAYA
2.9.1 Stigma
Ryan White
sebagai model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alas an
terinfeksi HIV. Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai
belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara,
antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi,
dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya
uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau
perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap
orang-orang yang terinfeksi HIV.
Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang
untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau
berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu
sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan
menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
· Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.
· Stigma simbolis AIDS
- yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap
kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan
dengan penyakit tersebut.
· Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.
Di banyak negara maju,
terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau
biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang
lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.
Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan
hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara
pasangan yang belum terinfeksi.
2.10 DAMPAK EKONOMI
HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human capital). Tanpa nutrisi
yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara
berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka
tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas
kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya
ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat,
epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh
kakek dan neneknya yang telah tua.
Semakin
tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan
menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang
berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi
anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit
sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk
melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan
mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan
mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital)
pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya
para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa
muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik
seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan
dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah
wajib pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran
untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang
sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban
AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam
mortalitas orang dewasa menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan
penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah, untuk menangani para anak
yatim piatu tersebut.
Pada
tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan
meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya
pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek
pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan
penguburan. Penelitian di Pantai Gading
menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan
biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk
pengeluaran rumah tangga lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
· Dari penjelasan yang diatas dapat disimpulkan bahwa HIV/AIDS dapat diatasi dengan berbagai cara,
· HIV/AIDS dapat terjadi pada semua factor usia .
· HIV/AIDS bisa tertular lewat :
o Tranfusi darah
o Cairan Semen
o Secret vagina
o ASI
3.2. Saran
· Meningkatkan
kualitas pendidikan, serta keterampilan tenaga-tenaga kesehatan agar
dapat menegakkan diagnosis HIV/AIDS agar dapat mengurangi angka
kematian.
· Pada
setiap orang harus diberikan penjelasan, penyebab, dan akibat tentang
HIV/AIDS, agar angka kematian akibat HIV/AIDS dapat menurun.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS
Prawirohardjo, Sarwono. “Ilmu kebidanan”, Jakarta : Abdul Bari Saifudin, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar