Perubahan
fisis dan hormonal yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan
nifas, ada hubungannya dengan beberapa perubahan pada kulit. Sebagian
besar kelainan atau penyakit kulit yang bersamaan dengan kehamilan,
tidak mempengaruhi kehamilan dan tumbuh kembang janinintrauterin secara
murni. Namun, bila diikuti dengan infeksi sekunder sampai terjadi
sepsis, morbiditas maternal dan neonatal dapat meningkat. Dengan
demikian, diperlukan diagnosis pasti sehingga pengobatannya dapat
adekuat, tepat, dan berhasil guna.
Perubahan Kulit Pada Kehamilan
Hiperpigmentasi
Terjadi
pada hampir semua ibu hamil. Hal ini berhubungan dengan adanya
peningkatan efek Melanocyte-Stimulating-Hormone (MSH) atau peningkatan
estrogen dan progesteron. Alt Meyer dan kawan-kawan (1989)
memperlihatkan peningkatan kadar yang bermakna dari α-MSH, melatonin,
adrenokortikotropin, atau hormon adrenokortikotropik (ACTH).
Hiperpigmentasi ringan terutama areola mamma dan kulit sekitar genital.
Leher bisa menjadi lebih gelap, papalomatous, kemudian menjadi
akantosis.
“Melasma”
adalah hiperpigmentasi makular yang menyeluruh paa wajah, terutama di
dahi, pipi, dan hidung. Walaupun istilah cloasma masih tetap dipakai,
ini hanya terbatas pada kasus-kasus yang terjadi selama hamil (topeng
kehamilan). Terjadi pada ± 70 % perempuan hamil, tetapi dapat juga
terjadi pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormon. Menghindari
matahari selama kehamilan membantu mencegah atau meminimalisasi melasma.
Losion sun cream dengan proteksi matahari penting.
Kehamilan
juga dilaporkan dapat menumbuhkan tahi lalat baru atau membesar yang
sudah ada (bisa sampai < 6 mm). Lesi yang mencurigakan dapat segera
dieksisi.
Perubahan Vaskular
Kehamilan
menyebabkan dilatasi dan proliferasi pembuluh-pembuluh darah. Walaupun
ini diduga akibat peningkatan estrogen, mekanismenya belum sepenuhnya
diketahui. Telangiectasis (dilatasi pembuluh darah yang menetap)
tampaknya karena paparan sinar matahari yang kronis atau karena radiasi.
Spider
angioma (nevus araneus) dengan arteriola di tengah, dikelilingi
pembuluh-pembuluh darah seperti laki-laki seekor laba-laba ini lebih
banyak terjadi di area yang terkena matahari. Spider angioma yang
multipel juga bisa terjadi pada penyakit liver (disebabkan oleh
penurunan katabolisme di hepar), dan pada perempuan normal tidak hamil
kelainan ini bisa hilang spontan. Lesi yang menetap bisa diterapi dengan
efek trokogulasi ringan atau laser.
Eritema
palmar bisa terjadi pada banyak ibu hamil normal, tetapi juga bisa
dihubungkan dengan penyakit liver, karena estrogen dan penyakit vaskular
kolagen. Perubahan ini bisa berkurang tanpa terapi dan hilang setelah
persalinan.
Pyogenik
Granulane adalah suatu bentuk nodular yang kemerahan dan berair,
berasal dari proliferasi jeringan granulasi (bukan granuloma
betul-betul, tetapi suatu nodul yang dominan berisi makrofag). Lesi ini
bisa ada di mana saja, tetapi terutama di gingiva.
Terapinya
adalah eksisi atau kauter. Beberapa lesi bisa hilang spontan setelah
melahirkan. Bendungan vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
selama kehamilan, umumnya disebabkan oleh edema kulit dan jaringan
subkutaneus, terutama di vulva dan kaki. Varicosities bisa terjadi di
kaki dan sekitar anus (hemoroid) menghilang setelah melahirkan walaupun
sering tidak sembuh sempurna.
Perubahan jaringan ikat
Perubahan-perubahan
kolagen dan elemen-elemen lain dari jaringan ikat pada kehamilan belum
terlalu jelas. Striae (Stretch Marks) menggambarkan faris-garis lurus di
kulit dan tampak merah keunguan di perut, payudara, paha, dan aksila.
Kadang-kadang lesi ini gatal. Genetik (keturunan) mungkin ada
pengaruhnya. Striae banyak terdapat pada perempuan dengan berat badan
lebih.
Tidak
ada terapi topikal yang bisa mencegah striae. Mungkin hanya mengurangi
kemerahan setelah melahirkan. Minyak olive, santan, vitamin E, tretinon
(Ranger dan kawan-kawan, 2001), dan terapi nutrisi bisa meringankan.
Laser dilaporkan bisa menolong.
Perubahan pertumbuhan rambut
Terdiri
atas 3 fase yaitu anagen, katagen, dan telogen. Lamanya fase
pertumbuhan (anagen) pada tiap folikel rambut menetap 3 – 4 tahun,
dengan rata-rata tumbuh 0,34 mm. Aktivitas ini diikuti fase transisi
(fase katagen) ± 2 minggu, akhirnya berhenti (fase telogen). Bila ada
rambut yang baru, rambut tua akan rontol.
Aktivitas
tiap-tiap folikel tidak bergantung pada folikel di dekatnya. Setiap
waktu ± 10 – 15 % folikel rambut mengalami telogen. Lamanya pertumbuhan
folikel rambut ± 1.000 hari (3 tahun) dan ± 100 batang rambut mengalami
kerontokan setiap hari.
Pada
kehamilan tua, hormon tampaknya meningkatkan jumlah rambut yang anagen
dan menurunkan telogen. Akan tetapi, setelah ibu melahirkan, telogen
meningkat sampai ± 35 % sehingga rambut mengalami kerontokan sampai 3 – 4
bulan setelah melahirkan. Pada kasus yang berat, kerontokan bisa sampai
40 – 50 % rambut hilang.
Hirsutisme
pada fasial bagian bawah bisa disertai akne. Ini disebabkan oleh efek
dari ovarium dan hormon androgen dari plesenta terhadap kelainan
pilosebaseous. Beberapa perubahan kuku juga telah dilaporkan selama
kehamilan, tetapi tidak selalu terjadi. Kuku lebih datar, lebih pucat,
lebih lunak, atau onikolisis distal.
Kelainan Kulit Yang Khas Pada Kehamilan
Sejumlah
kondisi kulit diketahui sebagai hal yang unik selama kehamilan dan
dietmukan lebih sering selama kehamilan. Roger dan kawan-kawan melakukan
penelitian pada 3.200 perempuan hamil dan mendapatkan 1,6 % menderita
pruritus secra bermakna dan 0,6 % menderita pruritus gravidarum. Dikenal
beberapa penyakit kulit yang sering dialami selama kehamilan
Pruritus gravidarum
Pruritus
gravidarum dapat didefinisikan sebagai gatal yang menyeluruh selama
kehamilan tanpa adanya ruam (walaupun bisa ada ekskoriasi). Lebih dari
14 % perempuan hamil menyeluruh gatal, tetapi pruritus sering
dihubungkan dengan kolestatis yang terjadi hanya pada ± 15 % perempuan
hamil dengan kejadian tersering pada trimester III. Derajat gatal
bervariasi, tetapi biasanya lebih berat pada ekstremitas. Gatal sering
terbatas pada dinding perut bagian depan dan biasanya berhubungan dengan
regangan kulit dan timbulnya striae. Gatal karena kolestatis
berhubungan dengan kadar serum asam bilirubin dan tes-tes fungsi hepar.
Ini mengidentifikasikan bahwa ruam-ruam pada perempuan hamil dapat
dilakukan tes fungsi hepar terutama yang pernah mengalami gatal-gatal
tanpa ruam. Pruritus biasanya menghilangkan segera setelah melahirkan,
tetapi berulang sekitar 50 % pada kehamilan berikutnya.
Dilaporkan
adanya peningkatan persalinan rematur dan kematian perinatal terjadi
hanya pada mereka yang secara klinik benar-benar timbul ikterus.
Pengobatan
: secara simptomatik pada kasus yang ringan biasanya cukup dengan
pelicin / pelembab kulit dan antipruritus topikal. Pengobatan dengan
cahaya oltraviolet atau sinar matahari secukupnya juga dapat mengurangi
rasa gatal. Pada kasus yang lebih berat, dapat diberi kolestiramin.
Antihistamin oral dikatakan juga cukup membantu.
Pruritic urticarial papules dan plaques of pregnancy (PUPPP)
Merupakan
penyakit kulit pruritus yang paling sering ditemukan. Ditandai dengan
papul eritematosa, plak, dan lesi urtikaria. Penyebab dan patogenesisnya
tidak diketahui. Biasanya muncul pada trimester III. Sering juga
disebut Polimorphic Eruption of Pregnancy (PEP).erupsi ini disebut juga
Toxaemic rash of pregnancy.
Muncul
pertama kali pada daerah abdomen, biasanya pada daerah regangan striae,
menyebar ke paha, jarang ke bokong dan lengan. Biasanya penyakit ini
tidak didapatkan pada pertengahan badan ke atas dan wajah walaupun
pernah dilaporkan adanya lesi pada wajah pada penyakit yang
berkelanjutan. Kurang lebih 15 %dari pasien tersebut berkembang menjadi
preeklampsia.
Penyebab
dan patogenesis PUPPP belum diketahui. Banyak penelitian yang
melaporkan resiko terjadi PUPPP meningkat pada berat badan ibu yang naik
berlebihan selama kehamilan. Sebuah studi lain menghubungkan antara
jenis kelamin janin dan PUPPP (janin laki-laki dibandingkan perempuan
adalh 2 : 1).
Kebanyakn
pasien mengeluh sangat gatal dan membaik dengan cepat setelah
melahirkan. Rata-rata lesi kulit ini timbul pada umur kehamilan 36
minggu. Sering terjadi pada primipara dan jarang berulang pada kehamilan
berikutnya.
Tidak
didapatkan adanya kelainan hormon atau autoimun. Pada pemeriksaan
histologik didapatkan epidermis normal disertai dengan infiltrasi
perivaskular superfisial dari limfosit dan histiosit serta edema papilar
dermis. Gambaran lainnya berupa epidermis yang mengalami spongiosa
dengan perivaskular dermis dan infiltrasi limfohistiosit unterstitial
sehingga menunjukkan edema yang jelas dan adanya eosinofilia.
Dengan
perwanaan imunofluoresen kulit tidak didapatkan adanya imunoglobulin
atau deposisi komplemen (pada herpes gestasionis, didapatkan antibodi
positif).
Pengobatan :
terapi dengan memakai steroid topikal secara umum berhasil pada
kebanyakan perempuan. Namun, sebagian lagi mungkin memerlukan steroid
sistemik. Obat-obat antipruritus seperti hidroksizin atau difenhidramin
cuku membantu untuk mengatasi rasa gatal. Tujuan utama adalah untuk
mengatasi rasa gatal. Dilaporkan adanya kelainan kulit pada janin,
tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan adanya peningkatan malformasi,
lahir mati, atau prematuritas.
Erupsi papular pada kehamilan (Prurigo Gestationis dan Papular Dermatitis)
Terjadinya
penyakit ini 1 per 5 sampai 200 kehamilan. Lesi umumnya tampak pada
trimester II pada usia kehamilan 25 – 30 minggu. Tampak papul-papul yang
kecil-kecil 1 – 2 mm, tidak ada vesikel ataupun bula, serta menyebar
secara simetris pada badan dan lengan bawah. Penyakit ini hilang setelah
melahirkan.
Pada
prurigo yang menonjol adalah rasa gatal disertai ekskoriasi. Diduga
faktor emosional sangat berperan. Kadang-kadang prurigo gestationis
sulit dibedakan sengan pruritus gravidarum. Namun diagnosisnya dapat
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yaitu adanya erupsi papular
primer dan tidak didaptkan adanya bukti kolestatis. Papular dermatitis
juga menunjukkan bentuk yang lebih berat dan lebih luasnya kelainan
kulit.
Gambaran
histologik popular dermatitis tidak spesifik. Demikian pula
etiologinya. Dalam hal ini dicurigai adanya peranan sensitisasi alergi
terhadap antigen plasenta, di mana jika dilakukan injeksi intradermal
ekstrak plasenta yang berasal dari penderita papular dermatitis akan
menunjukkan reaksi. Namun sebaliknya, ekstrak plasenta yang nirmal tidak
menunjukkan reaksi terhadap penderita popular dermatitis.
Pengobatan
: rasa gatal diatasi dengan pemberi antihistamin dan krem steroid
topikal. Terapi steroid sistemik dosis tinggi tidak diperlukan bagi
hasil luaran janin yang baik. Dilaporkan angka kematian janin 27 %.
Namun, Aronson dan kawan-kawan tidak mendapatkan hasil luaran perinatal
yang buruk pada 16 kehamilan.
Herpes Gestasionis (Pemfigoid Gestasionis)
Suatu
penyakit kulit yang terdiri atas bula, pruritus, dan autoimun, terutama
pada multipara, terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Meskipun
demikian, dapat juga terjadi pada trimester pertama dan pascapersalinan.
Herpes gestasionis yang berat dapat berakibat serius. Namun, penyakit
ini jarang terjadi.
Meskipun
disebut herpes gestasionis, penyakit ini bukan merupakan penybaakit
yang disebabkan oleh virus herpes. Diyakini adanya predisposisi genetik
dimana ada peningkatan frekwensi HLA antigen tertentu.
Gejala
klinik biasanya disertai dengan demam, adanya sensasi panas dan dingin,
malaise, mual, dan sakit kepala. Gejala pada kulit dapat bervariasi
yaitu pruritus, plak eritematosa, lesi yang berupa urtikaria, vesikel
(konfigurasi anular), atau bula yang tegangdan besar. Baik proses
penyakitnya maupun gatal yang menyertai, bila ringan sampai berat. Lesi
umumnya dimulai dari daerah abdomen, sering dalam umbilikus. Area lain
yang terkena adalah badan, bokong, dan anggota gerak. Muka dan membran
mukosa jarang terkena. Penyakit ini dapat berulang pada kehamilan
berikutnya yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih awal dan dapat
lebih berat dari sebelumnya.
Gambaran
histologik : edema subepidermal dengan infiltrasi limfosit, histiosit,
dan eosinofil. Teknik imunofluoresen langsung pada biopsi kulit
didapatkan komplemen C3 dan kadang-kadang deposit IgG sepanjang zona
membrana basalis.
Pengobatan
: beberapa penderita cukup dengan pemakaian steroid dan antihistamin
lokal. Jika tdak menolong, bisa diberi prednison oral 1 mg/kg/hari.
Terapi ini menghilangkan rasa gatal juga menghambat lesi-lesi baru yang
akan muncul. Namun, perlu diingat bahwa pemberi steroid sistemik akan
menghambat produksi estrogen plasenta, sehingga tes estriol urin dan
serum berguna sebagai petunjuk untuk menentukan fungsi plesenta. Janin
dari ibu yang diterapi dengan prednison sebaiknya dimonitor oleh dokter
spesialis anak akan adanya tanda insufsiensi adrenal. 3baru yang akan
muncul. Namun, perlu diingat bahwa pemberi steroid sistemik akan
menghambat produksi estrogen plasenta, sehingga tes estriol urin dan
serum berguna sebagai petunjuk untuk menentukan fungsi plesenta. Janin
dari ibu yang diterapi dengan prednison sebaiknya dimonitor oleh dokter
spesialis anak akan adanya tanda insufsiensi adrenal. Bagian kulit yang
telah menyembuh sering mengalami hiperpigmentasi, tetapi biasanya tidak
mengalami sikatriks. Jika tidak ada perubahan terhadap pemberi terapi
kortikosteroid dapat diberikan Dapson. Pemberian obat imunosupresif
seperti azatioprin kontraindikasi, kecuali jika diberikan
pascapersalinan dan tidak menyusui.
Efek
terhadap hasil luaran janin masih tidak jelas. Holmes dan Black (1984)
serta Shornick dan Black (1992) melaporkan adanya peningkatan persalinan
prematur dan pertumbuhan janin terhambat, tetapi tidak ada kematian
perinatal (40 perempuan dengan herpes gestasionis tiga lahir mati dan
satu abortus spontan pada usia kehamilan 16 minggu). Lesi yang timbul
seperti pada ibu sebanyak 10 % dari neonatus. Namun, lesi ini akan
menghilang dalam beberapa minggu.
Impetigo Herpetiformis
Impetigo
herpetiformis merupakan istilah yang menyesatkan karena bukan merupakan
penyakit bakteri ataupun virus. Nama ini diberikan pada kondisi yang
mirip psoriasis pustular yang tampak pada pasien hamil yang sebelumnya
tidak menderita psoriasis. Namun, beberapa penulis masih tidak setuju
akan penyebab pasti dari impertigo herpetiformis apakah disebabkan oleh
adanya kehamilan atau suatu bentuk psoriasis pustular yang sedrhana yang
dipicu oleh kehmilan. Penyebab pasti kehamilan ini belum diketahui.
Didapatkan adanya hipoparatiroidisme dan hipokalsemia pada penderita,
tetapi kontribusinya masih belum jelas. Namun, hipokalsemia dapat
memperberat penyakit psoriasis pustular.
Oumeish
dan kawan-kawan melaporkan adanya seorang perempuan dengan penyakit
kult yang kambuh dalam sembilan kali kehamilannya. Pada tiga
kehamilannya terjadi hidrosefal dan tiga kematian perinatal (janin) yang
tidak dapat dijelaskan. Perempuan ini juga menderita lesi kulit yang
karakteristik pada saat mendapat estrogen – progesteron oral
kontrasepsi.
Tanda
khas lesi dari impetigo herpetiformis adalah pustul steril yang
terbentuk mengelilingi pinggir suatu daerah yang eritema. Karakteristik
lesi eritematosa dimulai pada daerah lipatan dan selanjutnya meluas ke
parifer. Biasanya meliputi membran mukosa.
Pemeriksaan
histologik menunjukkan adanya lesi mikroabses, dimana terkumpul
neutrofil dalam jumlah yang besar sebagai pustul yang menyerupai spons
dan diberi nama spongioform pustule of kogoj.
Secara
klinik penyakit ini ditandai dengan ratusan pustul steril yang
translusen yang muncul pada suatu dasar eritematosa yang tidak beraturan
atau plak, dengan rasa gatal yang tidak berat. Daerah yang sering
menderita adalah ketiak, daerah di bawah buah dada, umbilikus, paha,
lipatan bokong, tangan , dan juga mengenai kuku (onikolisis). Gejala ini
sering tamak disertai dengan demam, menggigil, mual, muntah, dan diare
disertai dehidrasi berat. Delirium dan kejang merupakan komplikasi yang
jarang timbul, biasanya berhubungan dengan hipokalsemia. Kematian dapat
terjadi bila komplikasi septikemia.
Pengobatan
: dianjurkan pemberian prednison 15 – 30 mg per oral/hari. Antibiotik
diberikan jika disertai infeksi sekunder. Dapat juga diberi pengobatan
topikal dengan kompres basah dengan atau tanpa steroid. Cairan dan
elektrolit, khususnya kalsium harus dimonitor dan dinormalkan. Efek
terhadap janin yaitu tingginya insiden morbiditas dan mortalitas janin.
Tabel 1.1 Perubahan Kulit yang spesifik pada kehamilan
Penyakit
|
Persentase pada kehamilan
|
Bentuk lesi
|
Lokasi terbanyak
|
Umumnya muncul pada trimester
|
Peningkatan kematian janin
|
Pruritus gravidarum
PUPPP
Prurigo gestasionis
Pempighoid gestasionis
Impetigo herpetiformis
Dermatitis Autoimun Progesteron
|
1,5 – 2,0
0,6
0,3
0,002
Sangat jarang
Sangat jarang
|
Pruritus, tidak ada ruam
Papul, plak, urtikaria
Ekskoriasi papul
Papul, vesikel
Pustula
Akne, urtikasria
|
Di mana saja
Perut, paha terutama pada strie
Ekstremitas
Di mana saja
Ketiak, belahan bokong
Bokong, ekstremitas
|
III
III
II
II atau III
, II, atau III
I
|
Ya
Tidak
Tidak
Ya (?)
Ya
(?)
|
Pengaruh kehamilan terhadap penyakit kulit
Beberapa
penyakit kulit dapat mengalami perbaikan pada kehamilan. Namun, ada
pula yang memburuk serta tidak dapat diramalkan pada kehamilan.
Akne Vulgaris
Akne
merupakan penyakit dari pilosebase. Dipengaruhi oleh androgen seperti
testoteron dan dehydropiandrosteron sulfate (DHEA-S), yang meningkatkan
aktivitas kelenjar sebase. Sementara itu, estrogen mengurangi aktivitas
dan ukuran kelenjar sebasea.
Bisa
berupa papul-papul eritametosa, pustul, komedo, dan kista pada wajah,
punggung dan dada. Kehamilan mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap
akne karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi selain hormonal.
Pengobatan :
selama kehamilan akne dapat diobati dengan benzoil peroksidase topikal,
asam salisilat, atau antibiotik topikal seperti eritromisin atau
klindamisin. Sulfonamid oral dan topikal sebaiknya dihindari jika
kehamilan menjelang aterm. Pada keadaan yang lebih berat dapat diobati
dengan eritromisin oral 1 g/hari.
Dermatitis Apotik
Dermatitis
atopik merupakan suatu penyakit kulit yang tidak jelas alasnya,
ditandai oleh dermatitis eksematous dengan disertai rasa gatal yang
intensif. Lensi menjadi liken jika pasien terperangkap dalam siklus
scratch – itch. Tampaknya karena faktor iritabel kulit yang diwariskan
pasien yang mempunyai riwayat pribadi atau keluarga yang dimulai dengan
eksim saat kanak-kanak, asma, demam tinggi, atau rinitis alergika.
Penyakit ini mungkin memburuk (52 %) atau membaik (24 %) selama
kehamilan.
Eritema Nodosum
Patogenesis
yang sebenarnya dari penyakit kulit yang kelihatannya autoimun ini
tidak diketahui. Meskipun demikian, berhubungan dengan peyakit
keganasan, infeksi, obat-obatan, dan kehamilan. Secara klinis ditandai
dengan nodul-nodul eritematosa yang hangat, nyeri di tungkai bawah
bagian anterior, nodul ini kemudian berkembang menjadi lesi ecchimoid
yang seperti memar dan sembuh tanpa jaringan parut dalam 3 – 6 minggu.
Nodul berukuran diameter 1 – 15 cm, multipel, dan biasanya bilateral.
Eritema
nodosum dipresipitasi oleh kehamilan,. Demikian juga pada pemberian
kontrasepsi oral sehingga diduga adannya pengaruh estrogen pada penyakit
ini.
Pengobatan :
ditujukan pada penyakit dasar yang mempresipitasi timbulnya eritema
nodosum. Dilaporkan tidak tampak adanya pengaruh buruk terhadap
kehamilan dan hasil luaran janin.
Penyakit Fox-Fordyce
Insiden
penyakit ini jarang. Sering disebut apokrin miliaria karena dipikir
serupa dengan prickly heat atau heat rash yang melibatkan kelenjar
ekrin. Multipel papul-papul folikular yang gatal dan berbentuk kubah
timbul pada daerah ketiak dan anogenital, daerah yang kaya kelenjar
apokrin. Penyakit ini biasanya mengalami perbaikan selama kehamilan atau
dengan pemberian oral kontrasepsi, kemungkinan karena efek estrogen.
Tampaknya aktivitas kelenjar apokrin menurun selama kehamilan, tidak
seperti pada aktivitas ekrin.
Pengobatan : respon terhadap pemberian steroid beragam.
Pemfigus Vulgaris
Pemfigus
vulgaris merupakan suatu penyakit autoimun yang tidak lazim, berupa
dermatitis bullous, intraepidermal yang penampakkannya mirip dengan
herpes gestasionis tetapi tidak khas pada kehamilan. Pemfigus vulgaris
disebabkan oleh sirkulasi auto antibodi IgG yang menyerang langsung
permukaan sel keratinosit, yang menyebabkan kerusakan kohesi antara
sel-sel epidermal. Hal ini menyebabkan munculnya sejumlah vesikel, lesi
bula, dan selanjutnya erusi kulit dan membran mukosa. Area yang secara
khas terkena adalah lipatan paha, kepala, muka, leher, ketiak, badan,
daerah periumbilikal, dan genetalia. Lesi timbul pada kulit yang
sebelumnya tampak sehat dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut
kecuali jika ada infeksi sekunder. Gambaran histologik ditandai dengan
akantolisis dengan intraepitelial yang melepuh. Imunofluoresensi
menunjukkan adanya deposit IgG pada permukaan sel keratinosit dengan
atau tanpa deposit komplemen. Kebanyakan pasien dengan penyakit yang
aktif menunjukkan sirkulasi antibodi IgG antiepitelial. Karena gambaran
klinik penyakit ini mirip dengan herpes gestasionis dan karena penyakit
ini dapat timbul pertama kali pada kehamilan, sehingga diperlukan
pemeriksaan imunofluoresensi dengan melakukan biopsi untuk membedakan
kedua penyakit bullous ini.
Pengobatan
: sebelum adanya kortikosteroid, angka kematian hampir 100 % karena
sepsis dan gangguan elektrolit. Obat pilihan sekarang ini adalah
steroid, imunosupresan, dan plasmaferesis. Dengan pengobatan seperti ini
angka kematian dapat diturunkan. Resiko janin tampaknya berhubungan
langsung dengan beratnya penyakit pada ibu.
Psoriasis
Adalah
suatu kondisi kulit berupa suatu skuamouspapula yang didapat pada 1 – 3
% dari populasi. Pada umumnya ringan walaupun kadang-kadang bisa
menjadi berat, menyeluruh, atau menjadi artritis psoriasis. Bentuk
pustula sering dikacaukan sebagai bagian dari Impetigo Herpetiformis.
Pada suatu penelitian, psoriasis menetap selama kehamilan pada 43 %
penderita, membaik pada 41 % dan menjadi berat pada 14 % penderita.
Setelah melahirkan, psoriasis menetap pada 37 % pasien, membaik pada 11 %
dan menjadi lebih berat pada 49 %.
Tabel 1.2. Efek kehamilan terhadap penyakit kulit
MEMBAIK PADA KEHAMILAN (BIASANYA)
Penyakit Fox – Fordsyce
Hidradenitis Supuratifa
MEMBURUK PADA KEHAMILAN (BIASANYA)
Kondiloma akuminata
Sindrom Ehlers – Danlos
Eritema multiforme
Eritema nodosum
Herpes simpleks
Lupus eritematosus
Neurofibromatosis
Pemfigus
Pitiriasis rosea
Porfiria
Pseudoxanthoma alasticum
Skleroderma (meningkatkan penyakit ginjal)
Sklerosis tuberosa (meningkatkan kejag)
RESPONSNYA TIDAK DAPAT DIRAMALKAN PADA KEHAMILAN
Akne
Acquired immunodeficiency syndrome
Dermatitis atopik
Dermatomikositis
Melanoma maligna
Psoriasis
|
Psoriasis
pada kehamilan umumnya diterapi dengan kortikosteroid topikal (kategori
C). Retinoid Tazarotene topikal digolongkan sebagai obat X. Untuk
kasus-kasus yang berat siklosporin oral (kategori C) dapat digunakan.
Terapi cahaya UV B aman digunakan pada kehamilan. Bisa juga pemberian
psoralen oral yang dikombinasikan dengan cahaya UV A (PUVA) (kategori
C).
Lupus eritematosus sistemik (LES)
Merupakan
salah satu kelainan autoimun yang mempengaruhi perempuan selama
kehamilan. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya 8 dari 11 kriteria,
yaitu ruam malar, ruam diskoid, fotosensitif, artritis “oral ulcers”,
serositis (bukti adanya efusi perikardiak) gangguan hematologik
(anemia), dan gangguan ginjal (proteinuria >0,5 % g/hari).
Pada
kehamilan dapat timbul alopesia, eritema pada wajah atau telapak
tangan, artralgia, dan edema. Alopesia pada kehamilan disebabkan oleh
perubahan fluktuatif dari estrogen, biasanya bersifat difus dan terjadi
setelah persalinan.
LES
meningkatkan resiko terjadinya abortus spontan, KJDR, preeklampsia,
PJT, atau prematuritas. Prognosis untuk ibu dan bayinya biasanya baik
bila LES ini sudah dapat diatasi 6 bulan sebelum kehamilan dan terjadi
setelah persalinan.
Insidens
jarang pada kehamilan. Di Amerika Serikat, prevalensi 14 – 50 kasus per
100.000 populasi. Pada suatu penelitian LES pada perempuan hamil
meningkatkan hipertensi, persalinan prematur, seksio sesarea, perdarahan
pascapersalinan dan tromboemboli.
Pengelolaan
LES dan kehamilan pada dasarnya ditujukkan untuk mencegah kekambuhan
atau komplikasi lainnya selama kehamilan atau sesudah persalinan, yaitu :
· Penderita
LES dianjurkan hamil setelah minimal 6 bulan aktivitas penyakit
lupusnya terkendali atau dalah keadaan remisi total. Pada nefritis lupus
jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total.
· Edukasi dan latihan / program rehabilitas
· Pengobatan
medikamentosa seperti glukokortikoid dengan dosis sekecil mungkin
dibawah 20 mg / hari, dan DMARDs atau obat-obatan lainnya diberikan
secara hati-hati sesuai dengan anjuran food and drugs administration.
Penanganan
konservatif dilakukan pada LES dengan gejala nonspesifik seperti demam
yang tidak terlalu tinggi, mialgia, kehilangan berat badan, fatigue, dan
keluhan muskuloskeletal. Pada lesi kutaneus, dapat digunakan analgesik,
OAINS, salisilat, steroid lokal, antimalaria, dan tabir surya.
Pengobatan
agresif pad LES yang melibatkan CNS, ginjal, jantung, dan hematologik
sangat diperlukan. Prednison dosis tinggi diindikasikan pada LES dengan
penyulit yang melibatkan organ utama dan beresiko tinggi terjadi
kerusakan organ ireversibel.
Penggunaan
kortikosteroid selama kehamilan dianggap aman, kecuali penggunaan dalam
jangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat memberikan efek pada janin
berupa kelainan pertumbuhan ntrauterin dan insufisiensi adrenal.
Prednison dan metilprednison sangat kecil kemungkinan dapat menembus
plasenta meskipun diberikan dalam dosis besar, sehingga aman diberikan
pada ibu hamil.
Sumber : ilmu kebidanan, sarwono prawiharjo, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar