Apakah Epilepsi merupakan Penyakit Keturunan??
Ayan, atau dalam bahasa medik dikenal dengan nama epilepsi, telah dikenal manusia sekitar dua ribu tahun sebelum Masehi
Air ludah atau buih yang keluar dari mulut penyandang epilepsi dianggap sebagai sumber utama penularan penyakit ayan. Anggapan yang kurang tepat ini besar pengaruhnya terhadap perlakuan masyarakat terhadap penderita epilepsi, dan juga bagi perilaku penderita epilepsi terhadap lingkungan kehidupannya. Dengan kekurangtepatan pemahaman masyarakat terhadap epilepsi membuat masyarakat mengambil sikap ragu-ragu atau takut memberikan pertolongan apabila melihat penyandang epilepsi mendapat serangan. Karena takut terpercik air liurnya. Akibatnya penyandang epilepsi menjadi dijauhi, diisolasi, didiskriminasi dan seringkali dipandang rendah oleh masyarakat lingkungannya, atau yang lebih ekstrem lagi dianggap ''tidak utuh'' menjadi manusia. Perlakuan yang demikian semakin menambah beban psikologis bagi penyandang epilepsi maupun bagi keluarganya. Daripada ''menanggung malu,'' maka atas inisiatif aktif dari penderita atau keluarganya, lebih baik membuat jarak fisik dengan masyarakat kebanyakan, mengurung atau menarik diri dari pergaulan
Selain pandangan yang keliru itu, muncul pula anggapan epilepsi merupakan penyakit keturunan. Anggapan ini tentunya juga membawa beban tersendiri dari pihak yang menurunkannya. Rasa berdosa, rendah diri dan malu senantiasa menghantuinya. Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
Apa penyebab dan gejala yang ditimbulkan
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi. Sederet keterangan di atas tentunya sangat bermanfaat bagi kaum ibu, ternyata kondisi kehamilannya ikut andil terhadap ''nasib'' keturunannya.
Epilepsi dalam Kehamilan
Pengertian epilepsi dalam kehamilan
Epilepsi merupakan kelainan neurologik, yang mana pada ibu hamil membutuhkan tata laksana yang adekuat dan tanpa berisiko baik terhadap ibu/bayi. Menurut statistik Amerika Serikat, 0.5% kehamilan dijumpai pada wanita epilepsi. Risiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar dari pada wanita normal yang hamil. Untuk menanggulangi banyak risiko, maka dokter ahli kandungan dan dokter ahli neurologi bekerjasama agar bayi dan ibu mengalami keselamatan jasmani dan rohani. Angka kematian neonatus pada pasien epilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal. Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira ¼ kasus frekuensi bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagi menurun dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan.
Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut prinsip yang sama seperti pada pasien tidak hamil. Risiko yang dialami janin karena bangkitan yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsi. Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi pada 4-10 minggu pertama dalam pertumbuhan janin;
Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi pada kehamilan dibagi dalam 2 kelompok:
1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi
2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil
Diagnosis
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan.
4. Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap bulan.
Komplikasi
1. Pada Kehamilan
Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik dalam masa kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:
- Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%
- Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 – 10%
- Mikrosefal
- Apgar skor yang rendah
Hiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi dibandingkan dengan 150 orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah umur, paritas, sosial ekenomi dan jenis kelamin fetus. Beberapa peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada kehamilan tidak lebih besar pada wanita epilepsi.
2. Pada Persalinan
Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus wanita epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik. Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan juga seksio saesar.
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:
- Frekuensi bangkitan meningkat 33%Perdarahan post partum meningkat 10%
- Bayi mempunyai risiko 3% berkembang menjadi epilepsi
- Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat risiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi.
Penatalaksanaan
Pada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelum wanita menyadari kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi pada hari ke 47 kehamilan. Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang risiko hamil yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa risiko dapat diperkecil dengan tindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan nasehat yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus menggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada ibu yang hamil dan sekaligus ia harus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti epilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trimester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal
Obat-obat tersebut adalah:
1. Trimetadion
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwa dalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan dari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan mengkonfirmasi terhadap risiko tinggi pada sindrom ini,yang mana dapat menyebabkan perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan jantung bawaan. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan
2. Fenitoin
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan dan mempunyai efek teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yang menyebabkan malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian besar pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga sulit untuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % . Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus,
Yang mana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang
Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan kawan-kawan (1976) menemukan 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini (laidlaw, 1988’ Yerbi, 1991). Dosis fenitoin antara 150-600 mg/hari.
3. Sodium Valproat
Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsi yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah dengan ciri-ciri: lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal. Obat ini pada manusia dapat menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada neonatus dari ibu. (Laidlaw, 1988). Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada anternatal diberikan sodium valproat menunjukkan semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkan bahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan “neural tube defect”. Pada wanita epilepsi yang hamil bila diberikan obat ini dapat menyebabkan kelainan tersebut kira-kira 1,2%. Dosis sodium valproat antara 600-3000 mg/hari
4. Karbamazepin
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981) didalam penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaan obat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat menyebabkan retardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang menggunakan obat karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguan perkembangan (Yerby, 1991). Belakangan ini dilaporkan bahwa karbamazepin mengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5 – 1,0%. Dosis karbamazepin 400-1800 mg/hari
5. Fenobarbital
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal mengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia, Shapiro dan kawan-kawan (1976) menemukan fenobarbital tidak menyebabkan meningkatnya angka malformasi . Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yang berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal, perkembangan lambat. Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil (Yerby,1991). Selanjutnya Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obat ini mengakibatkan bibir dan palatum sumbing berkisar antara 0.6 – 3.9% (Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 – 240 mg/hari (Gilman AG, 1991).
Efek Teratogenik Obat Anti Epilepsi
Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah:
1. Trimetadion, lebih 50%
2. Fenitoin, 30%
3. Sodium Valproat, 1,2%
4. Karbamazepin, 0,5-1 %
5. Fenobarbital, 0,6% (Yerby, 1991)
Konsentrasi obat anti epilepsi dalam plasma wanita hamil yang akan melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi dari pada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal. Sudah barang tentu multipel dan penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. Malformasi fetal yang berhubungan dengan obat-obat anti epilepsi, dengan adanya kemungkinan neonatus cacad akibat malformasi dan anomaly kongenital. Studi Meadow (1968), yang mencakup kasus kehamilan sejumlah 427 pada 186 wanita epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi, menemukan anak dengan cacad (bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak. Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi kongenital pada anak yang terkena efek obat anti epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan anak yang tidak terkena efek obat anti epilepsy. Malformasi untuk populasi rata-rata berkisar antara 2-3%, sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu epilepsi antara 1,25 – 11%. Menurut peneliti lain berkisar 4-6% (Johnston, 1992).
Sumber :
Dr.Iskandar Japardi.Epilepsi dalam kehamilan.FK USU http://library.usu.ac.id
ikabisemarang.org (ikatan ahli bedah Indonesia)
http://cm.iparenting.com/fc/editor_files/images/1042/Articles/pregnant-belly-pink-shirt.jpg
Ayan, atau dalam bahasa medik dikenal dengan nama epilepsi, telah dikenal manusia sekitar dua ribu tahun sebelum Masehi
Air ludah atau buih yang keluar dari mulut penyandang epilepsi dianggap sebagai sumber utama penularan penyakit ayan. Anggapan yang kurang tepat ini besar pengaruhnya terhadap perlakuan masyarakat terhadap penderita epilepsi, dan juga bagi perilaku penderita epilepsi terhadap lingkungan kehidupannya. Dengan kekurangtepatan pemahaman masyarakat terhadap epilepsi membuat masyarakat mengambil sikap ragu-ragu atau takut memberikan pertolongan apabila melihat penyandang epilepsi mendapat serangan. Karena takut terpercik air liurnya. Akibatnya penyandang epilepsi menjadi dijauhi, diisolasi, didiskriminasi dan seringkali dipandang rendah oleh masyarakat lingkungannya, atau yang lebih ekstrem lagi dianggap ''tidak utuh'' menjadi manusia. Perlakuan yang demikian semakin menambah beban psikologis bagi penyandang epilepsi maupun bagi keluarganya. Daripada ''menanggung malu,'' maka atas inisiatif aktif dari penderita atau keluarganya, lebih baik membuat jarak fisik dengan masyarakat kebanyakan, mengurung atau menarik diri dari pergaulan
Selain pandangan yang keliru itu, muncul pula anggapan epilepsi merupakan penyakit keturunan. Anggapan ini tentunya juga membawa beban tersendiri dari pihak yang menurunkannya. Rasa berdosa, rendah diri dan malu senantiasa menghantuinya. Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
Apa penyebab dan gejala yang ditimbulkan
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi. Sederet keterangan di atas tentunya sangat bermanfaat bagi kaum ibu, ternyata kondisi kehamilannya ikut andil terhadap ''nasib'' keturunannya.
Epilepsi dalam Kehamilan
Pengertian epilepsi dalam kehamilan
Epilepsi merupakan kelainan neurologik, yang mana pada ibu hamil membutuhkan tata laksana yang adekuat dan tanpa berisiko baik terhadap ibu/bayi. Menurut statistik Amerika Serikat, 0.5% kehamilan dijumpai pada wanita epilepsi. Risiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar dari pada wanita normal yang hamil. Untuk menanggulangi banyak risiko, maka dokter ahli kandungan dan dokter ahli neurologi bekerjasama agar bayi dan ibu mengalami keselamatan jasmani dan rohani. Angka kematian neonatus pada pasien epilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal. Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira ¼ kasus frekuensi bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagi menurun dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan.
Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut prinsip yang sama seperti pada pasien tidak hamil. Risiko yang dialami janin karena bangkitan yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsi. Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi pada 4-10 minggu pertama dalam pertumbuhan janin;
Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi pada kehamilan dibagi dalam 2 kelompok:
1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi
2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil
Diagnosis
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan.
4. Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap bulan.
Komplikasi
1. Pada Kehamilan
Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik dalam masa kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:
- Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%
- Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 – 10%
- Mikrosefal
- Apgar skor yang rendah
Hiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi dibandingkan dengan 150 orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah umur, paritas, sosial ekenomi dan jenis kelamin fetus. Beberapa peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada kehamilan tidak lebih besar pada wanita epilepsi.
2. Pada Persalinan
Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus wanita epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik. Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan juga seksio saesar.
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:
- Frekuensi bangkitan meningkat 33%Perdarahan post partum meningkat 10%
- Bayi mempunyai risiko 3% berkembang menjadi epilepsi
- Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat risiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi.
Penatalaksanaan
Pada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelum wanita menyadari kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi pada hari ke 47 kehamilan. Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang risiko hamil yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa risiko dapat diperkecil dengan tindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan nasehat yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus menggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada ibu yang hamil dan sekaligus ia harus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti epilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trimester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal
Obat-obat tersebut adalah:
1. Trimetadion
Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan bahwa dalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan dari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan mengkonfirmasi terhadap risiko tinggi pada sindrom ini,yang mana dapat menyebabkan perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan jantung bawaan. Golongan obat ini tidak digunakan pada kehamilan
2. Fenitoin
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan dan mempunyai efek teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yang menyebabkan malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian besar pasien-pasien diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga sulit untuk mengevaluasi efek obat secara individual. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % . Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975) untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus,
Yang mana ibu epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang
Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan hidantoin, Hansons dan kawan-kawan (1976) menemukan 11% mempunyai gambaran sebagai sindroma ini (laidlaw, 1988’ Yerbi, 1991). Dosis fenitoin antara 150-600 mg/hari.
3. Sodium Valproat
Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Pernah dilaporkan terhadap 7 bayi yang dilahirkan dari ibu epilepsi yang menggunakan obat ini berupa kelainan pada wajah dengan ciri-ciri: lipatan epikantus inferior, jembatan hidung yang datar, filtrum yang dangkal. Obat ini pada manusia dapat menembus plasenta secara bebas dan memberikan dosis yang lebih tinggi pada neonatus dari ibu. (Laidlaw, 1988). Pada studi prospektif dari 12 bayi, pada anternatal diberikan sodium valproat menunjukkan semuanya normal. Pada kasus sporadik pernah dilaporkan bahwa obat ini dapat menyebabkan kelainan “neural tube defect”. Pada wanita epilepsi yang hamil bila diberikan obat ini dapat menyebabkan kelainan tersebut kira-kira 1,2%. Dosis sodium valproat antara 600-3000 mg/hari
4. Karbamazepin
Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan kepala janin. Hiilesmaa dan kawan-kawan (1981) didalam penelitiannya terhadap 133 wanita menunjukkan bahwa penggunaan obat ini (tunggal) atau kombinasi dengan fenobarbital dapat menyebabkan retardasi (Laidlaw, 1988). Juga pernah dilaporkan dari 25 anak dari ibu yang menggunakan obat karbamazepin tunggal ditemukan 20% dengan gangguan perkembangan (Yerby, 1991). Belakangan ini dilaporkan bahwa karbamazepin mengakibatkan meningkatnya kasus spina bifida sebanyak 0,5 – 1,0%. Dosis karbamazepin 400-1800 mg/hari
5. Fenobarbital
Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal mengatakan bahwa sebagian besar manita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia, Shapiro dan kawan-kawan (1976) menemukan fenobarbital tidak menyebabkan meningkatnya angka malformasi . Pemakaian obat ini dapat mengakibatkan sindrom fenobarbital fetus, yang berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal, perkembangan lambat. Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil (Yerby,1991). Selanjutnya Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obat ini mengakibatkan bibir dan palatum sumbing berkisar antara 0.6 – 3.9% (Yerbi, 1991). Dosis Fenobarbital antara 30 – 240 mg/hari (Gilman AG, 1991).
Efek Teratogenik Obat Anti Epilepsi
Prosentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah:
1. Trimetadion, lebih 50%
2. Fenitoin, 30%
3. Sodium Valproat, 1,2%
4. Karbamazepin, 0,5-1 %
5. Fenobarbital, 0,6% (Yerby, 1991)
Konsentrasi obat anti epilepsi dalam plasma wanita hamil yang akan melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi dari pada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal. Sudah barang tentu multipel dan penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. Malformasi fetal yang berhubungan dengan obat-obat anti epilepsi, dengan adanya kemungkinan neonatus cacad akibat malformasi dan anomaly kongenital. Studi Meadow (1968), yang mencakup kasus kehamilan sejumlah 427 pada 186 wanita epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi, menemukan anak dengan cacad (bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak. Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi kongenital pada anak yang terkena efek obat anti epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan anak yang tidak terkena efek obat anti epilepsy. Malformasi untuk populasi rata-rata berkisar antara 2-3%, sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu epilepsi antara 1,25 – 11%. Menurut peneliti lain berkisar 4-6% (Johnston, 1992).
Sumber :
Dr.Iskandar Japardi.Epilepsi dalam kehamilan.FK USU http://library.usu.ac.id
ikabisemarang.org (ikatan ahli bedah Indonesia)
http://cm.iparenting.com/fc/editor_files/images/1042/Articles/pregnant-belly-pink-shirt.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar