BAB II
PEMBAHASAN
1. Penyakit jantung
Keperluan
janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah
dan berlangsungnya kehamilan, yang harus di penuhi dalam darah ibu.
Banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja
lebih berat. Karena itu, dalam kehamilan selalu terjadi
perubahan-perubahan dalam system kardiovaskular yang biasanya masih
dalam batas-batas fisiologik
Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan:
- karena hidremia (hipervolemia)dalam kehamilan, yang sudah dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya antara 32 dan 36 minggu;
- karena uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan, sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.
Adams
mendapatkan peningakatan volume plasma darah yang dimulai kira-kira
akhir trimester pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ke 32-34,
yang selanjutnya menetap selama trimester terakhir kehamilan, di mana
volume darah bertambah sebesar 22%. Besar dan saat terjadinya
peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah
merah; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan
darah)
Setelah
12-24 jam pascapersalinan terjadi peningkatan volume plasma karena
proses imbibisi cairan dari ekstravaskuler ke dalam pembuluh darah yang
kemudian akan diikuti oleh periode diuresis pascapersalinan yang
mengakibatkan terjadinya penurunan volume plasma (adanya
hemokonsentrasi). Dua minggu pascapersalinan merupakan periode
penyesuaian untuk kembali ke nilai volume plasma seperti sebelum hamil.
Dalam
kehamilan frekuensi detik jantung agak meningkat dan nadi rata-rata
mencapai 88 per menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan
lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan pula sering terdengan
bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Kita harus waspada
dalam membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan apbila di
jumpai gejala-gejala seperti itu. Jadi hendaknya jangan kita membuat
diagnosis penyakit jantung pada wanita yang tidak menderitanya, dan
sebaliknya penyakit jantung jangan sampai tidak dikenal.
Saat-saat berbahaya bagi penderitra ialah:
1. kehamilan 32-36 minggu apabila hipervolemia mencapai puncaknya.
2. partus kala II apabila wanita mengerahkan tenasganya untuk meneran
3. masa
postpartum, karena dengan lahirnya plasenta anastomosis arteria-vena
hilang dan darah yang sehrtusnya masuk kedalam ruang intervilus sekarang
masuk ke dalam sirkulasi besar.
Dalam tiga hal tersebut diatas jantung harus bekerja lebih berat. Apabila tenaga volume cadangan jantung di lampau, maka terjadi dekompensasi kordisi; janting tidak sanggup lagi menunaikan tugasnya.
Perubahan
volume plasma darah yang terjadi pada penderita penyakit jantung
merupakan proses adaptasi sebagai upaya konpensasi untuk mengatasi
kelainan yang ada dan jangka waktu kelainan yang timbul. Penderita
dengan gangguan kardiovaskular mempunyai toleransi yang sangat buruk
terhadap penurunan volume darah dan pada saat yang sama juga tidak
beradaptasi terhadap kelebihan volume sirkulasi. Volume darah yang
terdapat dalam sirkulasi penderita berada dalam keseimbangan sesuai
dengan kelainan yang ada.
Perubahan volume darah yang di temukan pada penderita penyakit jantung dapat digolongkan dalam 3 kategori.
1) Oligositemik-hipoplasmik-hipovolemia: keadaan ini di temukan pada penderita yang mengalami steonosis katup.
2) Polisitemik-hiperplasmik-hipervolemia:
di temukan pada penyakit jantung bawaan di mana terjadi campuran
antara darah arteri dan vena, hubungan arteri dan vena, regurgitasi dan
hambatan aliran darah.
3) Polisitemik-normoplasmik
atau hiperlasmik hipervolemia ditemukan pada penderita penyakit
jantung bawaan, di mana terjadi campuran darah arteri dan vena yang
hebat, tetraligy fallot, defek septum, dan patensi duktus arteriosus.
Raharja,
rachimhadhi, prihartono dan samil (1988) mendapatkan volume plasma
pada kasus penyakit jantung kelainan katup dalam kehamilan, lebih
rendah dari kehamilan normal baik pada usia kehamilan 32 minggu, partus
kala I maupun saat dua minggu postpartum; dengan anemia sebagai
penyerta yang sering di temukan.
Gejalah
klinis tampak bahwa makin meningkat kelas fungsional penyakit jantung
yang di derita, maka volume darah cenderung lebih rendah.
Sebaliknya
penyakit jantung memberi pengaruh tidak baik pada kehamilan dan janin
dalam kandungan. Apabila ibu menderita hipoksia dan sianosi, hasil
konsepsi dapat menderita pula dan mati, kemudian disusul oleh abortus.
Apabila konsepsinya dapat hidup terus, anak dapat lahir premature atau
lahir cukup bulan akan tetapi dengan berat badan rendah (dismaturitas).
Selain itu janin bisa menderita hipoksia dan
gawat janin dalam persalinan, sehingga neonatus lahir mati atau dengan
nilai AFGAR rendah. Ditemukan konplikasi prematuritas dan BBRL pada
penderita penyakit jantung dalam kehamilan lebih sering terjadi pada ibu
dengan volume plasma pada usia kehamilan 32 minggu dan partus kala I
yang lebih rendah. Juga nifas yang merupakan masa yang berbahaya dan
mengancam keselamatan ibu.
Hampir
semua kelainan kardiovaskuler, baik yang bawaan maupun yang di
peroleh, baik yang organic maupun yang fungsionil, dapat dijumpai pada
wanita hamil, hanya frekuensi masing-masing tidak sama. Frekuensi
penyakit jantung dalam kehamilan kira-kira 1-4%; yang tersering ialah
penyakit jantung akibat demam rheuma.
Suryadi dan samil RSCM mendapatkan 31 dari 39 (79,48%)
kasus penyakit jantung dalam kehmilan adalah dengan kelainan katoup
kronik, di mana 96,777% dengan kelainan katup mitral, 87,09% dengan
kelainan dasar steonosis katup mitral. Sebagian kasus berada dalam
kelompok kurun reproduksi sehat yaitu 20-29 tahun dengan paritas 2-5.
pada tahun 1987 paritas ini bergeser menjadi lebih banyak pada paritas
0-1. disini tampak bahwa peran keluarga berencana cukup besar untuk
dapat menurunkan kejadian penyakit jantung dalam kehamilan. Dalam
tahu-tahun terakhir sering pula dijumpai kelainan jantung bawaan.
Diagnosis
Dari
anamnesis sudah sering diketahui wanita itu penderita penyakit
jantung, baik sejak masa sebelum ia hamil maupun dalam
kehamilan-kehamilan yang terdahulu. Terutama
penyakit demam rheuma mendapat perhatian khusus dalam anamnesis,
walaupun bekas penderita demam rheuma tidak selalu menderita kelainan
jantung.
Burwell
dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria, satu di antaranya sudah cukup
untuk membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan:
1) Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus;
2) Pembesaran jantung yang jelas;
3) Bising jantung yang nyaring, terutama bila disertai thyill;
4) Aritmia yang berat.
Wanita hamil
yang tidak menunjukkan salah satu gejala tersebut di atas jarang
menderita penyakit jantung. Penyakit jantung berat tidak sulit untuk di
kenal. Akan tetapi, karena diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan
lebih sulit seperti di jelaskan di atas, maka jika ada kemungkinan adanya penyakit tersebut harus di minta pendapat seorang dokter yang lebih ahli. Bising diastolic atau presistolik yang di sertai pembesaran jantung yang cukup khas bagi stenosis mitralis akibat demam rheuma.
Klisifikasi penyakit jantung dalam kehamilan
Klasifiakasi
penyakit jantung yang sifatnya fungsionil dan berdasarkan
keluhan-keluhan yang dahulu dan sekarang di alami oleh penderita-seperti
telah di terima oleh New York Heart Association- sangat praktis dalam
penanggulangan dan penentuan prognosis penyakit jantung dalam
kehamilan.
Klasifikasi itu sebagai berikut.
Kelas I
Para
penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik, dan
tanpa gejala-gejala penyakit jantung apabila mereka melakukan kegiatan
biasa.
Kelas II
Para penderita penyakit jantung dengan sedikit
pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu
istirahat, akan tetapi kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala-gejala
insufiensi jantung, seperti kelelahan, jantung berdebar (palpitasi
kordis), sesak nafas atau angina pectoris.
Kelas III
Para
penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi
kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa menimbulkan gejala-gejala
insufiensi jantung seperti di sebut dalam kelas II.
Kelas IV
Para
penderita penyakit jantung yang tidak mapu melakukan kegiatan fisik
apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat timbul
gejalah-gejalah insufiensi jantung, yang bertambah apabila mereka
melakukan kegiatan fisik walaupun yang sangat ringan.
Penanganan
Penanganan
wanita hamil dengan penyakit jantung, yang sebaiknya di lakukan dalam
kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiog, banyak ditentukan
oleh kemampuan fungsionil jantungnya.
Kelainan
penyerta sebagai factor predisposisi yang dapat memperburuk fungsi
jantung ialah: 1) peningkatan usia penderita dengan penyakit jantung
hipertensi dan superimposed preeklamsia dan eklamsia; 2) aritmia jantung
.atau hipertrofi ventrikel kiri; 3) riwayat dekompensasi kondisi; 4)
anemia.
Sebaliknya, Hipotensi
juga tidak baik, terutama pada wanita dengan septum terbuka. Apabila
hal-hal di atas tidak di cegah, maka penderita masuk ke kelas yang lebih
tinggi. Kenaikan berat badan yang berlebihan, infejksi, serta retensi
air harus di cegah, dan anemia harus di obati.
Pengobatan
dan penatalaksanaan penyakit jantung dalam kehamilan tergantung pada
derajat fungsionilnya, dan ini harus ditemukan pada setiap kunjungan
periksa hamil.
Kelas I
Tidak ada pengobatan tambahan yang di butuhkan
Kelas II
Umumnya
penderita pada keadaan ini tidak membutuhkan pengobatan tambahan,
tetapi mereka harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada
kehamilan usia 28-32 minggu.
Kelas III
Yang
terbaik bagi penderita seperti ini adalah di rawat di rumah sakit
selama hamil, terutama pada usia kehamilan 28 minggu. Biasanya
dibutuhkan pemberian diuretika.
Kelas IV
Penderita dalam keadaan ini mempunyai resiko yang besar dan harus di rawat di rumah sakit selama kehamilannya.
Apabila
timbul gejala-gejala dekonfensasi kordis, wanita harus segera di rawat
dan digolongkan kedalam kelas satu tingkat lebih tinggi.penderita
harus istirahat baring dan diberi pengobatan dengan digitalis. Dalam
persalingan diperlukan pengawasan khusus dan sedapat-dapatnya
diusahakan partus pervaginam. Seksio sesarea hanya dapat dilakukan atas
indikasi obstetric, seperti plasenta previa dan disproporsi
sefalo-pelvik.
Kala
persalinan biasanya tidak berbahaya. Rasa nyeri dan penderitaaan perlu
dikurangi, lebih-lebih apabila persalinan akan diperkirakan
berlangsung cukup lama. Pendekatan secara psikologis supaya ibu tetap
tenang dan merasa aman mempunyai pengaruh yang sangat baik. Untuk
mencegah timbulnya dekompensasi kordis sebaiknya dibuat daftar
pengawasan khusus untuk pencatatan nadi dan pernapasan secara berkala :
dalam kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Apabila
nadi menjadi lebih dari 100/menit dan pernapasan lebih dari 28/menit,
lebih-lebih apabila disertai sesak napas, maka keadaan sangat berbahaya
( dekompensasi kordis membakat ) dan wanita harus diobati dengan
digitalis. Biasanya disuntik intravena perlahan-lahan dengan delabosit
1,2 mg – 1,6 mg dengan dosis permulaan 0,8 mg. suntikan dapat diulang
satu atau dua kali lagi dengan selang waktu 1-2 jam. Disamping itu
pemberian oksigen, morfin (10-15 mg) dan diuretikum, seperti furosemik
(lasix), bemanfaat pula.
Dalam kala II, apabila timbul gejala-gejala dekompensasi, anak boleh lahir spontan, hanya ibu sedapat-dapatnya dilarang meneran. Apabila janin belum lahir setelah
persalinan kala II berlangsung 20 menit atau ibu tidak dapat dilarang
meneran kuat, maka sebaiknya persalinan diakhiri dengan forseps atau
ekstraktor vakum. Selain itu penderita dapat menunjukkan gejala-gejala
gawat jantung selama kehmilan dan pendarahan postpartum, infeksi nifas
dan trombo-embolismus merupakan komplikasi yang jauh berbahaya bagi ibu
dengan penyakit jantung. Sebaiknya penderita jantung dirawat di RS
sekurang-kurangnya 14 hari setelah melahirkan dengan istirahat dan
mobilisasi tahap demi tahap serta menghindari infeksi.
Penderita
dalam kelas III dan IV tidak boleh hamil karena bahaya terlampau
besar. Apabila ia hamil juga, maka pada kehamilan kurang dari 12
minggu, abortusterapiutik perlu dipertimbangkan. Pada kehamilan
berjalan terus, untuk mencegah timbulnya dekompensasi, sebaiknya ia
harus berbaring terus selama kehamilan dan nifas. Sekali terjadi
dekompensasi dalam jalannya kehamilan penderita mutlak harus dirawat
dan berbaring terus sampai setelah anak lahir. Setelah kala III
selesaiharus dilakukan pengawasan yang ketat untuk terjadinya gagal
jantung atau edemaparu.
Penanganan
penderita dalam kelas IV pada dasarnya sama dengan apa yang dilakukan
bagi penderita yang mengalami dekompensasi dalam kehamilan , persalinan
dan nifas. Tujuan utama ialah memberabtas dekompensasi, karena dengan
hanya demikian persalinan akan berlangsung cukup aman.
Penyakit Jantung reumatik
Perubahan
kehamilan yang menyulitkan diagnosis demam rematik adalah : nyeri
sendi pada wanita hamil mungkin oleh karena sikap tubuh yang memikul
beban yang lebih besar sehubungan denga kehamilannya serta meningkatkan
laju endap darah dan jumlah leukosit. Bila terjadi demam rematik pada
kehamilan maka prognosisnya akan burk.
Adanya aktifitas demam rematik dapat diduga bila terdapat :
1. Suhu subfebris dengan takikardi yang lebih cepat dari semestinya.
2. Leukositosis dan laju endap darah yang tetap tinggi.
3. Terdengar desir jantung yang berubah-ubah sifatnya maupun tempatnya, dan
4. C reaktif protein positif dan ASTO 300Todd unit atau lebih.
Kelainan otot jantung-
Kelainan
katup jantung yang sering di jumpai pada kehamilan berturut-turut
adalah mitral stenosis(MS), gabungan MS dengan mitral insufiensi
(MS-MI), mitral insufiensi(MI), aorta stenosis(AS), aorta insufiensi
(AI), gabungan antara AS dan AI (AS-AI), penyakit katup pulmonal dan
penyakit katup trikuspidal.
Angka
kejadian kelainan katup jantung di RSCM(1983) berkisar 69%-79% dari
penyakit jantung dalam kehamilan. Penelitian luar negeri mendapatkan
angka antara 85%-95%; perbedaan ini kemungkinan besar di sebabkan oleh
perbedaan tingkat sarana diagnostik.mengingat indonesia adalah negara
yang sedang berkembang dengan tigkat sosioekonomi yang belum maju,
sebenarnya di harapkan angka kejadian kelainan katup jantung lebih
tinggi di bandingkan dengan negara yang sudah maju.
Mitral stenosis
Mitral
stenosis (MS) merupakan bagian terbesar dari penyakit jantung rematik
dalam kehamilan. Kehamilan akan memperbesar terjadinya komplikasi MS
berupa edema paru dan atrial fibrilasi. Komplikasi dapat terjadi pada
kehamilan, persalinan, ataupun dalam masa nifas. Kejadian dapat terjadi
tiba-tiba setelah persalinan tanpa memberikan gejalah awal lebih dulu.
Pada
MS, setiap peningkatan aliran darah menyebabkan peningkatan tekanan
pada atrium kiri, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler paru.hal
ini mengakibatkan risiko untuk terjadinya komplikasi bendungan
pembuluh darah paru atau edema paru menjadi lebih besar. Gejalah
bendungan paru akan tampak pada usia kehamilan 20 minggu dan semakin
besar pada saat persalinan. Bertambahnya frekuensi denyut jantung akan
memendekkan waktu diastolik untuk mengalirkan darah ke katup mitral.
Untuk mempertahankan curah jantung yang normal, maka di perlukan
peningkatan tekanan atrium kiri. Meningkatnya volume darah paru
menyeababkan pelebaran dari sistem paskuler paru, bertambahnya beban
atrium kirisering menimbulkan komplikasi berupa fibrilasi atrial.
pada
beberapa penderita, bising diastolik pada MS menjadi kurang jelas
terdengar pada kehamilan oleh karena perubahan posisi jantung. Bunyi
jantung III terdengar pada beberapa wanita hamil sering di salah
tafsirkan sebagai opening snap. Selama kehamilan, hiperventilasi sering
di salahtafsirkan sebagai dispnoe. Komplikasi yang terpenting dari MS
adalah edema paru dan payah jantung kanan. Pada payah jantung biasanya
terjadi gangguan miokardium, kardiomegali dan fibrilasi atrial.
Mitral insufiensi
Diagnosis
mitral insufiensi (IM) di tegakkan bila terdengar bising sistolik
derajat III atau lebih. Sebaiknya tidak membuat diagnosis MI organik
selama kehamilan bila hanya berdasarkan bising sistolik saja, sebsb
bising sistolik di apeks dapat ditemukan pada lebih dari 50% wanita
hamil normal.
MI
mengakibatkan bertambahnya beban volume atrium kiri dan ventrikel
kiri, jaang menyebabkan hipertensi atrium kiri dan hipertensi pulmonal.
Dekompensasijantung kiri dapat terjadi pada MI apabila sudah
berlangsung lama sekali. Komplikasi yang sering menyertai MI adalah
bendungan paru ringan, fibrilasi atrial, paroksismal atrial takikardi,
emboli paru dan endokarditis bakterialis.
Tindakan
bedah harus dipikirkan bila ditemukan tanda kemunduran fungsi
ventrikel kiri berupa fraksi ejeksi, volume dan bentuk ventrikel kiri.
Apabila terjadi payah jantung kiri, maka prognosisnya buruk oleh karena
terjadi kerusakan miokardium yang menetap.
Aorta stenosis
Aorta
stenosis( AI), terjadi aliran darah balik dari aorta ke ventrikelkiri
pada waktu diastolik. Darah yang kembali dengan darah dari atrium kiri
ke ventrikel kiri menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel
kiri sewaktu diastolik. Ventrikel kiri menyesuaikan dengan memperbesar
kemampuan menampung darah sewaktu diastolik sehingga tidak terjadi
peninggian tekanan ventrikel kiri, atrium kiri dan pembuluh pulmonal.
Dapat
di temukan bising diastolik pada sela iga II kanan atau sepanjang
garis sternalis kiri yang mulai terdengar segera setelah bunyi jantung
II. Bising menjadi lebih jelas pada posisi duduk atau berdiri sesudah
ekspirasi yang dalam, iktus kordis lebih lateral dari yang normal dan
para perifer di temukan tekanan nadi yang besar, pulsasi arterial dapat
terlihat di kuku dan pistol shoot sound pada arteri besar terutama
arteri femoralis.tindakan bedah harus di prtimbangkan bila di temukan
tekanan nadi yang bertambah, pembesaran jantung pada foto rontgen dan
hipertrofi miokardium pada EKG. Juga pada penderita dengan
keluhan sedikit namun mengalami pembesaran jantung dalam waktu yang
singkat atau penurunan fungsi ventrikel pada pemeriksaan invasif maupun
non-invasif.
Penyakit katup pulmonal
Kelainan
katup pulmonal oleh demam rematik dalam kehamilan jarang terjadi.
Dengan meningkatkannya frekuensi pemakaian obat-obatan intervena, maka
frekuensi kerusakan katup pulmonal dapat meningkat.
Penyakit katup trikuspidal
Kelainan katup trikuspidal juga sangat jarang terjadi pada kehamilan. Gejala kelainan katup ini biasanya tertutup oleh gejala penyakit katup mitral atau katup aorta yang terjadi bersamaan.
Kardiomipati peripartum
Kardiomiopati
peripartum adalah penyakit miokardium idiopatik yang terjadi pertama
kali pada trimester III kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan.
Kriteria kardiomiopati paripartum adalah: 1) terjadi pertama kali
antara trimester III kehamilan sampai 5 bulan pertama setelah
melahirkan; 2) etiologi tidak dapat di temukan dan 3) tidak pernah
menderita penyakit jantung sebelumnya.
Kelainan jantung bawaan
Biasanya
kelainan jantung bawaan di ketahui oleh penderita sebelum kehamilan,
akan tetapi kadang-kadang di kenal oleh dokter pada pemeriksaan fisik
waktu hamil. Pada usia reproduksi dapat di jumpai koarktatio aortae,
duktus arteriosus botalli persistens, defek septum serambi dan bilik,
serta stenosis pulmonalis. Penderita tetralogi fallot biasanya tidak
sampai usia dewasa kecuali apabila penyakit jantungnya dioperasi.
Pada umumnya penderita kelainan jantung bawaan tidak mengalami
kesulitan dalam kehamilan asal penderita tidak sianosis dan tidak
menunjukkan gejalah-gejalah lain dari luar kehamilan.
Penyakit jantung bawaan dibagi atas: 1) golongan sianotik (right to left
shunt); 2) golongan asianotik (left to righ shunt)
Golongan sianotik
Tetralogi fallot. Tetralogi fallot terdiri atas 4 kelainan yaitu defek septum ventrikel,stenosis pulmonal,over riding aorta,hipertrofi
ventrikel kanan.Pada tekanan tertentu darah akan mengalir ke ventrikel
kiri sewaktu sistole sehingga aorta menerima darah campuran antara
darah arteri dan vena.Dengan semakin lanjutnya proses,maka tekanan di
ventrikel kanan makin meningkat dan hipertrofi bertambah sehingga
sianosis bertambah.
Penyakit
eisenmenger. Pada penyakit ini di temukan kelainan berupa: defek
septum ventrikel (VSD), hipertrofi ventrikel kanan, aorta bergeser ke
kanan bersamaan dengan dilatasi arteri pulmonalis dan resistensi
pembuluh darah pulmonal yang meningkat. Pada kehamilan terjadi
penurunan resistensi perifer, akibat kelainan ini maka terjadi aliran
darah dari kanan ke kiri. Prognosis penyakit ini di tentukan oleh
derajat hipertensi pulmonal.
Golongan asianotik
Patent
ductus arteriosus (PDA). PDA adalah keadaan di mana masih tetap ada
hubungan aorta dengan arteri pulmonal.akibatnya darah dari aorta
sebagian masuk ke arteri pulmonalis karena tekanan darah dalam aorta
lebih besar sehingga tekanan darah dalam arteri pulmonalis bertambah.
Bila keadaan ini berlangsung lama, tekanan dalam arteri pulmonalis akan
menjadi lebih besar daripada tekanan dalam aorta, sehingga aliran darah
dari arteri pulmonalis ke aorta.
PDA dalam kehamilan itu berbahaya bila terjadi hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan kelemahan otot jantung.
Atrial
septal defek (ASD). ASD adalah keadaan di mana septum interatrium
tetapterbuka. Perubahan hemodinamik yang nyata terjadi bila diameter
septum 2 cm atau lebih. Akibat ASD terjadi aliran darah dari atrium kiri
ke kanan sehingga aliran darah di paru-paru bertambah dan darah atrial
dan venous bercampur. Keadaan ini dapat mengakibatkan hipertensi
pulmonal dan dekompensasi ventrikel kanan. Bahaya dalam kehamilan
terutama kalau terjadi hipertensi pulmonal yang dapat menyebabkan aliran
darah yang terbalik.
Ventrikel
septal defek (VSD). VSD adalah penutupan sekat antara ventrikel kiri
dan ventrikel kanan tidak sempurna. Bila lubang terletak di atas,
kelainan sering bersamaan dengan kelainan lain, seperti ASD dan stenosis
pulmonalis. Tempat yang sering ialah di bawah katup aorta.
Pada
kehamilan sehubungan dengan perubahan hemodinamik, hipertensi pulmonal
lebih mudah terjadi. Apabila hal ini terjadi, dekompensasi ventrikel
kanan akan terjadi dan sangat membahayakan pasien.
2. Asma
Asma
bronkiale merupakan salah asatu penyakit saluran nafas yang sering
dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Penderita biasanya pernah
berobat kedokter lain.
Pengaruh
kehamilan terhadap timbulnya serangan asma tidaklah selalu sama pada
setiap penderita, bahkan asma, serangannya tak sama pada kehamilan
pertama dan berikutnya. Kurang dari sepertiga penderita asma akan
membaik dalam kehamilan, lebih dari 1/3 akan menetap, serta kurang dari
1/3 lagi akan menjadi buruk atau serangan bertambah. Biasanya serangan
akan timbul mulai usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan pada
akhir kehamilan serangan jarang terjadi.
Pemeriksaan
yang dilakukan oleh tim ahli asma Kalifornia (tahun 1983) pada 120
kasus asma yang hamil, dan terkontrol baik, terdapat 90% dari penderita
tidak pernah dapat serangan dalam persalinan, 2.2% menderita serangan
ringan dan hanya 0.2% yang menderita asma berat yang dapat diatasi
dengan obat-obat intravena. Pengaruh asma pada ibu dan
janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu
dan janin akan kekurangan oksigen (02) atau hipoksia. Keadaan hipoksia
bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering
terjadi keguguran, persalinan prematur atau berat janin tidak sesuai
dengan usia kehamilan (gangguan pertumbuhan janin).
Faktor
pencetus timbulnya asma, antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran
nafas, pengaruh udara dan faktor psikis. Penderita selama kehamilan
perlu mendapat pengawasan yang baik, pegawasan yang baik, biasanya
penderitamengeluh napas pendek, berbunyi, sesak dan batuk-batuk.
Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan.
DEFINISI
Asma adalah penyakit paru kronis yang melibatkan berbagai varietas immune sistem cell, yang menyebabkan timbulnya respon bronkus berupa wheezing, dyspne, batuk, dan dada terasa berat
Asma adalah penyakit paru kronis yang melibatkan berbagai varietas immune sistem cell, yang menyebabkan timbulnya respon bronkus berupa wheezing, dyspne, batuk, dan dada terasa berat
PATOFISIOLOGI
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, & 16 termasuk reseptor IgE yang afinitasnya tinggi, kelompok gen sitokin dan reseptor antigen T-cell sedangkan lingkungan yang menjadi allergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostaglandin D2 dan leukotrienes. Karena prostaglandin seri F dan ergonovine dapat menjadikan asma, maka penggunaannya sebagai obat – obat dibidang obstetric sebaiknya dapat dihindari jika memungkinkan.
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, & 16 termasuk reseptor IgE yang afinitasnya tinggi, kelompok gen sitokin dan reseptor antigen T-cell sedangkan lingkungan yang menjadi allergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostaglandin D2 dan leukotrienes. Karena prostaglandin seri F dan ergonovine dapat menjadikan asma, maka penggunaannya sebagai obat – obat dibidang obstetric sebaiknya dapat dihindari jika memungkinkan.
PEMERIKSAAN
1. Riwayat
1. Riwayat
Pasien dengan riwayat asma
yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat
serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu,
riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang
pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami
dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau
membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada
waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau
penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih
besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit
dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan
serangan berat yang berbahaya.
Gejala
yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat.
Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya
aliran udara. Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada
refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak
sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata
tidak terjadi.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada table berikut dibawah ini
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1(% predicted)
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1(% predicted)
a. Alkalosis respiratori sedang Normal ↓ ↑ 65 – 80
b. Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64
c. Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
d. Asidosis respiratori ↓ ↑ ↓ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada
awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi, sebagai refleksi dari
PO2 arteri normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratori. Akibat
penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan ventilasi
perfusi menjadi bertambah berat juga dan arterial hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena fatigue menjadikan retensi CO2.Pada hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang terjadikegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan asidemia.
Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi pada wanita tidak hamil namun, setiapa awal derajat tingkatan asma
sangat berbahaya untuk wanita hamil dan bayinya. Penurunan kapasitas
fungsi residu dan peningkatan efektif shunt menyebabkan wanita hamil
lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.
3. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan
fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan
akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa
dalam satu detik (FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC)
mengalami penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga
perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75). Dapat juga
dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC).
4. Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
a. Spirometri
Pengukuran
yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan
terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1
inisial kurang dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga
paling sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat
selama 1 jam.
b. Gas-gas Darah Arteri (GDA)
Ketimpangan
ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas
akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial
[P(A-a) O2] yang berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan.
Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan
tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan.
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.
c. Foto Thorax
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.
c. Foto Thorax
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan
PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Asma sewaktu kehamilan terutama asma
yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko
komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur
dan berat badan lahir rendah.
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.
Walaupun
beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal.
Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma dibandingkan dengan 8772 wanita yang dipilih secara random sebagai kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan,
perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio
sesar. Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%.
EFEK PADA FETUS
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi :
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output
Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat – obatan asma terhadap fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat – obat anti asma akan membahayakan fetus.
Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan
8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan
seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra
terhadap ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma.
Penanganan
- mencegah timbulnya stress
- menghindari faktor resiko (pencetus) yang sudah diketahui, secara intensif.
- mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacam yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan.
- pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat lokal yang berbentuk inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol.
- pada keadaan lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat dihilangkan dengan satu atau lebih dari obat di bawah ini.
- epinefrin yang telah dilarutkan (1 : 1000), 0,2-0,5 ml, disuntikkan subkutis.
- Isoproterenol (1 : 100) berupa inhalasi 3-7 hari.
- Oksigen
- Aminofilin 250-500 mg (6 mg/kg) dalam infus glukose 5%
- Hidrokortison 260-1000 mg IV pelan-pelan atau perinfus dalam dextrose 10%.
Hindari
penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena dapat membuat
gangguan pada janin, dan diberikan antibiotika kalau ada sangkaan
terdapat infeksi. Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan
tetapi bila penderita masih dalam serangan dapat diberi pertolongan
dengan tindakan seperti dengan ekstraksi vakum atau forseps. Tindakan
seksio sesarea atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan.
3. Ginjal
Dalam kehamilan terdapat perubahan-perubahan fungsional dan anatomic ginjal dan saluran kemih yang
sering menimbulkan gejala-gejala dan kelainan fisik dan hasil
pemeriksaan laboratorium.perubahan anatomi terdapat peningkatan
pembuluh darah dan ruangan interstisial pada ginjal. Ginjal akan
memanjang kurang lebih 1 cm dan kembali normal setelah melahirkan.
Ureter juga mengalami pemanjangan, melekuk dan kadang berpindah letak ke
lateral dan akan kembali normal 8-12 minggu setelah melahirkan.
Selain
itu juga terjadi hiperlpasia dan hipertrofi otot dinding ureter dan
kaliks, dan berkurangnya tonus otot-otot saluran kemih karena pengaruh kehamilan. Akibat pembesaran uterus hiperemi organ-organ pelvis dan pengaruh hormonal terjadi perubahan pada kendung kemih yang dimulai pada kehamilan
4 bulan. Kandung kemih akan berpindah lebih anterior dan superior.
Pembuluh-pembuluh di daerah mukosa akan membengkak dan melebar. Otot
kandung kemih mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen.
Kapasitas kandung kemih meningkat sampai 1 liter karena efek relaksasi
dari hormon progesterone.
Perubahan Fungsi
Segera
sesudah konsepsi, terjadi peningkatan aliran plasma (Renal Plasma
flow) dan tingkat filtrasi gomerolus (Gomerolus Filtration Rate). Sejak
kehamilan trimester II GFR akan
meningkat 30-50 %, diatas nilai normal wanita tidak hamil. Akibatnya
akan terjadi penurunan kadar kreatinin serum dan urin nitrogen darah,
normal kreatinin serum adalah 0,5-0,7 mg/100 ml dan urea nitrogen darah
8-12 mg/100 mll.
Secara empiris, kehamilan dengan kelainan ginjal kronis merupakan kehamilan dengan risiko yang sangat tinggi. Karena kehamilan sendiri bisa menyebabkan kelainan2 pada ginjal seperti infeksi saluran kemih, hipertensi dan lain sebagainya.
Insufisiensi Ginjal Kronis
Insufisiensi Ginjal Kronis
Perhatian terhadap wanita hamil dengan penyakit ini menjadi dua kali lipat, karena satu: efek kehamilan terhadap fungsi ginjal dan dua: efek kelainan ginjalnya terhadap kehamilan.
Efek kehamilan terhadap fungsi ginjal
Efek kehamilan terhadap fungsi ginjal
Bisa terjadi penurunan fungsi ginjal. Secara umum prognosa tergantung derajat dengan gangguan ginjal pada saat konsepsi, serta adanya kelainan2 penyerta, seperti tekanan darah tinggi dan bocornya protein (proteinuria). Fungsi ginjal
biasanya bertahan dengan kondisi insufisiensi yang
moderat.Insufisiensi ringan jika kadar serum creatinine <1.5 mg%,
sedang jika kadar serum creatinine 1.5-2.4 mg% dan berat jika kadar
serum creatinine >2.5 mg%
Penyebab menurunnya fungsi ginjal, pada beberapa pasien bahkan tidak diketahui. Adanya hipertensi memberi kontribusi memburuknya fungsi ginjal. Infeksi saluran kencing juga bisa memperburuk fungsi ginjal. Proteinuria yang sering terjadi pada wanita hamil bisa mempengaruhi fungsi ginjal.
Efek insufisiensi ginjal terhadap kehamilan
Secara umum, janin bisa bertahan hidup sangat besar yaitu 95%. Namun pada
pasien yang menjalani dialisis (cuci darah)angkanya menjadi 52%.
Penderita dengan gangguan ringan bisa mengalami komplikasi berupa BBLR,
persalinan kurang bulan dan lahir mati.
Penanganan
Kunjungan ANC harus lebih sering. Beberapa penulis menganjurkan kontrol tiap 2 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan seminggu sekali sesudahnya. Kontrol tekanan darah pada kunjungan. Lakukan test urin terhadap adanya protein serta lakukan skrining akan adanya infeksi saluran kencing. Erythropoietin dapat diberikan jika penderita mengalami anemia namun harus hati2 karena bisa memperburuk hipertensi.
Kunjungan ANC harus lebih sering. Beberapa penulis menganjurkan kontrol tiap 2 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan seminggu sekali sesudahnya. Kontrol tekanan darah pada kunjungan. Lakukan test urin terhadap adanya protein serta lakukan skrining akan adanya infeksi saluran kencing. Erythropoietin dapat diberikan jika penderita mengalami anemia namun harus hati2 karena bisa memperburuk hipertensi.
Kehamilan pada pasien cuci darah
Penyakit ginjal yang membutuhkan dialisis biasanya menurunkan kesuburan. Kehamilan bisa terjadi pada
1 % pasien terutama ditahun awal dialisis. Penyebab infertilitasnya
tidak diketahui pasti, diduga karena berbagai faktor (multifaktorial).
42% wanita yang menjalani dialisis haidnya masih tetap normal, tetapi
tidak berovulasi (anovulatoir). Anemia juga berperan dan pemakaian
erythropoietin didapatkan meningkatkan angka kehamilan.
Secara umum, kehamilan dilarang (kontra indikasi) pada pasien dialisis. Luaran janin selalunya jelek. Hanya 23-55% kehamilan yang bayinya bisa hidup. Kebanyakan terjadi abortus pada
TM II. Bayi yang bertahanpun masih memiliki kelainan yaitu 85% lahir
kurang bulan (prematur)dan 28%-nya BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)atau
SGA (Small For Gestasional Age). Komplikasi ibu juga ada seperti
kematian ibu.
Diagnosis awal kehamilan juga agak sukar karena kadar HCG penderita dialisis juga tinggi. jika diduga hamil maka lakukan segera pemeriksaan USG.
Rekomendasi buat penderita dialisis yang hamil
Masukkan
pasien dalam daftar transplantasi. Selama dialisa, lakukan monitor
janin dan ibu, hindari terjadinya hipotensi akibat dialisa. Pemakaian
erythropoietin bisa meningkatkan harapan hidup janin, namun harus hati2
karena bisa menimbulkan hipertensi. Peningkatan frekuensi dialisa bisa
memperbaiki mortalitas dan morboditas (kesakitan).
Penanganan Obstetri
Penanganan Obstetri
Penyebab kematian dan kesakitan bayi pada pasien dengan kelainan ginjal
adalah persalinan kurang bulan. Masih ada perdebatan tentang
melahirkan bayi secara elektif lebih cepat dari waktunya sekitar(34-36
minggu) pada pasien dengan insufisiensi ginjal kronis atau yang sedang menjalani dialisis terutama jika paru janin sudah matang.
PIELONEFRITIS KRONIKA
Pielonefritis
kronika biasanya tidak atau sedikit sekali menunjukkan gejala-gejala
penyakit saluran kemih, dan merupakan predisposisi terjadinya
pielonefritis akuta dalam kehamilan. Penderita mungkin menderita tekanan
darah tinggi. Pada keadaan penyakit lebih berat didapatkan penurunan tingkat
filtrasiglumerolus (G. F. R), dan pada urinalisis urin mungkin normal,
mungkin ditemukan protein kurang dari 2 g per hari, gumpalan sel-sel
darah putih.
Prognosis
bagi ibu dan janin tergantung dari luasnya kerusakan jaringan ginjal.
Penderita yang hipertensi dan insufiensi ginjal mempunyai prognosis
buruk. Penderita ini sebaiknya tidak hamil, karena resiko
tinggi. Pengobatan penderita yang menderita pielonefritis kronika ini
tidak banyak yang dapat dilakukan, dan kalau menunjuk kearah
pielonifritis akuta, terpi seperti yang telah diuraikan. Perlu
dipertiimbangkan untuk terminasi kehamilan pada penderita yang menderita
pielonifritis kronika.
GLOMERULONEFRITIS AKUTA
Glomerulonefritis
akuta jarang dijumpai pada wanita hamil. Penyakit ini dapat timbul
setiap saat dalam kehamilan, dan penderita nefritis dapat menjadi
hamil. Yang menjadi penyebab biasanya Streptococcus beta-haemolyticus
jenis A. Sering ditemukan bahwa penderita pada saat yang sama atau
bebrapa minggu sebelumnya menderita infeksi jalan pernapasan,
tonsillitis, atau infeksi lain-lain oleh sterptokokkus, suatu hal yang
menyokong teori infeksi fokal.
Gambaran klinik ditandai oleh timbulnya himaturia dengan tiba-tiba, edema dan hipertensi pada
penderita yang sebelumnya tampak sehat. Kemudian sindroma ditambah
bdengan oliguria sampai anuria, nyeri kepala, dan mundurnya visus
(retinitis albuminika). Diagnosis menjadi sulit apabikla timbul serangan
kejang-kejang dengan atau tanpa koma yang disebabkan oleh komplikasi
hipertensi serebral, atau oleh uremia, atau apbila timbul ederma paru-paru
akut. Apbila penyakitnya diketahui dalam triwulan III., maka perbedaan
dengan pre-eklampsia dan eklampsia selalu harus dibuat. Pemeriksaan
air kencing menghasilkan sebagai berikut ; sering proteinuria,
ditemukan eritrosit dan silinder hialin, silinder koler dan silinder
eritrosit.
Pengobatan
sama dengan diluar kehamilan dengan perhatian khusus, istirahat
baring, diet yang sempurna dan rendah garam, pengendalian hipertensi
serta keseimbangan cairan dan elektrolit. Untuk pemberantasan infeksi
cukup diberi pensillin, streptokokkus peka terhadap
penisillin. Apbila ini tidak berhasil, maka harus dipakai antibiotika
yang sesuai dengan hasil tes kepekaan.
Biasanya
penderita sembuh tanpa sisa-sisa penyakit dan fungsi ginjal yang tetap
baik. Kehamilan dapat berlangsung sampai lahirnya anak hiduup, dan
apabila diingankan oleh wanita boleh hamil lagi dikemudian hari. Ada
kalanya penyakit menjadi menahun dengan segala akibatnya. Pada umumnya
prognisis bagi ibu cukup baik. Kematian ibu sangat jarang, dan apbila
terjadi biasanya itu disebabkan oleh dekompensasi kordis, komplikasi
serebro-vaskuler, anuria dan uremia.
Kehamilan tidak banyak
mempengaruhi jalan penyakit. Sebaliknya glomerulonoefritiss akuta
mempunyai pengaruh tidak baik terhadap hasil konsepsi; terutama yang
disertai tekanan darah yang sangat tinggi dan insufisiensi ginjal, dapat
menyebabkan abortus, partus prenaturus dan kematian janin.
GLOMERULONEFRITIS KRONIKA
Wanita
hamil dengan glomerulonefritis kronika sudah menderita penyakit itu
beberapa tahun seebalumnya. Karena itu, pada pemeriksaan kehamilan
pertama dapat dijumpai protenuria sedimen yang tidak normal, dan
hipertensi. Apabila gejala-gejala penyakit baru timbul dalam kehamilan
yang sudah lanjut, atau ditambah dengan pengaruh kehamilan (superimposed
pre-eklampsia), maka lebih sulit untuk membedakannya dari
pre-eklampsia murni
Suatu
ciri tetap ialah makin memburuknya fungsi ginjal karena makin lama
makin banyak kerusakan yang diderita oleh glomerulus-glomerulus ginjal,
bahkan sampai tercapai tingkat akhir, yakni apa yang disebut ginjal kisut. Penyakit ini dapat menampakkan diri dalam 4 macam;
1. Hanya terdapat protenuria menetap dengan atau tanpa kelainan sedimen
2. dapat menjadi jelas sebagai sindrtoma nefrotik
3. dalam bentuk mendadak seperti pada glomerulonefritis akuta, dan
4. gagal ginjal sebagai penjelmaan pertama.
Keempat-empatnya dapat menimbulkan gejala-gejala insufiensi ginjal dan penyakit kardiovaskuler hipertensif.
Selain
proteinuria, kelainan sedimen dan hipertensi, dapat pula dijumpai
edema (terutama dimuka), dan anemia. Pemeriksaan kimiawi darah
menunjukkan kadar urea-nitrogen, kadar asidum urikum, dan
kadar kreatinin yang tinggi. Pengeluran fenusulfonftalein dan
kreatinin oleh ginjal lebih lambat.
Pengobatan
tidak memberi hasil yang memuaskan karena penyakitnya bertambah berat.
Peningkatan penyakit, tensi yang sangat tinggi, dan tambahan dengan
pielonefritis akuta harus ditanggulangi dengan seksama. Dalam hal-hal
terakhir pengakhiran kehamilan perlu dipertimbangkan. Sebaiknya
penderita glumerulonefritis kronika tidak menjadi hamil. Karena
kerusakan ginjal berbeda beda pada waktu penderita ditemukan hamil, maka
sulit untuk menafsirkan pengaruh kehamilan pada jalan penyakit. Yang
tanpa kehamilan tidak mempercepat proses kerusakan ginjal, walaupun
sebaliknya dapat pula terjadi.
Prognosis
pada ibu akhirnya buruk; ada yang segera meninggal, ada yang agak
lama,hal itu tergantung dari luasnya kerusakan ginjal waktu diagnosis
dibuat, dan ada atau tidak adanya faktor-faktor yang mempercepat proses
penyakit.
Prognosis
bagi janin dalam kasus tertentu tergantung pada fungsi ginjal dan
derajat hipertensi. Wanita dengan fungsi ginjal yang cukup baik tanpa hipertensi yang berarti dapat melanjutkan kehamilan sampai cukup bulan walaupun biasanya bayinya lahir dismatur akibat insufiensi plasenta. Apabila penyakit sudah berat, apalagi disertai
tekanan darah yang sangat tinggi, biasanya kehamilan berakhir dengan
abortus dan partus prematurus, atau janin mati dalam kandungan.
SINDROMA NEFROTIK
Sindroma
nefrotik, yang dahulu dikenal dengan nama nefrosis, ialah suatu
kumpulan gejala yang terdiri atas edema, proteinuria (lebih dari 5 gram
sehari), hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Mungkin sindroma ini
diakibatkan oleh reaksi antigen-antibodi dalam pembulu-pembuluh
kapiler glomelurus. Penyakit-penyakit dapat menyertai sindroma nefrotik
ialah glumerulnefritis kronika (paling sering), lupus eritematotus,
diabetes mellitus,amiloidosis, sifilis dan trombosis vena renalis.
Selain itu sidroma ini dapat pula timbul akibat keracunan logam berat
(timah, air raksa), obat-obat anti kejang, serta racun serangga.
Apabila
kehamilan disertai sindroma nefrotik, maka pengobatan serta prognosis
ibu dan anak tergantung pada faktor penyebabnya dan pada beratnya
insufiensi ginjal.
Sedapat
mungkin faktor penyebabnya harus dicari jika perlu, dengan biopsi
ginjal. Penderita harus diobati dengan seksama, pemakaian oba-obat yang
menjadi sebab harus dihentikan. Penderita diberi diet tinggi protein.
Infeksi sedapat-dapatnya dicegah dan yang sudah ada harus diberantas
dengan antibotika. Tromboembolismus dapat timbul dalam nifas. Sibermen
dan Adam mengajukan pengobatan antibeku (heparin) dalam nifas pada
wanita dengan sindroma nefrotik. Dapat pula diberi obat-obat
kortikostiroid dalam dosis tinggi.
GAGAL GINJAL MENDADAK DALAM KEHAMILAN
Gagal
ginjal mendadak (acute renal failure) merupakan komplikasi yang sangat
gawat dalam kehamilan dan nifas, karena dapat menimbulkan kematian,
atau kerusakan fungsi ginjal yang tidak bisa sembuh lagi. Kejadiannya 1
dalam 1300-1500 kehamilan.
Kelainan ini didasario oleh dua jenis patologi.
1. Nekrosis tubular akut, apabila sumsum ginjal mengalami kerusakan.
2. Nekrisis kortikal biletral apabila smpai kedua ginjal yang menderita.
Penderita
yang mengalami sakit gagal ginjal mendadak ini sering dijumpai pada
kehamilan muda 12-18 minggu, dan kehamilan telah cukup bulan. Pada
kehamilan muda, sering disebabkan oleh abortus septik yang disebabkan
oleh bakteri Cholostridia welchii atau sterptokokkus. Gambaran klinik
yaitu berupa sepsis, dan adanya tanda-tanda oligluria mendadak dan
azothemia serta pembekuan darah injtravaskuler (DIC= disseminate
intravascular coagyulation), sehingga terjadi nekrosis tubular yang
akut. Kerusakan ini dapat sembuh kembali bila kerusakan tubulus tidak
terlalu luas dalam waktu 10-14 hari. Sering kali dilakukan tindakan
histeriktomi untuk mengetasinya, akan tetapi ada peneliti yang
menganjurkan tidak perlu melakukan operasi histerektomi tersebut asal
pada penderita diberikan antibiotika yang adekuat dan intensif serta
dilakukan dialisis terus menerus smapai fungsi ginjal baik. Lain hyalnya
dengan nekrosis kortikal yang bilateral, biasanya dihubungkan dengan
solusio plasenta, pre-eklampsia beraty atau eklampsia, kematian janin
dalam kandungan yang lama, emboli air ketuban yang mnyebabkan terjadi
DIC, reaksi transfusi darah atau pada pendarahan yang bnyak dapat
menimbulakan eskemi.
Penderita
dapat meninggal dalam waktu 7-14 hari setelah tinbulnya anuria.
Kerusakan jaringan dapat terjadi dibeberapa tempat yang tersebar atau
keseluruh jaringan ginjal.
Pada
masa nifas sulit dikethui sebabnya, sehingga disebut sindrom ginjal
idiopatik potspartum. Penanggulangan pada keadaan ini, penderita diberi
infus, atau transfusi darah, diperhatikan keseimbangan elektrolit dan
caira dan segera dil;akukan hemodialisis bila ada tanda-tanda uremia.
Banyak penderita membutuhkan hemodialisis secara teratur atau dilakukan
transpalantasi ginjal untuk ginjal yang tetap gagal. Gagal ginjalo
dalam kehamilan ini dapat dicegah bila dilakukan:
1. Penanganan kehamilan dan persalinan dengan baik
2. Perdrahan, syok, dan infeksi segera diatasi atau diobati dengan baik
3. Pemberian trnasfusi darah dengan hati-hati
BATU GINJAL DAN SALURAN KEMIH (UROLITIASIS)
Batu
saluran kemih dalam kehamilan tidaklah bisa. Frekuensinya sangat
sedikit 0,03-0,07%. Walaupun demikian perlu juga diperhatikan karena
urolitiasis ini dapat mendorong timbulnya infeksi saluran kemih, atau
menimbulkan keluhan pada penderita berupa nyeri mendadak, kadang-kadang
berupa kolik, terutama mengenai penyakit saluran kencing, untuk
membantu membuat diagnosis urotilisis. Diagnosislebih tepat dengan
melakukan pemeriksaan intravenus pielografi, akan tetapi janin harus
dilindungi dari efek penyinaran. Dewasa ini dapat pula dengan USG
(ultrasonografi) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Bila diketahui
adanya urolitiasis dalam kehamilan, tetapi pertma adalah analegenika
untuk menghilangkan sakitnya, diberi cairan banyak agar batu dapat
kebawah, karena hampir 80% batu akan dapat turun kebawah, serta
antibiotika.
Pada
penderita yang membutuhkan tindakan operasi,sebaiknya operasi
dilakukan setelah trimester pertama atau setelah post partum. Pada batu
buli-buli, bila batu tersebut diperkirakan menghalangi jalannya persalinan, kehamilan dihalangi dengan seksio sesarea, dan batu diangkat post prtum dengan seksio alta atau litotrisi.
GINJAL POLIKISTIK
Ginjal
polikistik merupakan kelainan bawaan (herediter). Kehamilan umumnya
tidak mempengaruhi perkembangan pembentukan kista pada ginjal, begitu
pula sebaliknya. Akan tetapi fungsi ginjal kurang baik, maka kehamilan
akan memperberat atau merusak fungsinya. Sebaliknya wanita yang telah
mempunyai kelainan sebaiknya tidak hamil karena kemungkinan timbul
komplikasi akibat kehamilan selalu tinggi.
TUBERKULOSIS GINJAL
Jarang
dijumpai wanita hamil dengan tuberkulosis ginjal, walaupun dalam
literetur disebutkan ada. Kehamilan akan mempengaruhi TBC ginjal
tersrbut bila tidak diobati. TBC pada ginjal dapat hamil terus, asal
fungsi ginjalnya baik. Terapi TBC ginjal sama dengan terapi TBC
organ-organ lain. Untuk membuat dagnosis TBC ginjal diperlukan
laboratorium khusus.
KEHAMILAN PASCA NEFREKTOMI
Para
penderita yang mempunyai satu ginjal karena kelainan kongenital atau
pasca nefrektomi, dapat atau boleh hamil sampai aterm asal fungsi
ginjalnya normal. Perlu pemeriksaan fungsi ginjal sebelum hamildan
selama kehamilan dan diawasi dengan baik, karena kemungkinan timbulnya
infeksi saluran kemih. Persalinan dapat berlangsung pervaginam kecuali
dalam keadaan- keadaan tertentu.
KEHAMILAN PASCA TRANSPLANTASI GINJAL
Akhir-
akhir ini terdapat laporan tentang kehamilan sampai cukup bulan,
setelah wanita mengalami transplantasi ginjal. Prognosisnya cukup baik,
bila ginjal yang diimplantasikan tersebut berasal dari donor yang
hidup. Selama kehamilan mungkin timbul komplikasi pada ibu dan
janinnya.
Kira-
kira 50% kehamilan akan berakhir dengan kelahiran prematur, dan
mungkin pula timbul komplikasi hipertensi, proteinuria, atau infeksi
saluran kemih. Pada ginjal sendiri mungkin dapat timbul kerusakan yang
sifatnya dapat pulih kembali normal.
Bila
ginjal yang ditransplantasikan tersebut berasal dari ginjal donor yang
telah meninggal (kadaver), maka kemungkinan akan terjadi kerusakan
atau fungsi ginjal akan memburuk setelah 1 tahun, sehingga pada wanita
tersebut harus dilakukan dialisis terus- menerus untuk mempertahankan
kehidupannya. Wanita yang menginginkan hamil setelah dapat transplantasi
ginjal, haruslah diawasi ketat oleh specialis Obstetri dan Spesialis
Penyakit Ginjal.
Sebaiknya
tentu wanita ini tidak hamil lagi. Davidson dkk mengajukan 8 kriteria
yang harus dipenuhi oleh seorang wanita yang telah mendapat
transplantasi ginjal, untuk diperbolehkan hamil.
1. Kesehatan penderita dalam keadaan baik dalam waktu 1- 2 tahun setelah transplantasi ginjal.
2. Tidak ada kontraindikasi obstetri untuk hamil.
3. Tidak ada proteinuria.
4. Tidak ada tanda-tanda penolakan graft
5. Fungsi ginjal harus baik, dengan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar kreatinin darah antara 0,8-2 mg/ml
6. Tidak ada tanda-tanda bendungan, yang dibuktikan dengan pemeriksaan urogram
7. Tidak ada tanda-tanda hipertensi
8. Mendapat terapi
- Prednison 10-15 mg/hari
- Azothioprin 2-3 mg/kg bb/perhari
Perlu
diperhatikan kriteria davidson tersebut, agar wanita yang mempunyai
transplantasi ginjal dapat ditolong sehingga kehamilan tidak membuat
penderita atau janin mengalami komplikasi yang tidak diharapkan sama
sekali.
4. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus pada kehamilan
adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu)
maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang
menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui.
Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin
sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu.
Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang
mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama
dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen,
steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya resopsi makanan maka
terjadi hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
Diagnosis
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion. Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan factor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion. Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
Klasifikasi
a. Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
a. Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
b.
Tergantung insulin (TI) – Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu
kasus yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.
Pengaruh kehamilan pada diabetes
Glukosuria
renal sering dijumpai dalam kehamilan. Kelainan ini terdapat tidak
karena kadar glukosa darah tinggi, melainkan karena ambang ginjal
terhadap glukosa rendah. Karena itu diabetes dalam kehamilan tidak bisa
dinilai dari pemeriksaan reduksi urin
Pengaruh diabetes pada kehamilan
Diabetes mempengaruhi timbulnya komplikasi dalam kehamilan sebagai berikut.
Pengaruh dalam kehamilan
Dalam kehamilan diabetes dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut :
a. Abortus dan partus prematurus
b. Pre-eklampsia
c. Hidramnion
d. Kelainan letak janin
e. Insufisiensi plasenta
Pengaruh dalam persalinan
Penyulit yang sering dijumpai pada persalinan ialah :
a. Inertia uteri dan atonia uteri
b. Distosia bahu karena anak besar
c. Kelahiran mati
d. Lebih sering pengakhiran partus dengan tindakan
e. Lebih mudah terjadi infeksi
f. Angka kematian maternal lebih tinggi.
Pengaruh dalam nifas
Diabetes
lebih sering mengakibatkan infeksi nifas dan sepsis, dan menghambat
penyembuhan luka jalan lahir, baik ruptur perineum maupun luka
episiotomi.
Pengaruh diabetes pada bayi
Diabetes mempunyai pengaruh tidak baik terhadap hasil konsepsi, dan dapat terjadi penyulit sebagai berikut :
a. Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abotus
b. Cacat bawaan terutama diabetes yang telah diderita lama sekitar 20 tahun atau lebih
c. Dismaturitas
d. Janin besar (makrosomia)
e. Kematian dalam kandungan
f. Kematian neonatal
g. Kelainan neurologik dan psikologik dikemudian hari.
Komplikasi
Maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
Fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
Maternal : infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
Fetal : abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
Neonatal
: prematuritas, kematian intra uterin, kematian neonatal, trauma
lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia,
syndroma gawat nafas, polisitemia.
Penatalaksanaan
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarkan pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg.
Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarkan pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg.
Penatalaksanaan Obstetric
Pantau
ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus
memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan
36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat
janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa.
Ibu
hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya
terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya
>20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan biasanya memerlukan insulin.
5. Tuberkulosis Paru
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, BB menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan adanya ronkhi basal, suara caverne atau pleural effusion. Penyakit ini mungkin bentuknya aktif atau kronik, dan mungkin pula tertutup atau terbuka.
Pada penderita yang
dicurigai menderita TBC Paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan
tuberkulosa tes kulit dengan PPD (puirified protein derivate) 5u, bila
hasil positif dilanjutkan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu
diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X, pada penderita
TBC Paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk membuat
diagnosis secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan / uji sensitivitas.
Pada janin dengan ibu TBC Paru jarang dijumpai TBC congenital, janin
baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui ibunya.
Penatalaksanaan :
Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Sebagian besar obat anti TBC aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan harus diganti dengan etambutol, pasien hamil dengan TBC Paru yang tidak aktif tidak perlu mendapat pengobatan. Sedangkan pada yang
aktif dianjurkan untuk menggunakan dua macam obat atau lebih untuk
mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu
diikutkan karena paling aman untuk kehamilan, efektifitasnya tinggi dan harganya lebih murah.
Obat-obatan yang dapat digunakan
1. Isoniazid
(INH) 300 mg/hari. Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati
sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang,
mual dan muntah. Oleh karena itu –perlu diperiksa faal hati
sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara obat harus segera
dihentikan.
2. Etambutol 15-20 mg/kg/hari. Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat sedikit dan pada janin belum ada.
3. Streptomycin 1gr/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, jangan digunakan dalam kehamilan
trimester I. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli
bawaan (ototoksik). Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan
pada penderita karena harus disuntikan setiap hari.
4. Rifampisin
600mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi
memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan sehingga sebaiknya
tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
Pemeriksaan
sputum harus dilakukan setelah 1-2 bulan pengobatan, jika masih
positif perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat, bila pasien
sudah sembuh lakukan persalinan secara biasa. Pasien TBC aktif harus
ditempatkan dalam kamar bersalin terpisah, persalinan dibantu Ekstraksi
Vacum atau Forcep. Usahakan pasien tidak meneran, berikan masker untuk
menutupi mulut dan hidung agar kuman tidak menyebar. Setelah persalinan
pasien dirawat di ruang observasi 6-8 jam, kemudian dapat dipulangkan
langsung. Pasien diberi obat uterotonika dan obat TBC tetap harus
diteruskan. Penderita yang tidak mungkin pulang harus dirawat di ruang isolasi, karena bayi cukup rentan terhadap penyakit
ini, sebagian besar ahli menganjurkan pemisahan dari ibu jika ibu
dicurigai menderita TBC aktif, sampai ibunya tidak memperlihatkan
tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan
sputum sebanyak 3 kali yang selalu memperlihatkan hasil negatif.
Pasien TBC yang menyusui harus mendapat regimen pengobatan yang
penuh. Semua obat anti TBC sesuai untuk laktasi sehingga pemberian
laktasi dapat dengan aman dan normal. namun bayi harus diberi suntikan
mantoux, mendapat profilaksis INH dan imunisasi BCG.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagai
kesimpulan, penyakit yang menyertai kehamilan itu diantaranya adalah
penyakit jantung, ginjal, tbc paru, asma, dan diabetes mellitus. Semua
penyakit ini memberikan dampak pada kehamilan sehingga semua penyakit
harus bisa ditangani dengan baik sehingga dampak yang ada tidak besar
atau minimal atau bahkan tidak ada dampak yang ditimbulkan pada
kehamilan baik itu pada ibu maupun pada janin.
Selain
itu, dalam penangan penyakit-penyakit ini harus diperhatikan dalam
pemberian obat-obatan. Karena dengan pemberian obat-obatan yang salah
dapat memberikan efek terutama kepada sang janin. Sehingga kita harus
mengetahui jenis obat-obatan yang boleh diberikan kepada ibu hamil dan
juga yang tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Jangan sampai kita
bermaksud memberikan pengobatan untuk kesembuhan tapi malah menyebabkan
efek teratogenik pada janin.
B. SARAN
Sebagai
saran kami, sebagai penolong persalinan kita harus bisa mendeteksi
secara dini penyakit-penyakit yang menyertai kehamilan sehingga dapat
meminimalkan atau menghilangkan resiko cacat atau kematian janin. Kita
harus bisa megetahui penanganan yang tepat atau pengobatan yang aman
buat kehamilan ibu sehingga persalinan dapat berjalan secara fisiologi.
Selain itu, kesadaran dari ibu untuk memeriksakan diri selama hamil
sehingga tidak dapat terdeteksi secara dini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. http://74.125.153.132/search?q=cache:hYhALXaLwCAJ:www.drdidispog.com/2009/03/kehamilan-dengan-penyakit-ginjal.html+penyakit+ginjal+pada+kehamilan&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses pada tanggal 8 Maret 2010.
Anonim. 2009. http://74.125.153.132/search?q=cache:hYhALXaLwCAJ:www.drdidispog.com/2009/03/kehamilan-dengan-penyakit-ginjal.html+penyakit+ginjal+pada+kehamilan&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id#ixzz0hlLto5o7. Diakses pada tanggal 9 Maret 2010
Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan Keluarga berencana untuk Pendidikan Bidan. EGC : Jakarta
Prawiroharjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar